KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI BANDA PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI NGIFI- LARIANGI LIYA, PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

Kamis, 18 Februari 2016

BENTENG LIYA TOGO DAN LAGENDA TALO TALO



Oleh : detikTravel Community


 Kompleks Benteng Liya Togo (Benteng Lapis ke-1), Wakatobi

 
Bukti kebesaran Kerajaan Mongol (Kerajaan Buton) bisa terlihat dari puing-puing benteng yang tersebar di Pulau Buton dan kawasan Wakatobi. Salah satunya adalah Benteng Liya Togo di Pulau Wangi-wangi. Terletak di daerah berbukit, benteng ini  mengelilingi Desa Togo dan sesuai hasil studi teknis Balai Arkiologi Makassar dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar disebut Benteng Lapis ke-1, dari tiga lapis benteng Benteng Liya yang ada di wilayah kepulauan Wangi-Wangi, Wakatobi. Sampai pada saat kami datangi,29 Oktober 2010, desa ini masih terlihat setia pada bentuk arsitektur lama dan terstruktur rapi.&nbet.  

Kompleks Benteng Liya Togo  intinya sendiri berada di posisi tertinggi. Dengan bentuk gerbang khas buton, atau disebut lawa dalam bahasa buton, dan arsitektur baruga yang sama dengan kompleks di tempat lain. Ada Mesjid Mubarak disisi barat dan baruga, atau semacam balairung (Bastion Laro Togo), di sisi timur. Di Utara terdapat kompleks pemakamanan. Yang terkenal disini adalah Makam Talo-Talo.  

Talo-talo adalah seorang Raja yang diangkat berasal dari pemuda biasa (golongan bukan bangsawan) yang memiliki kesaktian mandraguna. Beliau juga dikenal dengan sebutan Malan Sahibu yang artinya kurang lebih sebagai orang yang berkarakter keras dan bila berperang dia akan bertarung sampai titik darah penghabisan serta meluluhlantakan semua lawannya. Menurut legendanya, beliau ini saat mudanya sering berlatih meloncat di Baliura (bastion Laro Togo). 

Bastion  ini dipercaya sebagai inti atau asal usul Desa Liya Togo. Karena keahliannya meloncat ini, maka pada saat Kerajaan Liya sudah Gabung dengan Kesultanan Buton awal abad ke XVI mengirim beliau untuk menyelesaikan konflik di Batara Muna. Batara adalah konsep negara bagian di jaman pemerintahan Sultan Buton yang diterapkan oleh sultan Idrus Kaimuddin. 

Talo-talo menyelinap dengan melompati benteng Muna dan berhasil membunuh Raja Muna saat itu. Sebagai hadiah,  Kerajaan Talo-talo diberikan gelar sebagai Bobato Mancuana Matanayo atau Panglima Perang Kawasan Barat. 

 Hingga sekarang beliaupun dimakamkan di komplek dalam benteng Liya Togo. Satu lagi legenda yang menarik sehubungan dengan benteng ini adalah Baliura (Bastion Laro Togo). Bagi siapa yang menyentuh Lokasi ini dipercaya akan kembali ke Togo. Untungnya, saya sempat menyentuh batu secara tidak sengaja. Berarti saya akan bisa kembali datang ke Wakatobi dan menikmati keindahan alam dan keunikan legendanya. disana ****

Sumber :

Rabu, 17 Februari 2016

LIYA TOGO, JEJAK SEJARAH KERAJAAN BUTON DI WAKATOBI

Oleh : Sutiknyo


Jejak sejarah kebesaran masa lalu Indonesia kembali saya temukan di tenggara Sulawesi. Sebuah benteng yang konon katanya adalah satu dari bebeberapa benteng yang menjadi pusat penyebaran Islam di kesultanan Buton. Benteng dengan luas 30 Hektare menyimpan banyak sekali sejarah masa lampau. Sebut saja masjid Mubarak.

Mesjid ini di bangun dari susunan batu karang  yang konon katanya di rekatkan dengan mengunakan adonan kapur di campur dengan putih telur ayam, menarik.


