KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI BANDA PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI NGIFI- LARIANGI LIYA, PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

Kamis, 26 Juli 2012

BUDAYA KABUENGA MANDATI TAK SAMA DENGAN BUDAYA SAMPEA LIYA


OLEH : HUMAS KABALI


 DR. L.M. Alifuddin Nur, M.Ag. (Kanan)
Ketua Bidang Pengembangan Kebudayaan Kabali

Kabali memberitakan bahwa Budaya Sampea Liya sudah hamper 3 dasawarsa tidak pernah lagi dilaksanakan oleh masyarakat Liya atau terakhir tampil tahun 1985-an dan  kini seluruh komunitas adat tidak berani menyelenggarakan acara Sampea tersebut karena terbentur masalah dana operasional, mengingat sebagian besar terkendala adanya keterbatasan kemampuan sosial ekonomi masyarakat dan tidak berjalannya sistem pemerintahan tradisional akibat dari telah wafatnya Raja Liya terakhir La Ode Bula.

Budaya sampea Liya masa lalu merupakan acara rutin tahunan seluruh masyarakat Liya dengan membawa hasil-hasil panen dari kebun, laut dan ternak, baik yang telah diolah dalam bentuk masakan dan disajikan dalam bentuk Liwo dan yang masih mentah, yang mana masing-masing kampung membawa hasil-hasil tersebut ke suatu tempat di lapangan belakang Mesjid Agung Keraton Liya.

Seluruh kampung melalui perwakilan masing-masing membawa makanan olahan dan yang belum di olah kemudian dibuatkan rumah tanduh dengan model sedemikian rupa dan dihiasi oleh hasil2 kebun, ternak dan laut tersebut dan bagian depan dibuatkan miniatur model kepala ayam jago besar dari bahan-bahan hasil kebun tersebut. Di dalam rumah tandu tersebut berisikan Liwo semua kampung. Sebelum diadakan makan-makan bersama dan saling tukar hasil kebun, ternak dan hasil laut, terlebih dahulu diadakan ritual adat oleh para pemuka adat dan sara mesjid Agung Keraton Liya, kemudian sedudahnya disuguhkan honari tamburu dan honari mosega, bahkan juga di suguhkan atraksi posepaa, atraksi semba wemba dan tarian-tarian asli Liya. Sesudah acara ritual dan tampilan seni budaya tersebut lalu diadakanlah makan bersama atau dikenal dengan sebutan Manga-Manga seluruh masyarakat kampung tanpa kecuali yang berkumpul di lapangan (alun-alun) keraton Liya.


 Acara Rakyat Liya di Alun2 Mesjid Agung Keraton Liya

Sayang seribu sayang, acara ini tidak pernah dilestarikan dan dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi sehingga keberadaan Budaya Sampea boleh dikatakan bahwa saat ini hampir punah dan generasi muda Liya kebanyakan sudah tidak mengetahuinya lagi. Padahal acara Budaya Sampea Liya ini telah dilakukan oleh nenek moyang suku Liya sejak ratusan tahun silam yang lalu sebagai tanda syukur mereka akan karunia Allah SWT dan alam semesta atas pelimpahan rezeki atas hasil-hasil kebun, ternak dan laut. Dan biasanya setelah acara Sampea ini dilakukan, masyarakat Liya mendapatkan kesuburan kebun-kebun yang ditanaminya, kesuburan ternak serta hasil-hasil laut yang semakin melimpah.

Kabali menghimbau kepada Dinas Parawisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi untuk segera mengadakan pendataan dan inventarisasi sejarah Budaya Sampea Liya ini sekaligus menjadikannya ikon budaya wakatobi sejajar dengan budaya Kabuenga asal Maadati, mengingat bahwa Budaya Sampea Liya akan memberikan konstribusi positif pada leading sector parawisata budaya di wakatobi karena budaya ini dapat membangkitkan animo para turis manca negara untuk turut aktif didalam kegiatan tersebut ketika mereka menyaksikan acara ini.

Sesuai dengan berita dari sumber media on line di http://adirafacesofindonesia.com/article.htm/378/Sisi-Lain-Dari-WAKATOBI, disebutkan bahwa  Salah satu hal yang lain yang tak kalah menarik  adalah budaya wakatobi yang masih dilestarikan salah satunya Kabuenga. Ini adalah salah satu perayaan lokal yang bahkan katanya telah diadakan sejak zaman kerajaan  kabuton. Kabuenga sendiri adalah ayunan besar yang dapat diduduki cewek dan cowok dewasa dimana mereka percaya bahwa pasangan yang diayun adalah berjodoh. Oleh sebab itu yang mengayunnya pun sambil memanjatkan doa dan nyanyian untuk mendoakan pasangan tersebut. Menurut ceritanya, kabuenga ini diadakan karena para pemuda lokal yang notabane adalah pelaut sulit memiliki waktu untuk bersosialisasi sehingga mereka kesulitan mencari pasangan sehingga diadakanlah kabuenga untuk mengatasi hal ini.


