KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI BANDA PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI NGIFI- LARIANGI LIYA, PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

Minggu, 19 Juni 2011

GEDUNG PADEPOKAN PUSAT PELATIHAN SANGGAR SENI BUDAYA KABALI INDONESIA DALAM TAHAP PERAMPUNGAN

OLEH : ALI HABIU


Akhirnya berkat kerja keras semua pihak baik Kontraktor, Konsultan maupun Masyarakat dalam lingkup Benteng Keraton Liya, maka membuahkan hasil gemilang yakni Gedung Padepokan Pusat Pelatihan Sanggar Seni Budaya KabaLi Indonesia sudah dalam tahap perampunga. Gedung Padepokan ini dibangun diatas lahan seluas 20 x 30 m2 diatas sebuah perbukitan sebelah kanan arah wisata pemandian Kohondao dengan luas bangunan 8 x 14 m2 yang diharapkan setelah selesai dengan baik akan digunakan secara full time sebagai sarana pusat pelatihan Seni Budaya Tradisional Liya dalam rangka memperkuat pelestarian dan pengembangan kebudayaan Liya menyongsong akan ditetapkannya Desa Liya dalam Kawasan benteng keraton Liya sebagai Desa Wisata Budaya Nasional. 



Salah satu potensi Benteng Keraton Liya untuk menjadi lokus Wisata Budaya adalah terdapatnya ragam Seni Tari Tradisional asli yang berasal dari peninggalan para penguasa pada zamannya yang diperkirakan mulai terjadi di pertengahan Abad ke XII. Postulat pada pertengahan Abad ke XII ini yang berkuasa sebagai Raja Liya Pertama adalah dari keturunan Wangsa Rajasa Singosari yakni Mahisa Cempaka yang sengaja meninggalkan Singosari untuk menghindari komflik dengan saudara tirinya dan membuat bandar atau kerajaan di Liya. Kata-kata Liya dalam bahasa sangkrit yang tertuang dalam naskah-naskah kuno pewayangan Jawa dimaknai sebagai "Damai, Sejuk, Indah dan Menyenangkan".
Segenap pengurus Besar Lembaga Forum Komuniasi KabaLi Indonesia mengharapkan agar pemerintah dapat secara aktif mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Sejarah, Adat Istiadat, Budaya dan Kebudayaan Keraton Liya sehingga disuatu saat yang tepat dapat menjadi potensi Wisata Budaya Nasional, yakni menjadi daya dukung dalam kunjungan akhir para wisatawan manca negara yang menjadi aset devisa bagi bangsa dan negara.  



Oleh karena itu masih banyak pekerjaan rumah yang harus kami rampungkan yakni bagaimana mengemas sebuah tindak konsepsionalitas dalam rangka melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya tersebut yang sudah barang tentu harus disikapi dalam bentuk penelitian ilmiah. 

Kedepan perlu disikapi secara intergral perlunya penelitian-penelitian ilmiah menyoal kapan dibangun  benteng keraton Liya yang terdiri dari 3 lapis benteng itu, dan struktur raja-raja di Liya, Lingga dan Youni serta Makam Gajah Mada yang terdapat di wilayah ini. 


SEMOGA Pemerintah pusat melalui Direktorat Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia mau peduli dan serius mendukung kegiatan pelestarian kebudayaan Liya ini sehingga wilayah-wilayah di luar pulau Jawa yang selama ini termarginalkan dari kebijakan pemerintah pusat dapat segera terobati, demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. ****

Sabtu, 18 Juni 2011

IDENTIFIKASI AWAL,, SITUS MAJAPAHIT DI WILAYAH eks KERAJAAN/KESULTANAN BUTON

OLEH : LA ODE ALI AHMADI *)

