Oleh : IR.LA ODE MUHAMMAD ALIHABIU,AMts.,M.Si *)
Pemimpin
baru, seringkali dikaitkan dengan ‘model’ baru, ‘gaya’ baru, sehingga
banyak yang mulai merasa penasaran, bagaimana nanti pimpinan baru itu
akan bersikap dan bertindak. Apa yang disukai dan tidak disukainya.
Pemimpin baru, mengingatkan saya pada pertanyaan seorang teman yang
diajukan dalam suatu acara; “pemimpin bagaimana yang menurut anda cocok
untuk zaman sekarang ini? Pertanyaan sederhana, tapi juga menyimpan
kesulitan untuk menjawabnya. Jawaban bisa saja muncul beragam. Ada yang
menjawab, pemimpin yang baik untuk abad sekarang adalah pemimpin yang
merakyat. Ada juga yang mendambakan pemimpin yang mau melayani, bukan
dilayani. Kepemimpinan gaya pejabat yang mau dilayani sudah tidak model
lagi alias out of trend. Seorang teman lain
menjawab bahwa sekarang yang lebih dibutuhkan adalah pemimpin yang mau
mendengar, terbuka terhadap masukan, dan tidak membuat keputusan
berdasarkan pertimbangan sendiri. Singkatnya pemimpin dengan gaya
kepemimpinan yang partisipatoris. Apa pun jawaban atas berbagai
pertanyaan model kepemimpinan diatas, saya rasa dan mungkin anda juga
akan sepakat bahwa siapapun orangnya, dari manapun asalnya, apapun latar
belakangnya, bagaimanapun gayanya, seorang pemimpin haruslah
respectable; bisa dihargai dan disegani-–kalau tidak mau menggunakan
kata dihormati. Respectable disini mengandung arti respek atau
penghargaan yang datang karena kualitas orang yang menjadi pemimpin itu,
dan bukan respek yang diharuskan, apalagi dipaksakan. Kualitas
respectable ini seringkali diperoleh seiring usia yang bertambah,
melalui pengalaman hidup yang bermakna, walaupun beberapa orang tertentu
memiliki semacam ‘bakat’ yang membuat mereka memiliki kualitas
respectable yang memang sudah ‘bakatnya’. Tapi bakat adalah potensi yang
selalu harus diasah agar tetap tajam dan semakin berkilau. Maka
kualitas juga harus selalu dijaga dan dipelihara serta ditingkatkan.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah; bagaimana sebetulnya pemimpin yang
respectable itu?. Meminjam kata-kata bijak yang menjadi moto dunia
pendidikan di Indonesia, saya berpendapat bahwa pemimpin yang
respectable adalah pemimpin yang “tut wuri handayani”. Seorang pemimpin
harus bisa berada di garis depan, membuka jalan bagi yang dipimpinnya.
Ini tentunya mengharuskan seorang pemimpin memiliki pengetahuan lebih.
Seorang pemimpin juga harus bisa berada di tengah, membaur dengan
kelompok atau masyarakat yang dipimpinnya. Membaur di sini juga berarti
mendapat perlakuan yang sama dengan yang dipimpin alias tidak ada yang
diistimewakan. Bersedia mendengarkan pendapat dari mereka yang dipimpin
untuk kemudian sama-sama membuat keputusan yang bijak, dan memperlakukan
semua orang setara. Lalu, seorang pemimpin juga harus bisa berada di
belakang, untuk mendorong dan memotivasi mereka yang dipimpinnya,
memberi kesempatan orang lain untuk mengaktualisasikan potensi diri dan
meraih prestasi. Untuk menjadi pemimpin yang demikian tentu dibutuhkan
kelebihan dalam banyak hal, antara lain pemikiran yang cemerlang dan
wawasan yang luas serta keberanian untuk menjadi kreatif dan
bereksperimen agar bisa berada di depan. Tapi pikiran cemerlang dan
wawasan luas saja tentu tidak cukup. Maka seorang pemimpin juga harus
memiliki jiwa besar, hati yang lapang serta kepribadian yang bersahaja.
