KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI BANDA PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI NGIFI- LARIANGI LIYA, PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

Sabtu, 13 Oktober 2012

PEMDA WAKATOBI HARUS TANGGAP : SECARA SOSIOLOGI BUDAYA, KEHADIRAN LEMBAGA ADAT DI LIYA, WANGI-WANGI TIDAK DIPERLUKAN ; "GALANG LEMBAGA SARA LIYA"


OLEH : HUMAS KABALI



Berdasarkan hasil kajian sosiologis tradisi budaya Liya, disimpulkan bahwa keberadaan Lembaga Adat Liya yang ada saat ini sama sekali tidak diperlukan oleh masyarakat Liya mengingat bahwa secara turun temurun hingga saat ini charisma kewibawaan Sara Liya (bobato Liya) masih sangat disegani oleh masyarakat adat Liya. Apalagi sejak tanggal 25 Juli 2012 Meantu,u Liya (di Liya dikenal dengan nama Lakina, atau Moori atau Raja) telah dilantik secara adat oleh Sultan Buton di Keraton Buton. Dampak positif dari telah dilantiknya Raja Liya tersebut yang dipegang oleh Mumammad Haris (anak Raja Liya terahir), maka saat ini telah disusun perangkat sara Liya yang terdiri dari 12 orang Bobato Liya atau pemangku tertinggi adat Liya sebagai perangkat pemerintahan Raja Liya. Meskipun kehadiran Raja Liya dan perangkatnya sebagai suatu sistem pemerintahan tradisional masa lalu tidak begitu tenar dibicarakan saat ini diranah nasional, namun tidaklah begitu salah keberadaan mereka saat ini mengingat bahwa nilai-nilai sistem hukum adat tradisional di masyarakat Liya hingga saat ini dalam kehidupan sehari-hari masih berlaku mutlak

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan,pada bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, ayat 15. Disebutkan bahwa Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Dalam keterangan ayat 15 tersebut sangatlah jelas bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Adat yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang dalam sejarah masyarakat Liya adalah Sara Liya yang dikenal dengan Bobato Liya. Bobato Liya inilah sebenarnya berfungsi sebagai Lembaga Adat karena ditangan merekalah yang mengatur segala sistem adat dan hukum adat yang berlaku di masyarakat Liya bukan lembaga adat yang baru dibentuk seperti yang terjadi saat ini.

Masyarakat Liya sampai saat ini sangat tunduk atas azas system adat dan hokum adat yang berlaku di Liya termasuk juga batas-batas wilayah hak ulayat adat. Menurut DR (kandidat) Sumiman Udu, M.Hum mengatakan bahwa di Liya tidak diperlukan hadirnya Lembaga Adat, sebab masyarakat masih tunduk dan taat atas azas system adat dan hokum adat yang dimiliki oleh sara Liya (bobato Liya), sehingga keberadaan Lembaga Adat yang ada saat ini akan menjadi mubasir jika para sara Liya tidak mau menyetujui keputusan-keputusan yang diambil oleh Lembaga Adat ini.

Oleh karena itu, Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia menghimbau agar para pengurus Lembaga Adat Liya saat ini sebaiknya mempertimbangkan dengan baik keberdaan lembaga yang dibentuknya supaya masyarakat Liya tidak menjadi bingung dalam penegakan adat istiadat, tradisi dan budaya mengingat Sara Liya (bobato Liya) masih memiliki kewibawaan untuk mengatur masyarakatnya apalagi saat ini telah terbentuk bobato Liya dengan 12 orang kepala Sara yang dipimpin oleh Raja Liya (meantu,u Liya). Raja Liya dan perangkatnya inilah merupakan partnership pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi dalam mengatur sistem masyarakat adat di wilayahnya dan penghubung antara kepentingan masyarakat adat dan pemerintah. 

Dengan demikian Pemerintah Daerah kabupaten Wakatobi sudah saatnya merangkul Raja (Lakina/Mo'ori) Liya dan perangkatnya sebab ditangan merekalah merupakan kedaulatan tertinggi penegakan sistem adat dan hukum adat masyarakat Liya, termasuk dalam mengurusi sejarah, budaya tradisi dan atad istiadat dan batas-batas tanah hak ulayat adat milik sara Liya. Jangan samakan struktur sara Liya dengan struktur sara mandate atau Wanci, sebab struktur sara Liya terdiri dari Lakina (Raja) Liya didampingi oleh 12 orang kepala Sara (bobato Liya) tidak dimiliki oleh sara Mandati, Sara Kapota dan Sara Wanci, sebab di wanci, Mandati dan Kapota tidak memiliki Lakina (Raja) kecuali hanya kepala Sara. Dan hanya Raja Liya ketika masa pemerintahan kesultanan buton baik sebelum terbitnya undang-undang Murtabat Tujuh maupun sesudahnya diberi tiga gelar atau kekuasaan yakni Raja Liya sebagai Lakina Liya, Raja Liya sebagai Sarana Wolio dan Raja Liya sebagai Bobato Mancuana Matanayo. Di seluruh wilayah kepulauan tukang besi kala itu, termasuk barata Kaledupa tidak memiliki Bobato Mancuana Matanayo dan Sarana Wolio kecuali hanya satu-satunya terdapat di Liya.

