OLEH : HUMAS KABALI
Berdasarkan
beita yang diperoleh dari media on line http://www.jurnas.com/halaman/5/2012-05-30/210638,
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) Wakatobi mengirimkan 30 penarinya untuk
belajar seni tari di Amerika Serikat sekaligus mempromosikan seni tari yang
dimiliki Wakatobi. Pengiriman penari ini diwujudkan berkat kerja sama antara
pemkab dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengembangan Destinasi Pariwisata
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.
Memang Kabali mengakui bahwa Pemerintah
Kabupaten Wakatobi tidak main-main menggarap potensi pariwisatanya, baik alam
maupun budaya. Setelah beberapa tahun fokus pada promosi keindahan bawah laut,
kini pemerintah kabupaten Wakatobi mengarahkan strateginya untuk promosi
kebudayaan.
Namun Kabali sangat menyayangkan
seribu kali sayang dan memprotes keras atas adanya kebijakan pemerintah kabupaten
Wakatobi tersebut tanpa di koordinasikan dan dibicarakan lebih dahulu secara intensif antara
pengurus-pengurus berbagai sanggar seni budaya yang ada di masing-masing pulau
Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, lantas dengan sangat tergesa-gesa
mengirimkan penari sejumlah 30 orang itu tidak mewakili aspirasi masing-masing
komunitas sanggar seni budaya yang telah banyak ikut andil membesarkan
pelestarian dan pengembangan seni budaya asli tradisional wakatobi.
Segenap pengurus inti Sanggar Seni Budaya Kabali Indonesia pusat Liya, Sanggar Seni Budaya Wanianse pusat Wanci
dan Sanggar Seni Budaya Kanamingku Mandati sangat kecewa atas kejadian ini, bukan saja
menghianati hasil kerja keras dan
partisipasi mereka selama ini dalam membesarkan nilai-nilai
budaya wakatobi tetapi mereka merasa dimatikan hasil kerja keras selama ini dalam melestarikan seni budayanya.
Sebetulnya seni budaya tradisional wakatobi
sagat banyak ragammnya, tidak perlu di modifikasi atau dirubah lengkok geraknya
atau di buat tarian modern karena ragam, congkat, eksotis dan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap gerakan mengandung makna tradisional masyarakat wakatobi
dalam menjunjung tinggi nilai-nilai perjuangan masa lalu baik dalam membesarkan masing-masing ethnisnya
maupun dalam mempertahankan ethnisnya dari serangan berbagai musuh yang
kesemuanya dituangkan dalam ragam bentuk gerak senitarinya.
Kabali menilai bahwa jika Pemerintah Kabupaten Wakatobi ingin memajukan seni budayanya dan memiliki nilai jual yang
baik maka selayaknya dapat secara konsisten mempertahankan nilai-nilai seni
budaya tradisionalnya. Memang diakui bahwa gerak, congkak, motif dan lekuk gerak
seni budaya tradisional kita masih miskin dari daya tarik motorik dan
ekstorik, namun sentuhannya tak perlu repot-repot mengunjungi negara paman sam
seperti Amerika Serikat cukup saja di Kendari Sulawesi Tenggara, disini ada guru
tari professional bernama Arini Wahyu Sadalwati Kepala Seksi Pertunjukan UPTD Taman Budaya Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam sanggar seni-37 Kendari, beliau adalah alumni seni tari Jogyakarta yang sudah banyak membimbing para panari seni di daerah ini. Mereka yang dikirim sebanyak 30 orang tersebut disana pasti akan mendapat pendidikan seni tari yang sangat
bertolak belakang dengan nilai-nilai tradisonal kita.
Sebetulnya apa yang mesti
dibanggakan dengan sebanyak 30 orang belajar seni tari modern di Amerika
Serikat yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal seni
budaya tradisional wakatobi yang sampai saat ini sangat diminati oleh para
turis manca negara karena lirik keaslian nilai-nilai budayanya masih utuh dan
mampu dipertahankan.
Kabali mengamati bahwa jangan-jangan
ada politisasi koloni komunitas usaha sektor parawisata yang kini telah
dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang tergabung dalam Hugua Resort, ikut andil main-main di belakang motif
pengiriman 30 orang penari wakatobi yang nota bene didominasi oleh sanggar seni budaya
tertentu (asal Tomia) untuk memperkuat sektor promosi usaha bisnis parawisatanya. Jika hal ini benar berarti keberadaan 30 orang hasil didikan seni tari di Amerika Serikat tersebut kelak tidak memberikan konstribusi reel pada sektor informal yang potensinya saat ini telah dimiliki oleh berbagai komunitas sanggar-sanggar
seni budaya yang ada di wakatobi. Jika terjadi demikian maka matilah ekonomi
kreatif dari leading sektor usaha sanggar-sanggar seni budaya yang telah digeluti oleh masyarakat seni wakatobi saat ini,
sekaligus mematikan mata rantai ekonomi para palatih dan pengurusnya yang
bermuara pada matinya ekonomi kerakyatan di wilayah tersebut.
