OLEH : ALI HABIU
Beberapa referensi menyebutkan bahwa Gajah Mada wafat tahun 1364 M, akibat diasingkan dan dihianati oleh Hayam Wuruk sebagai suatu buntut peristiwa BUBAT dimana Gajah Mada di singkirkan ke wilayah Madakaripura dan hidup Gajah Mada di wilayah itu asketis (setabasri01.blogspot.com) Terdapat sejumlah tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh oleh Raja Hayam Wuruk bernama Rajasanagara sendiri yang khawatir akan pengaruh politik Gajah Mada yang sedemikian kuat di Majapahit. Penaklukan Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat ini. Hayam Wuruk mengarahkan politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau "luar" seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan.
Beberapa referensi menyebutkan bahwa Gajah Mada wafat tahun 1364 M, akibat diasingkan dan dihianati oleh Hayam Wuruk sebagai suatu buntut peristiwa BUBAT dimana Gajah Mada di singkirkan ke wilayah Madakaripura dan hidup Gajah Mada di wilayah itu asketis (setabasri01.blogspot.com) Terdapat sejumlah tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh oleh Raja Hayam Wuruk bernama Rajasanagara sendiri yang khawatir akan pengaruh politik Gajah Mada yang sedemikian kuat di Majapahit. Penaklukan Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat ini. Hayam Wuruk mengarahkan politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau "luar" seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan.
Dalam pandangan spiritual penulis Gajah Mada tidak dibunuh oleh Hayam Wuruk,
namun dia begitu melihat sudah tak ada lagi kepercayaan dari sang
Raja, dia menggunakan taktiknya untuk menghilangkan diri dari wilayah
pengasingannya dengan diam-diam dia berangkat dengan membawa pasukan
atau prajuritnya yang setia sampai mati sebanyak 40 orang berlayar
menuju negeri asal kelahirannya yakni pulau Buton. Setelah melalui
perjalanan panjang dari pulau Sumatera menuju pulau Buton Gajah Mada dan rombongan prajuritnya melewati kepulauan tukang besi yang sekarang dikenal dengan Wakatobi.
Perlu
diketahui bahwa Gajah Mada adalah seorang sakti mandraguna sebagaimana
kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya Si Jawangkati sehingga dalam
perjalannya pulau ke pulau Buton dia dituntun secara ghaib dan
mendapatkan petunjuk-petunjuk spiritual. Oleh karena itu setelah
melewati pulau Wangi-Wangi, Gajah Mada singgah dengan prajurit setianya
sebentar disalah satu pulau kecil di bagian barat kepulauan
Wangi-Wangi yakni pulau Oroho (dalam cerita pewayangan dikenal dengan nama ken rohan atau pulau roh) dengan memasang simbol-simbol disana.
Pada saat rombongan Gajah Mada singgah
di pulau ini dia disambut dengan baik oleh penghuni yang sudah lama
mendiami pulau kecil ini diperkirakan mereka mulai bermukim Tahun 538 (baca : Sejarah Liya, oleh La Ode Bumbu) yang tak lain
adalah merupakan para pendatang campuran dari berbagai bangsa seperti Persia, Mongolia, Tunisia, Melayu. Kemudian menyusul para bajak laut terdiri dari sebagian besar adalah para
prajurit Raja Khan yang berkuasa di Kamaru -Buton pertengahan abad IX
dan sebagian asal Mingindanau, Papua, Tobelo, Lanun, Balangingi.
Setelah beberapa saat Gajah Mada menyinggahi pulau kecil ini dalam pelariannya ke pulau Buton, akhirnya Gajah Mada memutuskan
untuk beristirahat menenangkan diri di pulau ini. Sementara ke 40 prajurit setianya
diperintahkan untuk menyingkir sementara di pulau Sumanga yang letaknya
tak jauh dari pulau Oroho untuk membuat hunian sementara dan
beristirahat disana sebelum melanjutkan perjalannya menuju pulau Buton
tepatnya di Takimpo dengan maksud agar kerahasiaan Maha Patih Gajah Mada yang amat sakti ini tetap terjaga.