  • Kampung Majapahit di Desa Masiri Batauga Kab. Buton berupa Makam  yang bertipe berisi 40 orang hulubalang pendamping Patih Gajah Mada, Nisan berbentuk tipe kala-makara merupakan gejala umum dalam kelompok Nisan Tipe Demak Troloyo. Penelitian ini di dukung oleh data penelitian Prof. DR Hasan Muarif Ambary dalam Buku menemukan Peradaban: “Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia
  • Desa Takimpo Kec. Pasarwajo Kab. Buton, berupa Makam  yang berisi 40 orang hulubalang pendamping Patih Gajah Mada, Nisan berbentuk tipe kala-makara merupakan gejala umum dalam kelompok Nisan Tipe Demak Troloyo. Penelitian ini di dukung oleh data penelitian Prof. DR Hasan Muarif Ambary dalam Buku menemukan Peradaban: “Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia selain Makam terdapat pula Menhir di puncak Gunung  Wagumbangga dan sebuah makam yang dikelilingi oleh Pohon Cempaka berbunga Biru.
  • Desa Liya Kab. Wakatobi, terdapat Makam dan Batu Menhir yang di sebut Watu Mada.
  • Desa Kaluku Gadi di Puncak Gunung Labalawa (Bekas Kerajaan Tobe-Tobe) jarak 5 Km dari Benteng Keraton Buton berupa Menhir, dan dipercaya oleh masyarakatnya sebagai Prasasti Majapahit.
  • Dan Tutur (Foklor) di beberapa daerah tentang 4 Nasehat dari Sang Patih Majapahit
  • Dll… sementara di Himpun, Doakan ya, di temukan Prasasti Bertulis berhuruf Pallawa untuk di realisasikan dalam Bentuk Penelitian Nasional, Penelitian Melibatkan Para Ahli di Bidang Kebudayaan  baik Lokal dan Nasional.  Salam

Jumat, 17 Juni 2011

CERITA RAKYAT KERATON LIYA ; "YINDO-INDO DIYU"

 OLEH : DR. ALIFUDDIN NUR *)



Synopsis :

Inilah kisah rakyat keraton Liya Kepulauan Wangi-Wangi
Kabupaten Wakatobi-Sulawesi Tenggara.
Kisah ini sering di ceritakan oleh orang-orang tua
kepada anaknya ketika menjelang tidur malam
atau pada hari-hari libur baik persorangan maupun kelompok.
Tujuan kisah ini disamping sebagai pengantar
tidur malam bagi sang anak, juga sebagai pesan moral
bagi anak-anak Keraton Liya begitu besarnya
nilai kejujuran yang harus mampu ditanamkan dalam setiap diri manusia.
Anak-anakpun yang mendengarkan kisah ini
berlinangkan air mata, begitu harunya kisah ini
Sampai-sampai terbawa larut dalam tidurnya dan jiwanya.
Jika manusia tidak lagi memiliki kejujuran dalam dirinya, maka
apa saja bisa terjadi yang bisa memilukan perjalanan kehidupannya
 seperti halnya dikisahkan dalam cerita rakyat ini berjudul :
“Yindo-Indo Diyu”
Kisah ini di sadur kembali oleh DR. Alifuddin Nur, seorang
Sosiologi Budaya dan Kordinator Seni Budaya
Lembaga KabaLI Indonesia yang selajutnya di teliti manfaatnya.
Saat ini Kisah ini sudah dijadikan Muatan lokal
di semua sekolah-sekolah Di Kabupaten Wakatobi



Kai i-molengo mo ai ane  na tula-tula Wa Indo-indo Diyu.Wa Indo-indo Diyu aneke ana-no do dua, te samia aneho no ki-i-ki-I, dari aro no aka-aka ke kakano no tonda-tonda-e, kene anedo no awi-awi-E te Ina-no, sawakutu te a ma-no he motowila-a dari mina mbeado no wila no ala te rengka te rengka u-ika maka o puai-E.

Konon pada zaman dahulu kala  ada cerita tentang Wa Indo-Indo Diyu (selanjutnya di singkat WID).WID memiliki dua orang anak, yang seorang masih kecil (balita), anak ini jika bermain selalu dituntun dan dijaga oleh kakaknya  dan ditimang-timang oleh WID. Pada suatu hari, ayahnya akan bepergian, namun sebelum Ia pergi, terlebih dahulu Ia mengambil seekor ikan yang kemudian ia keringkan.