Kualitas terakhir ini dibutuhkan agar seorang pemimpin bisa dan mau
mendengarkan pendapat orang lain, dan di saat yang sama mau mengakui
kelebihan orang lain serta dengan lapang dada memberikan kesempatan bagi
orang lain untuk mengalami hal baru, sehingga dapat berkembang dalam
pengetahuan dan kreativitas. Pemimpin yang demikian, selain bisa
memajukan orang/kelompok yang dipimpin, juga akan memajukan dan
meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang pemimpin. Karena dengan
mendengarkan pendapat orang lain dan mengenali potensi atau kelebihan
yang dimiliki orang lain, di saat yang sama dia juga belajar untuk
mengenali kelemahan dirinya dan belajar untuk menerima kritik. Salah
satu teori psikologi sosial yang dikenal dengan nama “Johari Window”
(Jendela Johari), disebutkan bahwa ada empat area utama dalam hal apa
yang bisa diketahui tentang seorang manusia (kepribadian dan potensi
serta kelemahannya). Pertama adalah bagian “Saya tahu, orang lain tidak
tahu”. Kedua, “Saya tahu, orang lain tahu”. Ketiga, “saya tidak tahu,
orang lain tahu”. Keempat dan ini yang terakhir, “Saya tidak tahu, orang
lain tidak tahu”. Teori ini mau menunjukkan bahwa sebagai seorang
manusia pasti pengetahuan kita–bahkan tentang diri sendiri—tidak
lengkap. Ada hal-hal tentang diri kita yang hanya kita yang tahu
(pengalaman pribadi, perasaan, pemikiran yang tidak diungkapkan), ada
juga hal-hal yang kita tahu dan orang lain juga tahu (perasaan dan
pemikiran yang sudah diungkapkan, pengalaman bersama dengan orang lain,
kemampuan yang sudah dibuktikan). Tapi ada juga hal-hal yang tidak kita
sadari tetapi dilihat oleh orang lain (potensi maupun kelemahan), selain
tentunya bagian yang sama-sama tidak kita dan orang lain ketahui. Dua
bagian pertama tentunya menjadi sesuatu yang bisa kita evaluasi sendiri:
potensi yang ditingkatkan dan kelemahan yang bisa kita perbaiki. Namun
bagian yang ketiga hanya bisa menjadi hal yang kita ketahui kalau ada
komunikasi dengan orang lain yang memiliki pengetahuan tersebut. Di
sinilah kebijaksanaan dan kemauan serta kemampuan untuk mendengarkan
akan membawa seorang pemimpin pada kemajuan dirinya. Karena hanya dengan
mendengarkan dan terbuka terhadap kritiklah seorang pemimpin bisa
mengenal bagian ketiga dari dirinya, untuk kemudian meningkatkan yang
baik dan melengkapi yang kurang. Namun tentunya hanya pemimpin yang
bersahaja yang mau dan mampu untuk mendengarkan orang lain serta terbuka
terhadap kritik untuk selalu memperbaiki diri dan kepemimpinannya.
