KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI BANDA PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI NGIFI- LARIANGI LIYA, PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

Selasa, 03 Juli 2012

KABALI KEBERATAN ATAS PENGIRIMAN 30 ORANG PENARI WAKATOBI KE AMERIKA SERIKAT TIDAK MEWAKILI KOMUNITAS BERBAGAI SANGGAR SENI BUDAYA DI WAKATOBI



 OLEH : HUMAS KABALI


Berdasarkan beita yang diperoleh dari media on line http://www.jurnas.com/halaman/5/2012-05-30/210638, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra)  Wakatobi mengirimkan 30 penarinya untuk belajar seni tari di Amerika Serikat sekaligus mempromosikan seni tari yang dimiliki Wakatobi. Pengiriman penari ini diwujudkan berkat kerja sama antara pemkab dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  RI. 


Memang Kabali mengakui bahwa Pemerintah Kabupaten Wakatobi tidak main-main menggarap potensi pariwisatanya, baik alam maupun budaya. Setelah beberapa tahun fokus pada promosi keindahan bawah laut, kini pemerintah kabupaten Wakatobi mengarahkan strateginya untuk promosi kebudayaan.

Namun Kabali sangat menyayangkan seribu kali sayang dan memprotes keras atas adanya kebijakan pemerintah kabupaten Wakatobi tersebut tanpa di koordinasikan dan dibicarakan lebih dahulu secara intensif antara pengurus-pengurus berbagai sanggar seni budaya yang ada di masing-masing pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, lantas dengan sangat tergesa-gesa mengirimkan penari sejumlah 30 orang itu tidak mewakili aspirasi masing-masing komunitas sanggar seni budaya yang telah banyak ikut andil membesarkan pelestarian dan pengembangan seni budaya asli tradisional wakatobi.

Segenap pengurus inti Sanggar Seni Budaya Kabali Indonesia pusat Liya, Sanggar Seni Budaya Wanianse pusat Wanci dan Sanggar Seni Budaya Kanamingku Mandati sangat kecewa atas kejadian ini, bukan saja menghianati hasil kerja keras dan  partisipasi mereka selama ini  dalam membesarkan nilai-nilai budaya wakatobi tetapi mereka merasa dimatikan hasil kerja keras selama ini dalam melestarikan seni budayanya.

Tari Honari Mosega Liya


Sebetulnya seni budaya tradisional wakatobi sagat banyak ragammnya, tidak perlu di modifikasi atau dirubah lengkok geraknya atau di buat tarian modern karena ragam, congkat, eksotis dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap gerakan mengandung makna tradisional masyarakat wakatobi dalam menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan masa lalu baik dalam membesarkan masing-masing ethnisnya maupun dalam mempertahankan ethnisnya dari serangan berbagai musuh yang kesemuanya dituangkan dalam ragam bentuk gerak senitarinya.

Kabali menilai bahwa jika Pemerintah Kabupaten Wakatobi ingin memajukan seni budayanya dan memiliki nilai jual yang baik maka selayaknya dapat secara konsisten mempertahankan nilai-nilai seni budaya tradisionalnya. Memang diakui bahwa gerak, congkak, motif dan lekuk gerak seni budaya tradisional kita masih miskin dari daya tarik motorik dan ekstorik, namun sentuhannya tak perlu repot-repot mengunjungi negara paman sam seperti Amerika Serikat cukup saja di Kendari Sulawesi Tenggara, disini ada guru tari professional bernama Arini Wahyu Sadalwati Kepala Seksi Pertunjukan UPTD Taman Budaya Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam sanggar seni-37 Kendari, beliau adalah alumni seni tari Jogyakarta yang sudah banyak membimbing para panari seni di daerah ini. Mereka yang dikirim sebanyak 30 orang tersebut disana pasti akan mendapat pendidikan seni tari yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai tradisonal kita.

Sebetulnya apa yang mesti dibanggakan dengan sebanyak 30 orang belajar seni tari modern di Amerika Serikat yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal seni budaya tradisional wakatobi yang sampai saat ini sangat diminati oleh para turis manca negara karena lirik keaslian nilai-nilai budayanya masih utuh dan mampu dipertahankan.

Kabali mengamati bahwa jangan-jangan ada politisasi koloni komunitas usaha sektor parawisata yang kini telah dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang tergabung dalam Hugua Resort, ikut andil main-main di belakang motif pengiriman 30 orang penari wakatobi yang nota bene didominasi oleh sanggar seni budaya tertentu (asal Tomia) untuk memperkuat sektor promosi usaha bisnis parawisatanya. Jika hal ini benar berarti keberadaan 30 orang hasil didikan seni tari di Amerika Serikat tersebut kelak tidak memberikan konstribusi reel pada sektor informal yang potensinya saat ini telah dimiliki oleh berbagai komunitas sanggar-sanggar seni budaya yang ada di wakatobi. Jika terjadi demikian maka matilah ekonomi kreatif dari leading sektor  usaha sanggar-sanggar seni budaya yang telah digeluti oleh masyarakat seni wakatobi saat ini,  sekaligus mematikan mata rantai ekonomi para palatih dan pengurusnya yang bermuara pada matinya ekonomi kerakyatan di wilayah tersebut.