Setelah Gajah Mada memilih beristirahat menenangkan diri (tapa brata)
di pulau Oroho, dia sempat untuk beberapa saat berkunjung ke pulau
Wangi-Wangi sebab disana sudah ada kerajaan kecil yang dibangun oleh Si Panjoga (baca : Naskah Hikayat Negeri Buton) yakni tepatnya di Liya. Gajah Mada sering berkunjung ke wilayah ini dan pada suatu hari tanpa sengaja bertemu dengan orang sakti bernama Wakunduru
tepatnya di wilayah Mandati Tonga. Wakunduru ini adalah seorang sakti
yang amat ditakuti di wilayah Wangi-wangi ketika itu dan merupakan penduduk asli. Maka tak lama kemudian terjadilah
pergulatan antara Gajah Mada sebagai orang pendatang dengan Wakunduru. Dalam perhelatan yang diperkirakan terjadi tahun 1362 tersebut Gajah Mada akhirnya tewas ditangan Wakunduru dengan menyembelih Lehernya. Setelah itu Wakunduru mengubur Gajah Mada di tempat bekas lokasi pergulatan tersebut yang letaknya dalam kawasan Benteng Liya lapis ke-3 dan sebagai kenangan atas keberanian Wakunduru ini konon dikisahkan oleh masyarakat lokal bahwa Wakunduru menanam Kepala Gajah Mada beserta alat-alat perangnya sebagai penghormatan terakhirnya. Adapun ukuran kuburan tua yang diperkirakan usianya sudah ratusan tahun lamanya yang dinamakan makam Gajah Mada dengan ukuran 3,00 m x 8,00 m dan berada pada ketinggian 17 meter di atas permukaan laut. Untuk membuktikan kisah ini dipelukan metodologi eskapasi dan forensik guna mengetahui persis usia dan DNA tulang belulang yang terdapat dalam makam ini.
Inilah Makam Gajah Mada
Pada saat prajurit setianya telah meninggalkan pulau Sumanga menuju pulau Buton sebanyak 40 orang, mereka pamitan dengan Gajah Mada dan
diperintahkan untuk memasuki pulau Buton di wilayah terdekat dari pulau
Wangi-Wangi yakni tepatnya mereka masuk di teluk Pasar Wajo. Setelah
rombongan 40 orang prajurit setia Gajah Mada ini masuk ke daratan
langsung menuju pembukitan bernama Takimpo. Di Takimpo inilah menurut
tutur rakyat setempat terdapat kuburan 40 orang prajurit Gajah Mada di
desa ini termasuk kuburan Gajah Mada dengan menunjuk gundukan pemakaman
di daerah tersebut. Namun demikian taktis prajurit setia Gajah Mada
ini luar biasa dengan tujuan hanya sekedar untuk menghilangkan
jejak-jekap perjalanan mereka mengingat baik Gajah Mada maupun para
prajuritnya sedang di cari oleh penguasa Majapahit yakni Raja Hayam Wuruk. Tak lama prajurit Gajah Mada
bermukim di Takimpo, lalu mereka mencari tempat lebih aman yakni dengan
berjalan menelusuri pembukitan ke arah utara dan akhirnya mereka
memilih desa Masiri Batauga sebagai tempat peristirahatan
terakhir mereke. Selama para prajurit setia Gajah Mada bermukim di
Takimpo, hubungan teliksandi antara Gajah Mada dengan para prajurit
setianya tetap berlansung. Oleh karena itu di bentuklah prajurit
teliksandi bernama : La Buri, La Paleiku dan La Kangka. Setiap ada
keperluan baik Gajah Mada maupun
para prajuritnya di utuslah ketiga orang tersebut dan setelah tiba di
pulau Wangi-Wangi mereka langsung menuju jalan rahasia bernama Oa Buea.
Tak jauh dari jalan rahasia Oa Buea tersebut terdapat Gua Mabasa tempat
Gajah Mada melakukan tapah brata. Oa Buea ini terletak di tepi pulau
Simpora dengan S=5.23'.18" dan E=123.36'06".
Oa Buea merupakan pintu Rahasia Teliksandi
Gajah Mada dalam Hubungan Prajuritnya
Sebagai tanda alam tak jauh dari pintu rahasia teliksandi Gajah Mada ini terdapat Batu Mada (watu mada) yang kemungkinan sengaja dibuat batu ini sebagai lambang perjalanan jejak-jejak Majapahit di kepulauan Wangi-Wangi. Batu Mada
ini sayang kondisi saat ini telah bergeser dari keadaan aslinya berdiri
dengan jarak sekitar 14 meter arah laut dari keadaan saat ini.
masyarakat yang merusak situs ini mungkin tidak mengetahui betapa
besarnya nilainya jejak batuan ini dan untung saja masih diketemukan
dijadikan tempat pijakan naik ke permukaan kebun pulau Simpora. Batu
Mada terletak ditepi pantai pulau Simpora. Batu Mada ini diperkirakan terdapat prasasti tulisan jawa kuno pada bagian bawahnya, namun sayang sudah tidak bisa di deteksi mengingat Batu Mada ini telah mengalami proses abrasi pasang surut air laut. Ada kemungkinan dibawah Batu Mada ini ada benda-benda bersejarah yang sengaja ditanam dalam sebuah petih mengingat bahwa keberadaan Batu Mada ini adalah batuan yang sengaja ditanam bukan batuan alam, namun sayang karena telah bergeser tempatnya pencarian situs dalam menggalinya memerlukan waktu dan lokasi yang tepat.