Konsepsi sejarah tradisional masa lalu tidak bisa dihilangkan begitu saja dari peradaban masyarakat sebab sampai saat ini di Liya semua komunitas masih membekas dan mempercayainya sebagai suatu sistem pranata adat istiadat dan budaya yang mengikat seluruh kehidupan masyarakat disana dan pranata itu dijalankan oleh Sara Liya yang lebih dikenal dengan Bobato Liya, bukan oleh Lembaga Adat. Oleh karena itu sekali lagi kami tegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Wakatobi  mulai saat ini mulailah menggalan kerja sama dengan Lakina Liya (saat ini ditunjuk : La Ode Muhammad Haris) dengan perangkatnya yang terdiri dari 12 orang kepala Sara (bobato Liya) sehingga diharapkan dengan telah dijalinnya kerja sama yang baik pemerintah daerah wakatobi akan lebih mudah dalam menerapkan program-program kerja dibidang sosial budaya dan batas-batas tanah hak ulayat adat disana sebab masyarakat Liya masih sangat taat azas kepada Sara Liya.

Pergeseran nilai-nilai pemerintahan tradisional kesultanan buton mulai bergeser atas kepentingan Belanda ketika telah ditanda tangani perjanjian Brughman-Asykin pada tahun 1902 dan kemudian dibentuklah 18 buah distrik di wilayah kesultanan buton satu diantaranya adalah termasuk distrik wangi-wangi. Saat itu di wangi-wangi hanya dikenal 4 buah desa yakni desa Liya, desa Wanci, desa Mandati dan desa Kapota. Seiring dengan perjalanan waktu supaya Belanda mudah memungut pajak di wilayah distrik wangi-wangi, maka beberapa gelar pemerintah tradisional di Liya dihapus; seperti Bobato Mancuana Matanayo Liya, Sabandara dan Bonto (Bonto Wawo dan Bonto Woru). Dilain pihak di Wanci, Mandati dan Kapota di angkat Mo’ori atau Raja dengan maksud melalui raja-raja bentukan colonial ini masyarakat di wilayah tersebut bisa tunduk membayar pajak ke petugas-petugas resmi yang di pekerjakan oleh Belanda.

Kalau di Wanci, Mandati dan Kapota ada Lembaga Adatnya, biarkan saja sebab struktur sara yang mereka miliki tidak sama dengan Liya, tak ada karma-karmaan disana. Kalau di Liya sampai saat ini masih berlaku hukum karma yakni "Tapa Sara" atau “bala’o.” Jika sebagian dari warga Liya masih tak percaya hal ini..., maka di coba saja paling yang menanggungnya diri sendiri bukan orang lain. 

Bagaimana Mengaktifkan Lembaga Sara Liya

Satu-satunya cara untuk bisa mengaktifkan Lembaga Sara Liya (Bobato Liya) yang telah tersusun saat ini yakni dengan segera membentuk Kantor Sekretariat Lembaga Sara Liya dengan melengkapi personil-personil yang dipandang cakap dan mampu mengolah administrasi kelembagaan dan mampu berkomunikasi dengan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kabupaten Wakatobi. Sekretariat Lembaga Sara Liya dipimpin oleh seorang sekretaris yang minimal berlatar belakang pendidikan sarjana (S-1) dan memiliki pengalaman dalam berorganisasi dengan paling sedikit membawahi dua bidang, yakni bidang hubungan masyarakat kemudian  bidang penegakan hukum sara dan penegakan hukum adat. Para tokoh-tokoh masyarakat Liya, tokoh pemuda, tokoh mahasiswa agar segera menggagas pertemuan untuk membahas pembentukan sekretariat lembaga Sara Liya ini agar para Sara Liya (bobato Liya) yang sudah dikukuhkan oleh Meantu'u Liya (Raja Liya/Lakina Liya) beberapa waktu lalu segera menjalankan fungsi-fungsi sosial budaya yang mereka emban sesuai kedudukan masing-masing dalam penegakan hukum sara dan hukum adat yang diembannya termasuk didalamnya inventarisasi tanah-tanah milik hak ulayat sara Liya yang saat ini sudah banyak yang tersabotase oleh oknum-oknum tertentu, juga inventarisasi harta-harta alam dan harta simpanan pampasan perang masa lalu yang tertimbun di wilayahnya.
Dengan telah diaktifkannya lembaga sara Liya akan membawa dampak positif dalam pengendalian sistem adat istiadat dan tradisi budaya di wilayah Liya dalam rangka mendukung desa Liya Raya sebagai desa wisata budaya menyambut kunjungan para turis manca negara mulai tahun 2013 secara berkelanjutan dan sebagai tolok ukur pengembangan desa-desa wisata budaya di tanah air indonesia. ****


Diposkan oleh : Kabali-Indoneia di 08:25