 Kabuenga Mandati

Prosesi Kabuenga dimana para gadis dalam balutan pakaian adat bersama para ibu mereka dituntun dan berjalan mengelilingi arena kegiatan sambil menyanyikan lagu kadhandiyo untuk beberapa kali. Sehubungan dengan prosesi, para gadis menyuguhkan minuman dalam takaran tertentu kepada tamu yang diundang. Tamu dengan spontan akan menghargai minuman dengan memberikan sejumlah uang dalam amplop yang tertutup.Setelah prosesi itu selesai, anak anak muda membagikan bingkisan kepada sejumlah gadis gadis kecil peserta kabuenga yang biasanya mengambil tempat di tengah arena.Setelah itu acara yang ditunggu tunggu pun berlangsung. Para orang tua lelaki akan memberikan sejumlah uang atau membawa bahan makanan untuk diberikan kepada salah satu gadis pujaan sang pemuda. Maka itu berarti sang pemuda mencintai sang gadis. Acara kabuenga diakhiri dengan mengayun pasangan muda mudi yang diketahui saling mencintai. Mereka diayun secara bersama oleh para orang tua dan disaksikan oleh seluruh pengunjung.

Konon mantra ”Kabuenga” sangat manjur sehingga dipercaya bagi pasangan yang duduk bersama dan diayun akan berjodoh. “Mantra” kabuenga ini bahkan terbukti manjur ketika artis Hanung Bramantyo dan Zaskia Mecca mencoba diayun di kabuenga dan tak lama setelah itu mereka melangsungkan pernikahan. Entah benar atau tidak yang jelaskabuenga merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang harus tetap dilestarikan.****

BUPATI WAKATOBI SEBAIKNYA MEMPELAJARI SEJARAH BUDAYANYA LEBIH MENDALAM AGAR DALAM MENGELUARKAN STATEMEN SEJARAH DIDUKUNG OLEH FAKTA SEJARAH.



OLEH : HUMAS KABALI


Bupati Wakatobi, Ir. Hugua





Dalam berita media on line http://ozzonradio.com/home/2012/03/hugua-wakatobi-bagian-kesultanan-buton-tapi-beda-etnis/, Bupati Wakatobi, Ir Hugua, mengatakan, untuk membangun eksistensi Kabupaten Wakatobi yang sudah tersohor dengan pariwisatanya, maka satu hal yang harus diperhatikan yakni Wakatobi harus unik dan beda dengan daerah lainnya di Indonesia. Hal itu diungkapkannya saat penerbangan perdana expressair rute Makassar-Wakatobi-Ambon beberapa hari lalu.

Keunikan yang dimaksudkan Bupati dua periode tersebut yakni Wakatobi tidak bisa meniru budaya, logat dari daerah lain. Jika meniru budaya daerah lain, maka secara langsung budaya Wakatobi yang diwarisi sejak para leluhur akan lebih rendah dari daerah yang ditiru.

“Wakatobi tidak bisa meniru budaya, logat daerah lain. Wakatobi harus tetap dengan budayannya sendiri. Jika Wakatobi meniru budaya dan logat daerah lain maka Wakatobi sangat jelas lebih rendah dari daerah yang ditiru,” terang Hugua.

Menurutnya, meskipun Wakatobi secara geografis berada dalam wilayah Buton (Kesultanan Buton, red), namun Wakatobi bukan berarti masuk etnis Buton. Wakatobi tetap memiliki etnis tersendiri yakni etnis Wakatobi. Dan itu sangat beralasan karena bahasa Buton dan Bahasa daerah Wakatobi tidak ada kesamaan.
“Wakatobi punya etnis tersendiri. 

Wakatobi hanya bagian dari kerajaan Buton tapi etnis beda. Pasalnya, bahasa daerah Wakatobi tidak ada yang sama dengan bahasa Buton,” katanya. Untuk itu kata Hugua, Wakatobi agar tetap memiliki eksistensi tersendiri maka Wakatobi tidak akan mengadopsi budaya daerah lainnya.  Wakatobi kata dia, memiliki budaya yang tidak dimiliki daerah lainnya.“Wakatobi memiliki kekuatan laut yang tidak bisa terpental,” tukasnya.****