Sebuah benteng di Liya Togo
Sebuah benteng di Liya Togo
 
Benteng Liya Togo ini terletak di desa Liya Raya, kecamatan wangi-wangi selatan, kabupaten Wakatobi. Komplek inti dari benteng ini berada di daerah tertinggi. Sebuah tanah lapang yang terdapat sebuah masjid Mubarak di sisi Barat,  dan Baruga atau semacam balairung tempat berkumpul di sisi kanan. Yang menarik perhatian saya adalah adanya komplek makam di sisi utaranya. Konon katanya di pemakaman itulah bersemayan Jasad Talo-talo seorang pemuda digdaya yang menjadi asal-usul liya togo ini.

Talo-talo muda dulu sering berlatih melompat di Baliura, sebuah batu yang menjadi legenda di liya Togo. Buah hasil rajin berlatih meloncat ini lah akhirnya Talo-talo berhasil membunuh seorang raja di Batara Muna dengan mengendap dan melompati benteng Muna, Batara itu semacam negara bagian pada masa pemerintahan kesultanan Buton. Nah sebagai hadiah dari keberhasilannya itu Talo-talo di berikan daerah Liya Togo sebagai daerah kekuasaan nya oleh sultan Buton.

Terpisah dari Legenda itu saya sangat antusias dengan kehadiran bocah-bocah yang sedang asik bermain bola di Liya Togo petang itu. Nah begitu moncong lensa saya membidik aksi-aksi mereka yang seperti pemain bola dunia, eh malah mereka langsung berkumpul minta di foto terus-terus an ha ha. Ibu-ibu terlihat sedang bersendau gurau. Sesekali terlihat seorang ibu lain yang berkeliling menjajakan Kasuami (makanan khas Wakatobi dari olahan singkong).  
Pohon-pohon flamboyan yang usianya sudah tua dengan bentuk dahan meliuk-liuk  juga menghiasi komplak inti Liya Togo ini, seolah mereka juga berperan menjadi saksi sejarah dari kebesaran Liya togo di masa lalu.

Liya Togo
Liya Togo
 
Liya Togo sedang berbenah, Baruga yang berada di sisi timur sedang di pugar untuk di renovasi. Ingin sekali menyaksikan prosesi pembangunan kembali Baruga ini. Liya togo memang sedang di persiapkan sebagai sebuah destinasi wisata baru di Wakatobi. Jejak sejarah di kemas dalam sebuah paket yang menarik. Jadi Wakatobi bukan hanya pesona underwater dan pantainya saja, ada satu lagi destinasi sejarah dari masa lalu Indonesia.

SEJARAH KAPITANLAU BOBETO MANCUANA SAMPOLAWA DAN BOBETO MANCUANA LIYA

Disebut Panglima Armada Barat Dan Armada Timur
 
Oleh Pimred Intelijenpost.com : Ode Lahane Aziz


 Benteng Buton, Setelah diPugar
 
 
Setelah kita telusuri sejarah, berbicara tentang seni budaya tidak lepas dari pada kita berbicara tentang karakter sosial dimana budaya tersebut dihasilkan. Honari Mosega sebagai salah satu contoh seni budaya yang dimiliki oleh karakter sosial orang-orang Liya yang pada zamannya di kenal dengan orang-orang pemberani dan ahli dalam silat atau olah kanukragan.
 
Untuk membenarkan hal demikian ini diperkuat oleh beberapa referensi atau literatur yang pernah ditulis oleh para ahli sejarah wolio termasuk pengakuan dari Drs.H. La Ode Manarfa  bahwa Honari Mosega hanya  satu-satunya milik Bobeto Mancuana Liya.  Pada zaman kerajaan Buton dahulu kala sudah terjalin hubungan-hubungan pemerintahan antara Raja Buton dengan Raja Liya Talo-Talo.
 
Dari hubungan-hubungan ini terjalin dalam rangka memperkuat  kekuasaan Raja Buton dan/atau Kesultanan Buton sekaligus mempertahankan kedaulatan wilayah pemerintahan Raja atau Sultan Buton mulai dari wilayah bagian utara Marunene sampai ke bagian timur Binongko dari pada serangan musuh atau pihak-pihak lain yang ingin mencaplok wilayah tersebut.
 
Kemudian, karena itu pada zamannya di wilayah Kesultanan Buton terdapat dua wilayah yang diberi gelar sebagai Bobeto Mancuana setingkat Kapitanlau yakni Bobeto Mancuana Sampolawa dan Bobeto Mancuana Liya. Selanjutnya, Bobeto Mancuana ini memiliki kedudukan sebagai Panglima Armada yakni kawasan Barat di pegang oleh Sampolawa dan kawasan timur dipegang oleh Liya.
 
