Oleh : Mahaji Noesa
DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka, REP | 20 June 2011 | 15:19
213
6
1 dari 2 Kompasianer menilai menarik
Media
warga kompasiana.com kembali membuktikan diri sebagai salah satu
saluran informasi yang kontennya diperhitungkan. Hal itu, antara lain,
bisa dibuktikan dari ungkapan Ketua Lembaga Forum Komunikasi (Forkom)
Kabali Indonesia, Ali Habiu, dalam tulisannya yang diposting Minggu,12
Juni 2011 di opinion-publika.blogspot.com
Pengurus Pusat lembaga yang konsen di bidang pelestarian nilai-nilai tradisi, sejarah dan budaya Keraton Liya di Kabupaten Wakatobi, Provinsi
Sulawesi Tenggara (Sultra) tersebut, menyebut (tersirat) materi tulisan
bertajuk ‘Gajah Mada Lahir dan Wafat (Moksa) di Liya, Wakatobi’ (postingan 1
April 2011), kini sedang ditelusuri untuk memperkuat penyusunan materi
naskah pembuatan sebuah film kolosal.
Dalam
rangka itulah, pada 11 Juni 2011 lalu, Direktur Produksi ‘Semut Putih Indonesia’ Lucky Valentino melakukan pertemuan khusus dengan Ketua
Forkom Kabali, Ali Habiu dan La Ode Ali Ahmadi (Wakil Sekretaris) di
Hotel Estate, Kota Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Kepada
pihak Forkom Kabali dilakukan konfirmasi data berkaitan dengan kisah
Gajah Mada khususnya di Pulau Buton, juga menyangkut perjalanan hidup
Mahapatih Kerajaan Majapahit ini seperti yang telah dipublikasikan
melalui kompasiana.com. Simak: Gajah Mada Moksa
Film
‘Ksatria dari Pulau Wangiwangi’ sebagaimana dikutip dari manuskrip
naskah film tersebut, dimaksudkan untuk mengangkat efik sejarah yang
megah tentang jejak hidup Gajah Mada yang lahir di Pulau Buton dan moksa
di Wangiwangi. Alam dan kehidupan pulau-pulau, situs peninggalan
sejarah, tradisi dan budaya khususnya di bekas wilayah Kesultanan Buton
di Kabupaten Buton, Kota Baubau, dan Kabupaten Wakatobi yang juga
memiliki panorama bawah laut terindah di dunia direncanakan akan
melatari film ini. Pembuatannya diarahkan agar sejarah menjadi menarik
dan menemukan konteksnya di masa kini, terutama agar setelah menonton
orang-orang akan tertarik untuk menyimak lagi sejarah bangsa Indonesia,
termasuk mengenai Mahapatih Gajah Mada yang ternyata adalah Ksatria dari
Pulau Wangiwangi.
Penggarapan
sinema sekaligus dimaksudkan untuk mengangkat masalah aktual mengenai
identitas bangsa dan nasionalisme, agar setelah menonton anak-anak
bangsa dapat lebih menghargai warisan sejarah Nusantara.
Daratan
Pulau Buton serta pulau-pulau sekitarnya, termasuk Pulau Wanci
(Wangiwangi), Kalidupa, Tomia dan Binongko yang kini menjadi Kabupaten
Wakatobi, melalui catatan-catatan sejarah diketahui sejak ratusan tahun
lalu pernah menjadi tempat para bangsawan kerajaan-kerajaan Nusantara
dan pengikutnya untuk mengamankan diri. Baca: Buyon Jelang Tahun Baru
Di samping, Pulau Buton dan sekitarnya di masa silam tercatat sebagai
wilayah yang sering dijadikan tempat persinggahan para pelaut bangsa
Eropa. Di daratan pulau Buton ada bahasa warga Ciacia yang sejak ratusan
tahun lalu menggunakan huruf yang sama persis dengan aksara Hangeul —
huruf Korea untuk komunikasi tulis, sekalipun berbeda dalam pengucapan
lafaznya
Bahkan jauh sebelum abad XV ketika bangsa portugis mulai menjelajah kepulauan Nusantara, diperkirakan
bangsa dari daratan Amerika sudah pula menjalin komunikasi dengan warga
yang berdiam di wilayah Pulau Buton dan sekitarnya. Salah satu bukti,
tanaman ubi kayu yang berasal dari benua Amerika sudah menjadi makanan
pokok penduduk yang mendiami kepulauan Wakatobi, Buton, sebelum bangsa
Portugis menjelajahi perairan Indonesia abad XV – XVII. Simak: K-Suami Wakatobi
Kandidat
doktoral bidang antropologi budaya di Universitas Gajah Mada, Suminan
Udu, disebutkan, telah mengakui bahwa sekalipun cerita rakyat mengenai
Gajah Mada di Pulau Buton dan Wangi-wangi belum memiliki data akademis
yang kuat, namun sebagai konteks data dimensi fungsional sebuah
masyarakat, sudah cukup kuat untuk dijadikan obyek publikasi ataupun
pencitraan.