 Minanggala no wila O sama, O sama, Wa ina Indo-indo Diyu, kua kana-E ku moto wila-a, ara o wande wolu-E na rengka Iso sa bara I-manga-manga E bisa no melu-E te mia, te E-mai-mai mo ara no ako a-manga-E baro I hu-uke, taba wande maka I wolu-E. Maka hoto wila-a, hoto wila-a

Sebelum ia berangkat Ia berpesan kepada WD, bahwa kini saya akan bepergian, jika hari mendung dan hujan maka ikan yang sama jemur tersebut di angkat, tetapi jangan sekali-kali dimakan, sekalipun siapa yang memintanya jangan diberi, kecuali jika hujan maka amankan. Lalu sang suami berangkatlah menuju tempat tujuannya

 O mai mina hoto wila-a po-oli no hepunda te keleu-no, O ita kua rengka italano iso  bai. O itamo tea so koho-a, O wilamo ema te Wa Indo-Indo Diyu, kua te Emai na koho-E na rengka Iso, no elo Wa Indo-Indo Diyu kua, ku koho bai  te iyaku na iso parantai no doito na ananto atu  sa kumuhuke te manga hele sambeyaka O hadda taba no manga la-a te rengka atu, dari ku wila ku koho ako-E bahuli maka ku-hu-uke, Dari no bisara mo kua kamba beaka I roddongo ku sama ! ara O melu mia bara I hu-uke, ke bara i-ala-alaE, taba I wande maka I wolu-E, ara eaka kudahaniE, kutandai na sama miyu, sa parantai sauri na heddoito na ana miu atu mu kuhu-uke te hela mbeaka no hadda, mo awie…mo ha-ake heddoito la-a, karomo kuhu-uke te rengka mako O loo-lio. Opobisara measo-ai te Wa Indo-indo Diyu  i-aneho O kedde I homoru-ano.

Sepulang dari bepergian, setelah ia meletakkan keranjangnya (tasnya) Ia menuju ke tempat pengeringan ikan, dan Ia mendapatkan ikan tersebut telah dipotong/terpotong. Melihat hal tersebut, lalu Ia bertanya kepada WD, siapa gerangan yang memotong ikan ini, WD menjawab bahwa, ikan tersebut saya yang memotongnya, karena anak kita tadi menangis, saya memberinya sesuatu tetapi anak tersebut menolak, yang ia inginkan hanya ikan tersebut, karena tangisnya tak henti-henti dan aku iba melihatnya maka aku (WD) mengiriskan  ikan tersebut sepotong. Sang suami kemudian balik bertanya, apakah kamu lupa dengan pesan saya tadi, bahwa siapapun orang yang meminta ikan tersebut jangan diberi kecuali jika hujan turun baru diangkat, WD mengatakan tida, aku tidak lupa, dan aku masih ingat pesan tersebut. Namun, karena anak kita yang kecil menangis-nagis memintanya, dan telah ku coba untuk memberikan sesuatu yang lain, bahkan ku gendong dan kua ajak bermain tetapi anak kita tidak henti menangis dan tetap mengingankan ikan tersebut. Ia baru berhenti menangis tatkala saya memotongkan ikan tersebut, demikian jawab WD yang pada saat itu sedang menenun sarung.

 Dhari te amano o-winii  te tenda U-homoru-a, maka o-simbi tekapalano, sa-simbi akono otewengka kapala/orunguno,  sawengka o-tombo kua mawi, sawengka kua lange.

Lantaran marah karena “amanah”nya diabaikan oleh WID, suami WID kemudian menarik kayu/balok penjepit sarung yang terdapat pada alat tenun (tenda), kemudian ia memukulkannya di atas kepala WID, konon…….sekali tebas tubuh WD   terbelah menjadi dua bagian, yang satu ke laut dan yang satu lagi ke langit.

Pasi awanatu,  te amano-ana, m-beakamo no tiliki-E  ana no-ana,  mou no doito m-beakamo no tiliki-E. (Syahdan…tatkala tubuh WD telah terbagi dua, sang ayah tidak lagi memperhatikan kedua anaknya, bahkan sekalipun anak tersebut menangis, Ia sama sekali tidak menyentuhnya), 

Dhari no horo-iya-E tei kaka-no, no-tonda-E no-awi-E maka te ana-no ana no-heddoiton toruusu, no elo-elo te wa ina.Dari no bingumo na kakano-ana, O-wilamo no aka-aka kua wawo u-mawi, Oo..wila-wila no henuntu te wiwi  u-mawi iso. Oo- poawa  te bata, I-wiwi mawi iso, I wiwi u-watu an eke bata lu-manto  I-iso, dari  O kedde  i-bata maka- O, awi-e na yaino maka O lagu-lagu, laguno iso tehempono  nggala no elo-elo te ina-no, te yaino iso no heddoitomo-heddoitomo la-a  no elo te ina-no ako namoawa ke ina no.