Kabali
sangat memberikan apresiasi atas kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Wakatobi dengan Ditjen Pengembangan Destinasi
Pariwisata Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif yang dibangun untuk mencapai target mendatangkan wisatawan mancanegara sebanyak 12 ribu orang di Wakatobi
hingga tahaun 2014 mendatang.
Dikatakan
Hugua, pariwisata kebudayaan perlu diperhatikan karena ketika berada di
Wakatobi, para wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam bawah laut
melainkan juga memerlukan hiburan berupa seni tari dan berbagai atraksi budaya
lainnya.
Oleh
karena itu, agar para penari Wakatobi dapat menyuguhkan seni gerak tari yang
berkualitas tinggi dan memenuhi selera para wisatawan, mereka harus belajar ke
luar negeri yang tidak hanya menguasai seni gerak tari tetapi juga teknologi
seni tari itu sendiri.
Dia
berharap, di masa-masa mendatang, Wakatobi dapat mengirimkan duta seni tari ke
berbagai negara di Eropa seperti Inggris dan Italia. Warga di dua negara ini
terbilang cukup banyak yang berkunjung ke Wakatobi selama ini.
Hugua
juga menyebutkan sejumlah produk-produk kebudayaan khas Wakatobi, seperti
Bangka Mbule-mbule, Kabuenga, dan Karia. Dijelaskan, Bangka Mbule-mbule
merupakan tradisi masyarakat Suku Bajo melarung sesajen di tengah laut, sebagai
persembahan kepada penguasa laut agar melimpahkan rezeki dan menjauhkan nelayan
dari mara badaya gelombang laut, akan tetapi Kabali sangat menyayangkan dengan
tidak disebutkannya budaya Sampea asal Liya Togo yakni pesta tahunan setelah
musim panen dimana seluruh masyarakat Liya dilibatkan secara bersama-sama kumpul membawa hasil-hasil pertanian dan kelautannya
di Lokasi alun-alun keraton Liya dan disana diadakan upacara ritual dan
manga-manga dengan dihiasi berbagai atraksi seni budaya tradisonal.
Sedangkan
Kabuenga, merupakan tradisi masyarakat Wakatobi dalam mempertemukan jodoh kaum
muda-mudi di wilayah kabupaten tersebut. Sejumlah artis kenamaan di Indonesia
pernah mengikuti kegiatan ini saat berkunjung ke Wakatobi.
Adapun
Karia, merupakan tradisi masyarakat Wakatobi saat mengislamkan (mengkhitan)
anak perempuan mereka, ketika dianggap sudah memasuki usia akil balig atau
sebelum memasuki kehidupan rumah tangga.
Tiga
tradisi ini telah menjadi kalender tetap pagelaran budaya yang digelar Pemkab
Wakatobi setiap tahun pada bulan Agustus. Terakhir kali, pagelaran tiga tradisi
ini dirangkaikan pada kegiatan nasional Sail Wakatobi-Belitong (SWB) 2011
silam.
Atraksi Posepaa Liya
Dalam
konteksi ini Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia yang kini telah memiliki
gedung Pasanggrahan Pusat Pelatihan Seni Budaya Kabali Indonesia di Liya Togo lokasi Kohondao kawasan Keraton Liya sangat keberatan atas perlakuan semena-mena pemerintah kabupaten Wakatobi yang tidak
mencerminkan keadilan bagi masyarakat pelaku seni budaya di daerah ini. Dalam waktu dekat akan
melaporkan kejadian ini ke bapak Presiden Republik Indonesia dengan tindasan
organ-organ terkait, disamping melaporkan keadaan tersebut juga akan melaporkan
kurangnya kepedulian pemerintah kabupaten Wakatobi dalam membimbing sekaligus
menyantun secara ekonomi khususnya ditujukan bagi para pelatih seni budaya
Kabali Keraton Liya, sehingga kini yang terjadi para pelatih seni yang sudah
kami bentuk banyak yang meninggalkan Keraton Liya pergi merantau mencari sesuap
makan-----padahal dengan diberikan sedikit honorarium tetap kepada para pelatih
seni tari tersebut maka tentu keadaan ini tak perlu terjadi seperti saat ini. Dampaknya adalah Pasanggrahan
Pusat Pelatihan Seni Budaya Kabali Indonesia di Keraton Liya yang telah miliki 24 jenis seni budaya tradisional kini menjadi mati
suri karena pemerintah daerah tidak mau perdulikan meraka secara adil, para
pelatihnya sudah banyak yang meninggalkan tempat, padahal selama ini komunitas seni
budaya Liya Togo ini telah banyak memberikan konstribusi positif terhadap
pengembangan kebudayaan wakatobi. *****