Wacana yang berkembang di kalangan para petinggi Indonesia akhir-akhir
ini dan bahkan menjadi perdebatan yang panjang dan seru adalah
menyangkut usulan syarat pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) bagi calon
Bupati dan Wakil Bupati. Salah satu alasan yang mendasari munculnya
usulan ini adalah anggapan bahwa seorang sarjana memiliki wawasan luas
dan kemampuan untuk berpikir analitis selain juga kemampuan untuk
berpikir praktis. Benar atau tidaknya anggapan ini tentunya masih bisa
diperdebatkan. Namun kembali kepada kualitas pemimpin yang respectable
sebagaimana yang di bahas diatas, maka muncul pertanyaan dalam benak
sayadan mungkin dalam benak anda juga yaitu; sejauh mana tingkat
pendidikan menjamin adanya kualitas-kualitas tersebut dalam diri
seseorang? Secara pribadi, saya tidak percaya bahwa gelar kesarjanaan
menjamin seorang manusia akan memiliki wawasan luas dan kemampuan
berpikir yang lebih, apalagi kebijaksanaan dan kerendahan hati yang
diperlukan untuk menjadi pemimpin yang merakyat, yang menggunakan gaya
kepemimpinan partisipatoris, yang ”tut wuri handayani”. Secara pribadi
saya lebih meyakini pendidikan seumur hidup, yang diperoleh dari
pengalaman hidup bermasyarakat yang menumbuhkan idealisme, penghargaan
terhadap orang lain, kepedulian dan empati terhadap sesama. Bagi saya
pendidikan seumur hidup inilah yang membuat orang memiliki pengalaman
dan kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang
respectable, pemimpin yang dihargai dan disegani karena pengetahuan,
pengalaman, hati, kepribadian, dan kepemimpinannya. Pemimpin di masa
mendatang Kabupaten Wakatobi bukan hanya pemimpin yang berkarateristik
seperti diinginkan oleh para pengikutnya. Tapi, terdapat harapan-harapan
bahwa Pemimpin di masa depan Wakatobi mampu memenuhi dan memiliki
kondisi-kondisi seperti berikut ini:
1. The meaning of direction (memberikan visi, arah, dan tujuan)
Seorang
pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti
dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap
pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan
upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan.
2. Trust in and from the Leader (menimbulkan kepercayaan)
Keterbukaan
(candor) merupakan komponen penting dari kepercayaan. Saat kita jujur
mengenai keterbatasan pengetahuan yang tidak ada seluruh jawabannya,
kita memperoleh pemahaman dan penghargaan dari orang lain. Seorang
pemimpin yang menciptakan iklim keterbukaan dalam kepemimpinannya adalah
pemimpin yang mampu menghilangkan penghalang berupa kecemasan yang
menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya menyimpan sesuatu yang buruk
atas kepemimpinnya. Bila pemimpin membagi informasi mengenai apa yang
menjadi kebijakannya, pemimpin tersebut memberlakukan keterbukaan
sebagai salah satu tolok ukur dari “performance” kepemimpinannya.
3. A sense of hope (memberikan harapan dan optimisme)
Harapan
merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan kemampuan
mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin yang penuh
harapan menggambarkan dirinya dengan pernyataan-pernyataan seperti ini:
saya dapat memikirkan cara untuk keluar dari kemacetan, saya dapat
mencapai tujuan saya secara energik, pengalaman saya telah menyiapkan
saya di masa depan, selalu ada jalan dalam setiap masalah. Pemimpin yang
mengharapkan kesuksesan, selalu mengantisipasi hasil yang positif.
4. Result (memberikan hasil melalui tindakan, risiko, keingintahuan, dan keberanian)
Pemimpin
masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil, melihat
dirinya sebagai katalis –yang berharap mendapatkan hasil besar, tapi
menyadari dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang lain.
Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, tolerasi
terhadap risiko, disiplin dari seorang “entrepreneur”. Apakah para
pemimpin yang akan dipilih pada Pilbub Wakatobi 2011 sudah memiliki
kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin?. Hanya rakyat yang tidak
terprovokasi dan terintimidasi yang bisa menjawab pertanyaan ini dalam
membuktikan kualitas calon pemimpin mereka. Tetapi sebagai calon
pemimpin yang akan dipilih, tentunya mereka dipilih karena calon
pemimpin tersebut memiliki kualitas lebih yang dapat dilihat oleh
orang-orang yang telah memilih mereka, bukan?!.... Bukan dipilih kerena
telah melakukan politik uang! ****)
*). Ketua Umum Lembaga Kabali Indonesia.