(Karena anak tersebut terus-terus menangis, maka sang kakak mencoba untuk merayunya, dengan digendong, tetapi anak tersebut terus dan terus menangis. Dalam kebingungan, sang kakak terus berjalan dan menggendong  adiknya yang menangis tersebut, hingga sampailah mereka di tepi pantai lalu ia duduk di atas batu dan bersandar pada sebatang kayu besar (bata). Sementara itu adiknya terus sambil memanggil-manggil ibunya. Sambil menggendong adiknya yang menangis, sang kakak bernyanyi: 

Wa Indo……indo…… indo Dhiyu   : Ibu wa indo….indo… Dhiyu
            Maaa….yiii suuuu..su te iyandiku   : Datanglah susui adikku               
            Dhi…. Watu….meka torun-toruu    : Pada batu yang bentuknya seperti payung
            Dhi …bata…. Meka Lonto-lonto     :  Pada kayu hanyut yang ter apung-apung

            Te lagu-laguno, hendua, hentolu toru-torusu O lagu  domu/piamo no ita te mina-I maawi iso te gunsa-gunsa, eaka lengo umpa Oo ita-mo te awana  mia nangu-nangu, maka O tadde kambedda te ina  nomo, dari no ala emo a-yaino ana, maka no awi-E, O sale-E maka O-awi-E.

Lagu tersebut berisi syair yang memanggil-manggil Ibunya (Anak ini berharap dengan lagu tersebut ibunya mendengar dan datang), sementara itu adiknya terus saja menangis, tidak lama kemudian dari kejauhan laut terlihat gelombang air yang berbusa-busa lalu dari sisi air  tersebut terlihat sesok manusia berenang mengarah ke tepi pantai, setelah ia memperhatikan dengan seksama ternyata manusia itu adalah ibunya. Setelah mereka bertemu, maka bayi tersebut di ambil oleh ibunya, digendong, ditimang-timang kemudian disusui 

 Sapo-olino O waEmo ai kakano kua ara I lange bara u-mai-mai parantai te iyaku-ana ku dari ikamo, maka O wila O tadda ako-E na ana-no-ana  maka Ombule ke kakano-ana, no tonda-E, no Awi-E 

Setelah anak tersebut selesai disusu  dan perasaan rindunya telah terobati, lalu ibunya berpesan kepada sang kakak, bahwa esok hari kalian berdua tidak usah lagi dating sebab sisik yang menempel ditubuh saya semakin banyak dan sedikit hari lagi saya sudah berubah menjadi ikan.kemudian ibunya pamitan dan kembali ke laut, setelah ibu tersebut sudah tidak tampak, maka kedua anak tadi bergegas pulang, sang kakak menenteng dan sesekali menggendong adiknya.

sainlangeno no heddoito mbula ku hu-uke te-pai-paira no heddoito a-la-a taba na mo awa ke ina no, no bawa emo, no awi emo maka no bawa-E no wila-wila O-rato I bata I wiwi i mawi-yai O keddemo I atu mako lagu-lagu

Namun keesokan harinya, anak tersebut kembali menangis, sekalipun sudah diberi sesuatu dan dirayu  anak tersebut tetap menangis lantaran ingin bertemu dengan anaknya. Lalu sang kakak kembali membawa adiknya pergi ketepi laut, Ia menggendong dan sesekali mereka berjalan beiringan. Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di tepi pantai mereka kemudian duduk dibatu besar tempat mereka menanti sang bunda   kemarin. Di tempat tersebut kemudian sang kakak mendendangkan lagu:

            Wa Indo……indo…… indo Dhiyu   : Ibu wa indo….indo… Dhiyu
            Maaa….yiii suuuu..su te iyandiku   : Datanglah susui adikku               
            Dhi…. Watu….meka torun-toruu    : Pada batu yang bentuknya seperti payung
            Dhi …bata…. Meka Lonto-lonto     :  Pada kayu hanyut yang ter apung-apung

O lagu ako te yatu hendua-hentolu sampe  ke O-mai. Sapaira-sapaira O itamo uka te gunsa-gunsa I mawi iso awa inggawi kambeda uka te ina-no mo-atu O mai. 