Lantas kedua wilayah ini dari zaman kerajaan wolio dan/atau kesultanan wolio pada masa dahulu kala sudah dikenal dikalangan sara wolio sebagai daerah yang memiliki kelebihan khusus yaitu Sampolawa mempunyai kelebihan sebagai daerah yang masyarakatnya memiliki ahli kebatinan sedangkan Liya dikenal masyarakatnya sebagai ahli perang dan silat atau kanukragan.
 
Bahkan, pada masa kerajaan Buton sampai Kesultanan Buton, jika Raja dan/atau Sultan Buton ingin mengadakan perang, maka terlebih dahulu dia  harus berkonsultasi kepada dua Raja di daerah ini yakni Raja Sampolwa dan Raja Liya.
 
Sementara jika kedua raja di daerah ini mengatakan perang, maka otomatis Raja Buton dan/atau Sultan Buton mengumumkan perang.  Begitu pentingnya kedudukan Bobeto Mancuana pada kedua daerah ini Liya dan Sampolawa.
 
Honari Mosega merupakan simbol atau lambang-lambang karakter sosial masyarakat pada zamannya. Honari Mosega hanya  satu-satunya terdapat di Liya dari seluruh wilayah pemerintahan Kerajaan dan/atau Kesultanan Buton karena dia merupakan ciri khas kultur masyarakatnya pada waktu itu. 
 
Jika ada pihak lain atau daerah lain ingin mengakui Honari Mosega sebagai miliknya maka berati Bobeto Mancuana ada dilain tempat selain Liya dan Sampolawa, sementara itu Kerajaan dan/atau Kesultanan Buton hanya memberikan kekuasaan Bobeto Mancuana pada dua wilayah yakni Sampolawa dan Liya.
 
Dengan demikian jika Mandati masih ingin menklaim bahwa Honari Mosega adalak miliknya maka buktikan dulu sejarahnya dan minta restu dulu dari Sara Wolio sebab sesungguhnya Honari Mosega muncul dari karakteristik dan kekhasan siafat-sifat sosial suatu daerah Liya yakni pemberani, suka berperang dan ahli kanukragan.
 
Polemik masalah Honari Mosega yang dihembuskan oleh kalangan masyarakat Mandati adalah merupakan embrio dari pada adanya migrasi orang-orang Liya sejak akhir Abad ke VII ke Mandati dengan tujuan awal untuk memperkuat kedudukan Sara Mandati hasil bentukan Raja Liya dan mereka akhirnya bermukim tetap disana lalu kawin dan memiliki keturunan-keturunan. 
 
Dari keturunan-keturunan mereka orang-orang asal Liya yang tinggal di Desa Mandati inilah yang memperkeruh keadaan dan mengaku-ngaku sebagai Honari Mosega milik mereka padahal sesungguhnya mereka itu tak lain berdarah asli Liya dan tidak begitu mendalami dan mengetahui sejarah yang benar dan asal muasal mengapa orang tua mereka hijrah ke Mandati pada zamannya ***

Sumber 

SENI BUDAYA TRADISIONAL POSEPA’A DI LIYA WAKATOBI


Oleh : Ahmad Fiyanto



Seni Atraksi Posepa

Latar Belakang

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut para antorpolog, Budaya adalah seluruh system gagasan, rasa dan tindakan bersama melalui proses belajar.


Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk system agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Dari beberapa unsur- unsur budaya diatas, Seni Budaya Tradisional Posepa’a merupakan  suatu tradisi adat istiadat yang berkembang dan dimiliki bersama oleh masyarakat lingkugan Benteng Keraton Liya Wakatobi yang diwariskan dari generasi ke generasi yang diperkirakan dimiliki sejak pertengahan abad ke XIII.

Gambaran Pelaksanaan Seni Budaya Tradisional Posepa’a


 “Posepa’a” diambil dari bahasa masyarakat Liya Wakatobi yang berarti baku tendang atau sepak- menyepak. Posepa’a merupakan Seni Budaya Tradisional Liya Wakatobi yang dilaksanakan atau diperagakaan setiap bulan suci ramadhan setiap sore hari menjelang buka puasa sebagai acara rutin masyarakat dalam lingkungan keraton Liya.