Situs Batu Mada yang telah di rusak
Gajah Mada setibanya di pulau Roh (Oroho) memutuskan untuk melakukan tapah brata didalam sebuah gua di wilayah
Togo Mo'ori yang mana situasi gua tersebut didalamnya datar tembus ke
laut dalam dan disanalah Maha Patih Gaja Mada bermukim sebelum menemui Wakunduru.
Dalam catatan Mpu Prapanca
(Negarakertagama) jelas ada disebut Butun (buton), wangiwangi, Selayar,dan
Bontain, sebagai wilayah Kerajaan Majapahit.
“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni gra-liya-o wangi (ng) salaya sumba solo muar,….”( Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945).
“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni gra-liya-o wangi (ng) salaya sumba solo muar,….”( Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945).
Bukti-bukti ontologisme dari salah seorang tua pertapa yang pernah menemukan Gajah Mada dalam
gua ini pernah menkisahkan secara terbatas dalam kalangan keluarga
tertentu di pulau wangi-wangi, karena ada rasa ketakutan luar biasa
ketika melihat sosok orang tak bergerak dalam keadaan duduk bersemedi
dalam sebuah bagian gua di pulau kecil tersebut. Selain itu bukti-bukti
secara artifak sejarah yang belum terpublikasi dan hanya dikonsumsi
dari kalangan metafisis penduduk salah satu desa yang terdapat di pulau
wangi-wangi telah diriwayatkan oleh leluhurnya secara turun temurun
adanya segumpal batu muncul kepermukaan laut ketika air laut surut dan
batu ini dinamai batu Mada. Pengamatan secara spiritual setelah melalui
pemantauan khusus secara metafisis, menunjukkan bahwa keberadaan batu
Mada ini merupakan simbol yang sengaja dibuat oleh Gajah Mada,
dimana dibawa batu tersebut diperkirakan merupakan penyimpangan sebuah
selendang warna kuning yang konon dikisahkan sebagai selendang sakti.
Sedangkan
ke 40 orang prajurit setianya berlabuh di Batauga salah satu wilayah
pulau Buton terdekat dari kepulauan wangi-wangi, dan merekapun setelah
tiba di wilayah ini tidak begitu lama berselang kemudian mencari sebuah
gua terbuka yang lebar dan luas. Dan di dalam gua terbuka inilah ke 40
orang prajurit setia Maha Patih Gajah Mada melakukan
semedi berbulan-bulan sampai mereka semua meninggal secara bersamaan
dan terkubur secara alamiah di dalam gua ini. Keberadaan Gua ini di
Batauga di kenal dengan nama Gua Mada tepatnya terdapat di desa Masiri,
kampung Mada di Batauga pulau Buton. Berdasarkan kisah konseptual,
spiritual dan ontologisme riwayat Maha Patih Gajah Mada,
maka postulat dapat disimpulkan bahwa Gajah Mada merupakan anak
pertama dari Si Jawangkati dengan ibu bernama Lailan Mangrani yang tak
lain adalah anak perempuan dari Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit. Si Jawangkati
adalah salah seorang mia patamiana wolio yang pada zamannya dia
memiliki kesaktian yang luar biasa dan disegani dikalangan penguasa
pada saat itu.
Masih diperlukan penelitian secara aksiologis dengan menggunakan metodologi eskapasi dan forensik untuk menguak tabir kisah Maha Patih Gaja Mada yang
penuh dengan misterius selama ini oleh para ahli antropolog budaya,
ahli ethnologis, ahli arkiologis dan ahli sejarah guna mendapatkan
suatu naskah sejarah Indonesia yang benar dalam rangka merubah
perjalanan sejarah Indonesia sesuai zamannya. Tinggal pemerintah pusat beranikah mengeluarkan dana untuk keperluan ini dan mampukah merubah image kebesaran Gajah Mada berada di luar pulau Jawa ?!****