Ia menyanyikan adiknya, setelah dua hingga tiga kali lagu tersebut diulang, tidak lama kemudian dari arah laut tampak terlihat oleh mereka busa air yang disertai oleh sedikit gelombang seperti yang mereka saksikan kemarin, ternyata yang datang  adalah ibunya. 

O rokamo na-anano-ana parantai te  ae-no O sai kurumo  awana ikuno. Dari samai-no O sale emo na yai-no ana, po-oliyatu O sama-mo I kakano kua baramo I mai I lange parantai te iyaku ana kumembali ikamo. Po-oli awana Iso te Ina-no ana O wilamo kua mawi mendaro iso, tee amai nom bulemo

(Tatkala ibunya menampakkan tubuhnya) kedua anak tersebut kaget, karena sisik yang menempel di tubuh sang ibu telah semakin banyak. Lalu kemudian anak tersebut digendong, ditimang, dan dicium oleh bundany, setelah selesai ia member susu, sang ibu kemudian memanggil kakaknya dan berpesang, anak-ku besok sebaiknya kalian tidak usah lagi datang  sebab tubuh saya sudah akan menjadi ikan. Kemudian ibunya tadi kembali ke laut dalam sedangkan kedua anak tadi kembali pulang ke kediamannya

I-lange uka O doito mo uka, no elo-elo torusu te Ina-no.   dari no wilamo, no wilangka kua mawi, maka O-kede-n-kedde di bata, maka no lagu-lagu. 

Keesokan harinya, sang adik kembali menangis memanggil-manggil ibunya, karena tak kuasa melihat adiknya yang terus menangis, kemudian ia memutuskan untuk mengantar kembali adiknya ke tepi pantai, setelah tiba dibatu besar sambil membelai rambut adiknya kemudian sang kakak kembali menyanyi: 

            Wa Indo……indo…… indo Dhiyu   : Ibu wa indo….indo… Dhiyu
            Maaa….yiii suuuu..su te iyandiku   : Datanglah susui adikku               
            Dhi…. Watu….meka torun-toruu    : Pada batu yang bentuknya seperti payung
            Dhi …bata…. Meka Lonto-lonto     :  Pada kayu hanyut yang ter apung-apung

O…maina Ina no itamo te gusa-gunsa, kambedda te ina nomo, maka O mai mo uka te kuruno apamo kompono, dari O wa-Emo kua sale-Emo yai-u ana, no awi-E maka O wa-aE kua, ara I lange bara-mo I mai-mai, paranatai te iyaku ana ku-membali ikamo,  maka nombule, te Ina-no O wila mo O nangu kua mawi, om-bule. 

Setelah menunggu beberapa lama, kembali terlihat busa air dan riak gelombang, ternyata adalah ibunya, (kemudian anak tersebut digendong, ditimang, dan dicium oleh bundanya, dan disuse) sang ibu kemudian memanggil kakaknya dan berpesan, anak-ku besok sebaiknya kalian tidak usah lagi datang  sebab seluruh tubuh saya bersisik (menjadi ikan). Kemudian ibunya tadi kembali ke laut dalam sedangkan kedua anak tadi kembali pulang ke kediamannya

Sailange-no  no doitomo uka na yaino maka no awi Emo uka maka no wila, O wila mo uka kua bata maka O lagu-lagu, O kalumo I lagu-a hengkoruompumo o lagu mbeayaka o mai-mai parantai te yaino he doiton torusu maka no awi-E, maka O wila, sam-beyakamo nombule O wilan torus-torusu. O kalu I wila-a O ita te  ko-O u-ahu baa-baa bale.  Dari po wikiri-mo kua ku wilamo kua iso,  O Alamo te wikiri kua, ka wilamo kua ahu iso, parantai ara I iso bara aneke mia, ako ka-mepetulu di-iso.

Keesokan harinya, sang adik kembali menangis memanggil-manggil ibunya, karena tak kuasa melihat adiknya yang terus menangis, kemudian ia memutuskan untuk mengantar kembali adiknya ke tepi pantai, setelah tiba dibatu besar sambil membelai rambut adiknya kemudian sang kakak kembali menyanyi. Namun hingga sekian kali ia bernyanyi ibu yang dinanti tak kunjung dating. Karena adiknya tersebut menangis terus, maka digendonglah  anak tersebut lalu ia berjalan meninggalkan tepi pantai tetapi mereka tidak kembali pulang ke rumah, mereka berjalan terus. Setelah lama berjalan dan lelah mereka kemudian beristirahat, dari kejauhan tempak oleh mereka kepulan asap api sebesar mayang kelapa. Kemudian dia berpikir untuk menuju ke tempat tersebut, mudah-mudahan di tempat tersebut ada seseorang yang dapat menolong mereka.  