Dalam
rangka penyempurnaan manuskrip film Gajah Mada, menurut Ali Habiu,
pihak ‘Semut Putih Indonesia’ juga akan melakukan konsultasi dengan para
pakar sejarah dan budaya yang tergabung dalam tim penaskahan film-film
kolosal Indonesia di Jakarta. Setelah itu, Tim Produksinya akan kembali
lagi ke Sulawesi Tenggara, terutama dalam rangka meminta restu dan
dukungan kepada Bupati Buton, Walikota Baubau, dan Bupati Wakatobi.
Sekaligus melakukan penjajakan ke sejumlah lokasi yang memiliki situs
dan artefak perjalanan Gajah Mada di ketiga wilayah yang beretnis Buton
tersebut.
Informasi
terakhir yang dilansir (18 Juni 2011) oleh Wakil Sekretaris Forkom
Kabali, La Ode Ali Ahmadi, saat ini sejumlah ahli bidang kebudayaan
lokal dan nasional sedang dipersiapkan untuk melakukan identifikasi awal
mengenai situs Gajah Mada yang terdapat di sejumlah tempat di bekas
wilayah Kesultanan Buton. Di antaranya, mengenai 40 makam yang selama
ini disebut-sebut sebagai makam pengikut Mahapatih Gajah Mada di Kampung
Majapahit di Desa Masiri Batauga Kabupaten Buton. Berikut menhir yang
terdapat di Gunung Wagumbangga, dan sebuah makam yang dikelililingi
pohon Cempaka Biru sebagai bagian dari jejak Gajah Mada.
Menhir
yang terdapat di puncak Gunung Labalawa yang dahulu merupakan wilayah
Kerajaan Tobetobe – sekitar 5 km dari Benteng Keraton Wolio (Kota
Baubau), pun selama ini ditengarai sebagai Prasasti Majapahit. Sejumlah
pesan-pesan yang hidup dituturkan turun-temurun dalam masyarakat di
sejumlah tempat di Kabupaten Buton dikaitkan sebagai pesan dari Mahapatih Gajah Mada.
Watu
Mada (Batu Mada) yang sejak lama dikenal masyarakat di Desa Liya, Pulau
Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi, kuat dugaan sebagai batu penanda
peninggalan Gajah Mada. Termasuk akan diidentifikasi sejumlah menhir dan
batu yang bertuliskan huruf Pallawa yang dicurigai sebagai peninggalan
Gajah Mada dan pengikutnya di Pulau Wangiwangi.
Sejumlah
artis film nasional yang dinilai cocok untuk memainkan peran dalam film
epik sejarah Gajah Mada ‘Ksatria dari Pulau Wangiwangi,’ di antaranya, Toro Margen, Nicholas Saputra, Lindung Simatupang, Bondan Prakoso, Tio Pakusadewo, dan Dian Sastro.
Menariknya,
dalam tulisan Ketua Lembaga Forkom Kabali Indonesia di
opinion-publika.blogspot.com (12 Juni 2011), dikaitkan dengan postingan
naskah di kompasiana.com berjudul ‘Gajah Mada Lahir dan Moksa di Liya, Wakatobi. Dia menjuluki saya sebagai
‘Budayawan Kompasiana’. Hahaaa….kambanaaa………….
‘Budayawan Kompasiana’. Hahaaa….kambanaaa………….
KOMENTAR BERDASARKAN :
Alam Azharian
Moga penggarapan film ini mendapat kemudahan dan bantuan dari berbagai pihak.
Moga bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia agar lebih menghargai warisan sejarahnya sendiri dan sadar, Indonesia juga bangsa besar.
Fitri Haryanti Harsono Saidil Anwar5 July 2011 11:11:22
Rangga Nala
Mahaji Noesa
Sekedar catatan, sebutan ‘Karaeng’ yang dimaksud adalah salah satu gelar kebangsawanan di Kerajaan Gowa-Tallo (Kerajaan Makassar).
Menurut ahli Lontara di Sulsel tokoh (Tomanurung) yang dijadikan raja pertama di Gowa terjadi di awal-awal abad XIV.Kerajaan Gowa mulai dikenal keluar sejak dipimpin Raja Gowa IX, Tumapa’risi Kallonna pada abad XVI (1510 - 1546).
Sedangkan peran Gajah Mada di Kerajaan Majapahit berlangsung di abad XIII - XIV. Ada yang menyebut Gajah Mada lahir tahun 1290 dan moksa (wafat?) tahun 1364. Menurut sejarawan Sulawesi selatan Prof.Dr.H.Mattulada (alm)belum atau tidak ada terdapat catatan mengenai Kerajaan Gowa di jazirah Sulawesi di bawah abad XIV. Jadi suatu hal baru jika mengaitkan sebutan ‘Karaeng’ dengan keberadaan Gajah Mada atau dengan Kerajaan Majapahit.
Dalam catatan Mpu Prapanca (Negarakertagama) jelas ada disebut Butun (buton), wangiwangi, Selayar,dan Bontain, sebagai wilayah Kerajaan Majapahit.
“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni graliyao wangi (ng) salaya sumba solo muar,….”( Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945).
Titip:
Pejuang Perintis Angkatan Laut Asal Sulawesi selatan
Rangga Nala
R. SS. Rangga.
Mahaji Noesa