Kabali sangat memberikan apresiasi atas kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Wakatobi dengan Ditjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif yang dibangun untuk mencapai target mendatangkan wisatawan mancanegara sebanyak 12 ribu orang di Wakatobi hingga tahaun 2014 mendatang. 
Dikatakan Hugua, pariwisata kebudayaan perlu diperhatikan karena ketika berada di Wakatobi, para wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam bawah laut melainkan juga memerlukan hiburan berupa seni tari dan berbagai atraksi budaya lainnya. 

Oleh karena itu, agar para penari Wakatobi dapat menyuguhkan seni gerak tari yang berkualitas tinggi dan memenuhi selera para wisatawan, mereka harus belajar ke luar negeri yang tidak hanya menguasai seni gerak tari tetapi juga teknologi seni tari itu sendiri.
Dia berharap, di masa-masa mendatang, Wakatobi dapat mengirimkan duta seni tari ke berbagai negara di Eropa seperti Inggris dan Italia. Warga di dua negara ini terbilang cukup banyak yang berkunjung ke Wakatobi selama ini. 

Hugua juga menyebutkan sejumlah produk-produk kebudayaan khas Wakatobi, seperti Bangka Mbule-mbule, Kabuenga, dan Karia. Dijelaskan, Bangka Mbule-mbule merupakan tradisi masyarakat Suku Bajo melarung sesajen di tengah laut, sebagai persembahan kepada penguasa laut agar melimpahkan rezeki dan menjauhkan nelayan dari mara badaya gelombang laut, akan tetapi Kabali sangat menyayangkan dengan tidak disebutkannya budaya Sampea asal Liya Togo yakni pesta tahunan setelah musim panen dimana seluruh masyarakat Liya dilibatkan secara bersama-sama kumpul membawa hasil-hasil pertanian dan kelautannya di Lokasi alun-alun keraton Liya dan disana diadakan upacara ritual dan manga-manga dengan dihiasi berbagai atraksi seni budaya tradisonal.

Sedangkan Kabuenga, merupakan tradisi masyarakat Wakatobi dalam mempertemukan jodoh kaum muda-mudi di wilayah kabupaten tersebut. Sejumlah artis kenamaan di Indonesia pernah mengikuti kegiatan ini saat berkunjung ke Wakatobi.
Adapun Karia, merupakan tradisi masyarakat Wakatobi saat mengislamkan (mengkhitan) anak perempuan mereka, ketika dianggap sudah memasuki usia akil balig atau sebelum memasuki kehidupan rumah tangga. 

Tiga tradisi ini telah menjadi kalender tetap pagelaran budaya yang digelar Pemkab Wakatobi setiap tahun pada bulan Agustus. Terakhir kali, pagelaran tiga tradisi ini dirangkaikan pada kegiatan nasional Sail Wakatobi-Belitong (SWB) 2011 silam.


 Atraksi Posepaa Liya

Dalam konteksi ini Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia yang kini telah memiliki gedung Pasanggrahan Pusat Pelatihan Seni Budaya Kabali Indonesia di Liya Togo lokasi Kohondao kawasan Keraton Liya sangat keberatan atas perlakuan semena-mena pemerintah kabupaten Wakatobi yang tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat pelaku seni budaya di daerah ini. Dalam waktu dekat akan melaporkan kejadian ini ke bapak Presiden Republik Indonesia dengan tindasan organ-organ terkait, disamping melaporkan keadaan tersebut juga akan melaporkan kurangnya kepedulian pemerintah kabupaten Wakatobi dalam membimbing sekaligus menyantun secara ekonomi khususnya ditujukan bagi para pelatih seni budaya Kabali Keraton Liya,  sehingga kini yang terjadi para pelatih seni yang sudah kami bentuk banyak yang meninggalkan Keraton Liya pergi merantau mencari sesuap makan-----padahal dengan diberikan sedikit honorarium tetap kepada para pelatih seni tari tersebut maka tentu keadaan ini tak perlu terjadi seperti saat ini. Dampaknya adalah Pasanggrahan Pusat Pelatihan Seni Budaya Kabali Indonesia di Keraton Liya yang telah miliki 24 jenis seni budaya tradisional kini menjadi mati suri karena pemerintah daerah tidak mau perdulikan meraka secara adil, para pelatihnya sudah banyak yang meninggalkan tempat, padahal selama ini komunitas seni budaya Liya Togo ini telah banyak memberikan konstribusi positif terhadap pengembangan kebudayaan wakatobi. *****