Dalam tradisi ini biasanya diawali dengan tarian perang “Honari Mosega” yang diatrasikan oleh pemangku Adat Suku Liya Wakatobi. Tarian sebagai symbol perang melawan hawa nafsu selama bulan ramadhan. Barulah selesai tarian perang ini, seni budaya tradisional pospa’a (baku tendang) dimulai.


Seluruh kalangan masyarakat dapat mengikut serta dalam tradisi posepa’a ini. Selain itu, tidak ada aturan dalam hal pakaian yang digunakan pada saat mengikuti tradisi posepa’a selain hanya kain sarung yang dikalungkan dibahu saja.


Aturan dalam seni budaya posepa’a ini adalah tidak diperbolehkan menggunakan tangan untuk memukul. Peserta dalam tradisi ini adalah dua kelompok lelaki yang saling berhadapan sambil memegang tangan anggota kelompoknya  dan salin menendang. Tidak ada pemenang dalam adu tendangan ini. Jika dinilai terlalu keras, pemangku adat akan segera menghentikan adu fisik ini dan dilanjutkan dengan saling memaafkan agar tak ada dendam di antara mereka. Warga Suku Liya Wakatobi percaya seni tradisi posepa’a  perlu dipertahankan karena dapat bertujuan memelihara persaudaraan, juga budaya saling memaafkan.

Sejarah Awal Mula Pelaksanaan Seni Budaya Tradisional Posepa’a


Posepa’a merupakan Seni Budaya Tradisional Liya Wakatobi yang diperkirakan dimiliki sejak pertengahan Abad ke XIII yang dibawah dari Kerajaan Melayu yang diperagakan setiap bulan suci Ramadhan setiap sore hari menjelang berbuka puasa sebagai acara rutin masyarakat dalam lingkungan Keraton Liya Wakatobi.


Penyebaran seni budaya posepa’a ini diperkirakan disebarkan oleh para pengwal dan/atau pengikut setia Si Panjonga yang telah menetap dikeraton Liya Wakatobi setelah Si Panjonga menjadi Raja Liya sekitar tahun 1258- 1296 dan berpindah ke Buton.


Seni budaya posepa’a ini, diperagakan oleh para pengikut setia Si Panjonga yang telah bermukim di Liya Wakatobi pada setiap memasuki Bulan Ramadhan sebagai olah raga fisik, mental dan melatih kanuragan disaat- saat perut terasa lapar akibat berpuasa, disamping mengisi waktu menjelang buka puasa agar tidak jenuh dan  merasa payah.
 


Kesimpulan

1. Seni Budaya Tradisional Posepa’a Di Liya Wakatobi adalah sekelompok lelaki yang saling berhadapan, sambil memegang tangan anggota kelompoknya  dan salin menendang.


2. Seni Budaya Tradisional Posepa’a merupakan Seni Budaya Tradisional Liya Wakatobi yang diperkirakan dimiliki sejak pertengahan Abad ke XIII yang dibawa dari Kerajaan Melayu yang diperagakan setiap bulan suci Ramadhan setiap sore hari menjelang berbuka puasa sebagai acara rutin masyarakat dalam lingkungan Keraton Liya Wakatobi hingga sekarang.


3.   Awal mula Seni Budaya Posepa’a ini diperagakan oleh para pengawal atau pengikut setia Si Panjonga yang merupakaan Raja Liya sekitar tahun 1258- 1296 sebelum akhirnya berpindah ke Buton. 
4.  Tujuan Seni Budaya Tradisional Posepa’a menurut kepercayaan warga Suku Liya Wakatobi adalah untuk bertujuan memelihara persaudaraan, juga budaya saling memaafkan.
Sumber


Senin, 15 Februari 2016

DALAM PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN, BANGSA KITA KEHILANGAN HALUAN



Oleh : Nunus Supardi ( *)


