OLEH : HUMAS KABALI
Bupati Wakatobi, Ir. Hugua
Kabali
meminta kepada Bupati Wakatobi (Hugua) agar lebih intensif lagi mempelajari
sejarah budayanya sebelum mengeluarkan statemen-statemen sejarah yang sama
sekali tidak didukung oleh fakta sejarah.
Hal ini mengemuka setelah Kabali membaca diberbagai media on line, sehingga diharapkan kedepan eksistensi sejarah dan budaya
wakatobi dapat semakin akurat dan akuntabel dalam kerangka mendukung destinasi parawisata budaya di wakatobi.
Untuk
diketahui bersama bahwa La Ode Muhammad
Syarif Mukmin dalam bukunya Sejarah
Buton (tidak diterbitkan) disebutkan bahwa wilayah -wilayah kepulauan dalam
wilayah pemerintahan kerajaan buton baru
masuk menjadi wilayah toritorial kerajaan buton sejak Raja Mulae (Raja Buton
Ke-5) berkuasa tahun 1498 s/d 1538. Ini dapat ditafsirkan bahwa sebelum Raja
Buton Ke-5 berkuasa atau sebelum tahun 1498 wilayah kepulauan tukang besi (Wangi-Wangi,
Kaledupa, Tomia dan Binongko) adalah berdiri sendiri-sendiri dengan
pemerintahan kerajaan sendiri-sendiri.
Kemudian
khusus untuk kerajaan di pulua Wangi-Wangi pusatnya ada di Liya. Menurut La Ode Bumbu dalam bukunya Sejarah Liya, disebutkan bahwa pada masa
sebelum terbentuknya distrik di wilayah kesultanan Buton, di Wangi-wangi hanya
dikenal ada 4 kampung, yakni kampung Liya dengan jumlah sara 120 orang, kampung
Wanci dengan jumlah sara 60 orang,
kampung Mandati dengan jumlah sara 40 orang dan kampung Kapota dengan jumlah sara 20 orang. Hal ini
diperkuat oleh keterangan dalam tulisan Abdul
Rahman Hamid yang berjudul “Buton
Bukan Indonesia” disadur dalam buku “Menafsir Ulang Sejarah Budaya Buton (2011)”
disebutkan bahwa kekuasaan Belanda masuk ke pemerintahan kesultanan buton sejak dilakukan
penandatanganan perjanjian Asyikin-Brughman tahun 1912. Dan kemudian dalam
perjalanannya untuk mempermudah
pemungutan pajak oleh Belanda, pada tahun 1913 wilayah pemerintahan kesultanan
Buton dibagi menjadi 19 distrik. Diantaranya di wilayah Wakatobi terdapat 4
distrik, yakni : distrik wanci (4 kampung), distrik kaledupa (10 kampung), distrik tomia (3 kampung) dan distrik binongko (8 kampung).
Dalam
Naskah Hikayat Negeri Buton (NHNB) yang ditulis oleh saudagar Banjar tahun
1267, disebutkan bahwa Si Malui
pernah singgah di Liya, demikian pula Si
Panjonga pernah singgah di Liya.
Pemahaman naskah ini dibenarkan oleh DR. La Niampe, M.Hum
seorang pakar filologi mengatakan bahwa Si
Malui dan rombongannya masuk di Liya di akhir abad ke XI dan membuat
benteng pertahanan disana dan kemudian sesudahnya menyusul Si Panjonga dan rombongannya singgah di Liya dan membuat benteng
pertahanan disana. Masing-masing Si Malui dan Si Panjonga adalah orang-orang
sakti asal Johor-Melayu.
Dalam
berita media on line http://ozzonradio.com/home/2012/03/hugua-wakatobi-bagian-kesultanan-buton-tapi-beda-etnis/,
Bupati Wakatobi, Ir Hugua, mengatakan, untuk membangun eksistensi Kabupaten
Wakatobi yang sudah tersohor dengan pariwisatanya, maka satu hal yang harus
diperhatikan yakni Wakatobi harus unik dan beda dengan daerah lainnya di
Indonesia. Hal itu diungkapkannya saat penerbangan perdana expressair rute
Makassar-Wakatobi-Ambon beberapa hari lalu.
Keunikan
yang dimaksudkan Bupati dua periode tersebut yakni Wakatobi tidak bisa meniru
budaya, logat dari daerah lain. Jika meniru budaya daerah lain, maka secara
langsung budaya Wakatobi yang diwarisi sejak para leluhur akan lebih rendah
dari daerah yang ditiru.
“Wakatobi
tidak bisa meniru budaya, logat daerah lain. Wakatobi harus tetap dengan
budayannya sendiri. Jika Wakatobi meniru budaya dan logat daerah lain maka
Wakatobi sangat jelas lebih rendah dari daerah yang ditiru,” terang Hugua.
Menurutnya,
meskipun Wakatobi secara geografis berada dalam wilayah Buton (Kesultanan
Buton, red), namun Wakatobi bukan berarti masuk etnis Buton. Wakatobi tetap
memiliki etnis tersendiri yakni etnis Wakatobi. Dan itu sangat beralasan karena
bahasa Buton dan Bahasa daerah Wakatobi tidak ada kesamaan.
“Wakatobi
punya etnis tersendiri.
Wakatobi hanya bagian dari kerajaan Buton tapi etnis
beda. Pasalnya, bahasa daerah Wakatobi tidak ada yang sama dengan bahasa
Buton,” katanya. Untuk itu kata Hugua, Wakatobi agar tetap memiliki eksistensi
tersendiri maka Wakatobi tidak akan mengadopsi budaya daerah lainnya.
Wakatobi kata dia, memiliki budaya yang tidak dimiliki daerah lainnya.“Wakatobi
memiliki kekuatan laut yang tidak bisa terpental,” tukasnya.****