 O wila mo…..owila-owila kambedda te ko-o iso sa eyaka te mia,  kambedda te ahu wa kinamboro. Dari la-amo no rato sa no hepago-Emo te Wa Kinamboro atu, maka no ala ako-E te-imanga. Maka no Ema te-I kakano , aro te komiu no ema te ia kaka ane basa umpa ate miu, no balo kua aro te iyaku ate su basa ate wembe. Aro te iyai-u, aro te iyaisu sa basa ate manu. Ara wanatu mangamo-ka, Ako ku wila iyaku kua Iiso  

Lalu berjalan menuju arah asap api, setelah lama berjalan, ternyata tempat (sumber) asap tersebut bukan manusia, tetapi Wa Kina-kinam-Boro (Raksasa). Setibanya di tempat tersebut, kedua anak tersebut disambut oleh Wa Kina-kinam-Boro, kepada  mereka kemudian disajikan makanan. (setelah mereka disajikan makanan, lalu) WKB bertanya kepada kakaknya, kalau kamu sekarang kira-kira sebesar apa atimu, I (kakak) menjawab atiku sebesar ati kambing. Kalau ati adikmu kira sebesar apa, kakaknya menjawab kalau ati adikku mungkin sebesar ati ayam. Baik lah kata WKB, silahkan kalian makan aku akan bepergian keluar beberapa saat.   

Sa talikuno, O mai-si-E te Dago, no gau kua ara ki humadda hopo ako te iyaku ai manga-atu ako ku manga-E te iyakute. Wa Kinamboro iso  a wila a kumansi te koni-no, ako a-manga te ate miyu, suru no emanako te ate miyu. O hadda mo  I kaka-no ana, maka O wa-E yai no, helawe mo I manga-a no hopo akomo te dago, ako la-A  ku lola Ako komiu.Pasi O manga a dago  O sampe-mo I kapeno, maka O lola akoE  kua umbu kaluku gaddi, maka tuhu a manu. 

Setelah WKB pergi, kedua anak tersebut ditemui oleh seekor Jago. Jago tersebut menyampaikan, jika kalian mau (tidak keberatan) sudikah kamu memberikan makanan itu untuk saya. WKB tadi itu sebenarnya ia pergi mengasah giginya untuk memakan kalian berdua, itulah sebabnya ia menanyakan seberapa besar ati kalian berdua. Lalu mereka memberikan makanan tersebut kepada Jago, dan sebagai imbalannya, aku akan terbangkan kalian (menyelamatkan kalian). Setelah Jago tersebut makan, maka kedua anek tersebut naik ke sayap Jago lalu mereka berdua di terbangkan dan hinggap di atas pohon kelapa. 

Sabantara O umba na Wa Kinamboro, O Umba ke moho busano (dalam ke adaan capek), ke to maEka-no, te rounu no hawasomo la-a, maka orangamo, no ita-E na ana bou iso I umbu kaluku iso, parantai no hempisi no hei-no I manga-a  O kaha-E la-a kaluku, sa kaha-a O guntiE  a-la-a kaluku dari no tobata, hua leama  O-tobata O-raho te soha u-lange.

Beberapa saat kemudian datanglah WKB, dia muncul dalam keadaan yang tampak lelah, wajahnya tampak sangat menakutkan, dari raut mukanya tergambar bahwa ia lagi marah. Tatkala ia melihat/menolek ke atas  pohon kelapa tampaklah kedua anak tersebut sedang bersembunyi. Karena ia sangat ingin memangsa anak tersebut, maka dengan marah Ia menggigit batang pohon kelapa tersebut, dengan sekejap batang kelapa tersebut rebah, beruntung ketika rebah kedua anak tersebut terayun dan terlempar ke atas pintu langit. 
   