 Budaya Asli Benteng Liya, Wakatobi

Pengantar
Dalam makalah seminar budaya "Evaluasi dan Strategi Kebudayaan" yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1987,  Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (Dosen UI) mengulas peran tiga kalimat penjelasan pasal 32 UUD 1945. Menurut Nazaruddin, dengan adanya ketiga kalimat penjelasan itu bangsa Indonesia "mampu melepaskan diri dari rasa curiga terhadap kebudayaan suku-suku. Kebudayaan suku-suku bangsa tidak perlu dipandang sebagai ancaman terhadap kebudayaan nasional; kebudayaan daerah atau suku bukanlah ancaman, melainkan pembentuk kebudayaan nasional. "
Dari kutipan di atas amat jelas, betapa besar peran tiga kalimat itu dalam mencegah ketidakjelasan dalam menata hubungan bersama dan dalam menyamakan pemahaman tentang kebudayaan bangsa. Tetapi ketiga kalimat itu kini secara konstitusional tidak tampil lagi sebagai penjelas makna pasal 32 tersebut. Pasal 32 yang semula hanya satu ayat setelah diamandemen berubah menjadi 2 ayat. Tiga kalimat itu dihilangkan, dan tidak satu pun kata atau kalimat dari tiga kalimat penjelasan itu yang diangkat ke dalam dua ayat yang baru.
Peran 3 Kalimat Penjelasan 
Dapat dipastikan, ketika para pendiri bangsa memasukkan kebudayaan ke dalam batang tubuh UUD 1945, pembahasan berlangsung dalam suasana seru, baik tentang urgensinya, rumusannya maupun penempatannya dalam pasal, serta rumusan kalimat penjelasan.  Dalam hal penempatan dalam pasal saja, kebudayaan harus pindah 3 kali. Dari semula berada pada pasal 34 bergeser ke pasal 33,  dan akhirnya bergeser lagi menjadi pasal 32 berdampingan dengan pasal 31 tentang pendidikan. 
Rumusan kalimatnya amat singkat, yaitu: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia." Menyadari betapa singkatnya kalimat pasal 32, para pendiri bangsa melengkapinya dengan tiga kalimat sebagai penjelasan.  Dengan adanya penjelasan itu berbagai pertanyaan mendasar dapat terjawab. Pertanyaan mendasar itu antara lain sebagai berikut:
  1. Setelah lahir yang disebut kebudayaan nasional Indonesia, bagaimana posisi kebudayaan daerah atau kebudayaan suku bangsa? Hilang atau lebur ke dalam kebudayaan nasional. Pertanyaan seperti selalu dan akan muncul pada setiap pergantian generasi.
  2. Setelah lahir kebudayaan Indonesia baru, bagaimana posisi kebudayaan lama dan asli? Masih tetap ada sebagai dasar atau bagian kebudayaan bangsa atau dihapuskan? Seperti kita ketahui pada masa Pujangga Baru terjadi polemik kebudayaan hebat tentang hal itu.
  3. Ke mana arah yang akan dituju dalam memajukan kebudayaan bangsa? Sebagai bangsa yang baru lahir jawaban atas pertanyaan itu penting agar bangsa itu tidak salah langkah.
  4. Bagaimana bangsa ini menyikapi masuknya pengaruh kebudayaan asing, menolak atau menerima, atau menyaring? Jawaban itu penting, karena sebagai bangsa baru mustahil akan menghindarkan diri dari pertemuan antarbangsa dan antarbudaya bangsa.
  5. Apa kriteria  atau ukuran yang dapar dipakai untuk melakukan penerimaan atau penolakan, atau penyaringan pengaruh budaya asing itu?
Jawaban atas pertanyaan pertama terdapat pada kalimat yang berbunyi: "Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya." Dari keseluruhan kalimat itu dapat ditangkap secara jelas maknanya. Kalimat itu mengandung makna pengakuan bahwa seluruh budaya suku bangsa (daerah) di seluruh Indonesia, pada hakikatnya adalah kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia. Dengan pengakuan ini mencerminkan arti bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, kita tidak mengenal istilah budaya 'mayoritas' dan 'minoritas', 'maju' atau 'terbelakang', 'tinggi' atau 'rendah.' Seluruh budaya suku bangsa dalam posisi sama,  setara, dan dari pengakuan seperti itu akan tercipta iklim kehidupan  saling menghargai dan saling menghormati. 
