OLEH
: HUMAS KABALI
DR. L.M. Alifuddin Nur, M.Ag. (Kanan)
Ketua Bidang Pengembangan Kebudayaan Kabali
Kabali
memberitakan bahwa Budaya Sampea Liya sudah hamper 3 dasawarsa tidak pernah lagi
dilaksanakan oleh masyarakat Liya atau terakhir tampil tahun 1985-an dan kini seluruh komunitas adat tidak berani
menyelenggarakan acara Sampea tersebut karena terbentur masalah dana
operasional, mengingat sebagian besar terkendala adanya keterbatasan kemampuan sosial
ekonomi masyarakat dan tidak berjalannya sistem pemerintahan tradisional akibat
dari telah wafatnya Raja Liya terakhir La Ode Bula.
Budaya
sampea Liya masa lalu merupakan acara rutin tahunan seluruh masyarakat Liya
dengan membawa hasil-hasil panen dari kebun, laut dan ternak, baik yang telah diolah dalam
bentuk masakan dan disajikan dalam bentuk Liwo dan yang masih mentah, yang mana
masing-masing kampung membawa hasil-hasil tersebut ke suatu tempat di lapangan
belakang Mesjid Agung Keraton Liya.
Seluruh kampung melalui perwakilan masing-masing
membawa makanan olahan dan yang belum di olah kemudian dibuatkan rumah tanduh
dengan model sedemikian rupa dan dihiasi oleh hasil2 kebun, ternak dan laut tersebut
dan bagian depan dibuatkan miniatur model kepala ayam jago besar dari
bahan-bahan hasil kebun tersebut. Di dalam rumah tandu tersebut berisikan Liwo
semua kampung. Sebelum diadakan makan-makan bersama dan saling tukar hasil
kebun, ternak dan hasil laut, terlebih dahulu diadakan ritual adat oleh para pemuka
adat dan sara mesjid Agung Keraton Liya, kemudian sedudahnya disuguhkan honari
tamburu dan honari mosega, bahkan juga di suguhkan atraksi posepaa, atraksi semba
wemba dan tarian-tarian asli Liya. Sesudah acara ritual dan tampilan seni
budaya tersebut lalu diadakanlah makan bersama atau dikenal dengan sebutan Manga-Manga seluruh masyarakat kampung tanpa kecuali yang
berkumpul di lapangan (alun-alun) keraton Liya.
Acara Rakyat Liya di Alun2 Mesjid Agung Keraton Liya
Sayang
seribu sayang, acara ini tidak pernah dilestarikan dan dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi sehingga keberadaan Budaya Sampea boleh
dikatakan bahwa saat ini hampir punah dan generasi muda Liya kebanyakan sudah
tidak mengetahuinya lagi. Padahal acara Budaya Sampea Liya ini telah dilakukan oleh
nenek moyang suku Liya sejak ratusan tahun silam yang lalu sebagai tanda syukur
mereka akan karunia Allah SWT dan alam semesta atas pelimpahan rezeki atas hasil-hasil kebun, ternak dan laut. Dan biasanya setelah acara Sampea
ini dilakukan, masyarakat Liya mendapatkan kesuburan kebun-kebun yang
ditanaminya, kesuburan ternak serta hasil-hasil laut yang semakin melimpah.
Kabali
menghimbau kepada Dinas Parawisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi untuk
segera mengadakan pendataan dan inventarisasi sejarah Budaya Sampea Liya ini
sekaligus menjadikannya ikon budaya wakatobi sejajar dengan budaya Kabuenga
asal Maadati, mengingat bahwa Budaya Sampea Liya akan memberikan konstribusi positif
pada leading sector parawisata budaya di wakatobi karena budaya ini dapat
membangkitkan animo para turis manca negara untuk turut aktif didalam kegiatan
tersebut ketika mereka menyaksikan acara ini.
Sesuai
dengan berita dari sumber media on line di http://adirafacesofindonesia.com/article.htm/378/Sisi-Lain-Dari-WAKATOBI,
disebutkan bahwa Salah satu hal yang
lain yang tak kalah menarik adalah
budaya wakatobi yang masih dilestarikan salah satunya Kabuenga. Ini adalah salah satu perayaan lokal yang bahkan katanya
telah diadakan sejak zaman kerajaan kabuton.
Kabuenga sendiri adalah ayunan besar yang dapat diduduki cewek dan cowok dewasa
dimana mereka percaya bahwa pasangan yang diayun adalah berjodoh. Oleh sebab
itu yang mengayunnya pun sambil memanjatkan doa dan nyanyian untuk mendoakan
pasangan tersebut. Menurut ceritanya, kabuenga ini diadakan karena para pemuda
lokal yang notabane adalah pelaut sulit memiliki waktu untuk bersosialisasi
sehingga mereka kesulitan mencari pasangan sehingga diadakanlah kabuenga untuk
mengatasi hal ini.
Kabuenga Mandati
Prosesi Kabuenga dimana para gadis dalam balutan pakaian adat bersama para ibu mereka dituntun dan berjalan mengelilingi arena kegiatan sambil menyanyikan lagu kadhandiyo untuk beberapa kali. Sehubungan dengan prosesi, para gadis menyuguhkan minuman dalam takaran tertentu kepada tamu yang diundang. Tamu dengan spontan akan menghargai minuman dengan memberikan sejumlah uang dalam amplop yang tertutup.Setelah prosesi itu selesai, anak anak muda membagikan bingkisan kepada sejumlah gadis gadis kecil peserta kabuenga yang biasanya mengambil tempat di tengah arena.Setelah itu acara yang ditunggu tunggu pun berlangsung. Para orang tua lelaki akan memberikan sejumlah uang atau membawa bahan makanan untuk diberikan kepada salah satu gadis pujaan sang pemuda. Maka itu berarti sang pemuda mencintai sang gadis. Acara kabuenga diakhiri dengan mengayun pasangan muda mudi yang diketahui saling mencintai. Mereka diayun secara bersama oleh para orang tua dan disaksikan oleh seluruh pengunjung.
Konon
mantra ”Kabuenga” sangat manjur
sehingga dipercaya bagi pasangan yang duduk bersama dan diayun akan berjodoh.
“Mantra” kabuenga ini bahkan terbukti manjur ketika artis Hanung Bramantyo dan
Zaskia Mecca mencoba diayun di kabuenga dan tak lama setelah itu mereka
melangsungkan pernikahan. Entah benar atau tidak yang jelaskabuenga merupakan
salah satu warisan budaya Indonesia yang harus tetap dilestarikan.****