Dhari olinda na amai kua lange. Kamba I soha iso (lange) aneke daga. Dari no Ema-E, te daga iso, te komiu ana mina I umpa?  Maka no tula-tula ako emo, sabba ane.  Maka no wae te daga tain-tai, ako ku-laporo ako komiu kua Raja, mako no laporo akoE, kua ka-iso-E aneke  ana bou do dua a wana iso rupano, no waE te Raja kua, maike kua ana, dari O maiki emo, O kombiti Emo te raja ana. Te ama Iyana O melemo, O rodda mo te Wa Kinamboro karamanoho O mange-E. 

Jadi anak tersebut telah berpindah tempat yaitu di langit. Ternyata di pintu tersebut terdapat seorang penjaga. Oleh penjaga anak tersebut ditanya, sebenarnya kalian berdua ini berasal dari mana? Mereka kemudian menceritakan seluruh kisah hidup mereka. Sang penjaga kemudian mengatakan, kalian tunggu sebentar di sini, saya akan melaporkan keberadaan kalian kepada Raja. Kepada Raja jaga menyampaikan bahwa di luar ada dua orang anak, wajahnya seperti ini. Mendengar laporan penjaga, Raja mengatakan; bawa kedua anak tersebut ke sini, lalu kedua anak tersebut dibawa (beruntung) mereka kemudian dipelihara oleh Raja. Kedua anak tadi merasa gembira, mereka menbayangkan jika mereka masih berada dibawa cengkraman WKB, mungkin saat ini mereka telah dimangsa. 
 
Sa wakutu te Raja-ana Ombale-mbale, maka O wae ai kakano kua kuddumahani I-laha-a u-kutu, kudumahani, dari ombalemo, ama O laha-E kutunu, maka no sengka-sengka-E    a hutonu iso no itamo te aso u-mobela I kapalano, O bubuti na Lu-uno, te Lu-uno ana no raho te kapala na Raja ana, dari O namisimo te monoha a Raja ana, O Topelemo, tara u heddoito m beaka no balo parantai  O-moboha no bisara, dari no Ema  O ha-a nu doito ai, karomo hempia  mako O balo Kobbe ku heddoito parantai ku rodda-rodda te ina su, Te ina su yaku ana O simbi-I te aamasu I kapalano te tenda parantai O hawasoako te rengka ko-mangaE tei kami, O koho akoE te yai su, O doito parantai te rengka iso mbeyaka no hadda akoE parantai O sama kua bara I manga-manga-E dari no simbi a kapala ina su sawengka O tombo I-lange  sawengka I mawi.  

Hari berganti hari, satu waktu sang Raja sedang santai berbaring,  anak tersebut kemudian dipanggil oleh Raja, lalu ditanya, apakah kamu bisa menyisir dan mencari kutu. Anak tersebut menjawab Ia, saya bisa. Kalau begitu coba kamu sisir rambut saya dan cari kutunya. Setelah anak tersebut menyisir rambut Raja, setiap kali ia menyisir bagian tengah kepala, tampak oleh anak tersebut bekas luka, melihat hal tersebut, teringatlah anak tadi kepada ibunya, sambil meneteskan air mata dan air mata tersebut jatuh membasahi pundak Raja. Karena merasa ada air yang menetes di atas pundaknya, maka sang Raja menolek, ternyata air tersebut adalah air mata si anak. Lalu Ia ditanya, mengapa kamu menangis, semula anak tersebut tidak menjawab pertanyaan Raja, namun setelah beberapa kali ditanya, maka anak tersebut kemudian menjawab.
Aku menangis, teringat ibuku, sewaktu di dunia kami hidup berempat dengan ayah, ibu dan seorang adik saya yang masih kecil. Suatu saat, ayah saya mejemur ikan, dan berpesan kepada ibu agar ikan tersebut jangan diberi kepada siapapun. Tetapi karena adik saya menangis terus, maka ibu saya memotong ikan tersebut untuk diberi kepada adikku, nahas, ayah saya marah, lalu ia menebas tubuh ibuku, yang satu bagian terlempar ke laut dan yang satunya lagi terlempar ke langit. Mendengar cerita tersebut, sang Raja kemudian menangis, dan mengatakan ternyata kalian berdua  adalah anakku.  ****    

*). Kordinator Bidang Seni Budaya dan Pernaskahan Sejarah
     Pada Lembaga Forkom KabaLi Indonesia.