Jawaban atas pertanyaan kedua, mengenai bagaimana posisi kebudayaan lama dan asli, ada pada kalimat kedua, yang berbunyi: "Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa."  Kalimat ini menjadi jawaban atas  polemik hebat yang terjadi ketika memperbincangkan mengenai bagaimana membangun kebudayaan bangsa Indonesia baru. Menurut pandangan Sutan Takdir Alisjahbana apabila bangsa baru itu ingin menjadi bangsa yang maju dan modern, tinggalkan kebudayaan lama dan ambil kebudayaan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Di lain pihak Sanoesi Pane, Armijn Pane berpendapat tidak mungkin kita menghilangkan kebudayaan lama (Timur). Dengan adanya kalimat penjelasan itu  dapat diartikan bahwa dalam memajukan kebudayaan bangsa tidak bisa dengan serta merta meninggalkan kebudayaan yang lama dan asli, karena kehidupan kebudayaan suatu bangsa pada hakikatnya adalah lanjutan dari kebudayaan sebelumnya. 
Jawaban pertanyaan ketiga, ke mana arah yang akan dituju dalam memajukan kebudayaan terdapat pada frasa yang berbunyi: "Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan…" Amat jelas, ke mana arah yang harus dituju dalam memajukan peradaban bangsa Indonesia di tengah-tengah peradaban dunia, dan ke mana arah memajukan persatuan bangsa yang multietnik dan multikultur. 
Jawaban atas pertanyaan bagaimana kita menyikapi hubungan  kebudayaan bangsa dengan kebudayaan asing ada pada potongan kalimat: "….dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing....." Frasa ini menjadi amat penting sebagai acuan ketika bangsa Indonesia sebagai bangsa baru masuk dalam pergaulan antarnegara dan antarbangsa. Dalam era globalisme seperti sekarang ini, frasa ini patut menjadi acuan agar kehidupan bangsa Indonesia tidak terjebak menjadi bangsa yang kehilangan jati diri. 
Lalu, apa kriteria  atau ukuran untuk menerima atau menolak pengaruh budaya asing itu? Jawabannya  ada pada frasa "…yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri…."  Apabila pengaruh tidak memberi manfaat meperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa harus ditolak kehadirannya.  Bahkan kriteria itu masih diperjelas dengan dengan rambu-rambu: "yang dapat mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia".  
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa melalui tiga kalimat itu para pendiri bangsa telah menyiapkan konsep, kebijakan, strategi dan tujuan di bidang kebudayaan. Dikatakan mengandung konsep karena tiga kalimat itu berisi gagasan tentang apa itu kebudayaan Indonesia. Pengakuan bahwa kebudayaan suku bangsa di seluruh Indonesia adalah kebudayaan bangsa merupakan konsep yang dinilai tepat untuk sebuah bangsa baru yang multietnik dan multikultur. Konsep itu selanjutnya dituangkan dalam semboyan yang sangat tepat, yaitu "Bhinneka Tunggal Ika." 
Tiga kalimat itu dikatakan mengandung kebijakan karena di dalam tiga kalimat itu terkandung garis besar haluan dalam memelihara (preservation) dan mengembangkan (progression) kebudayaan bangsa. Dua kebijakan yang sesungguhnya arahnya berlawanan, tetapi keduanya disatukan lagi dalam tujuan, yaitu "menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan perstauan". Selanjutnya dikatakan mengandung strategi karena di dalam tiga kalimat itu terkandung perencanaan dasar memajukan kebudayaan bangsa. Di samping dilakukan upaya memelihara dan mengembangkan kebudayaan, strategi yang perlu dipilih adalah  "dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing." Dikatakan mengandung tujuan karena di dalam tiga kalimat itu terkandung juga ke mana arah pemajuan kebudayaan bangsa. Karena lengkap dan jelasnya tiga kalimat itu maka tidak salah juga bila dikatakan merupakan garis-garis besar haluan dalam membangun persatuan bangsa dan memajukan kebudayaan bangsa yang amat jelas dan dengan demikian mudah untuk dioperasionalisasikan. 
Sebagai bangsa yang lahir setelah adanya kesepakatan (konsensus) seluruh suku bangsa untuk menjadi satu bangsa baru, bangsa Indonesia, garis haluan itu amat penting untuk menata hubungan antarsuku dan antarbudaya.. Kesepakatan yang lahir di tengah-tengah kehidupan bangsa yang multietnik dan multikultur (hampir 500 suku bangsa), daya tahan kelangsungannya akan berbeda dengan bangsa yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa. Keutuhan bangsa amat rentan, dan oleh sebab itu solidaritas dan keharmonisan hubungan antarsuku dan antarbudaya harus diasuh secara serius dan dengan konsep yang jelas dan diterima oleh semua pihak. Mengenai pentingnya membangun solidaritas dan keharmonisan hubungan itu, Bung Karno sering mengulang padangan Ernest Renan, seorang profesor sejarah dan ilmu kebangsaan Perancis.
Menurut Renan, yang dimaksud dengan bangsa adalah "satu solidaritas besar, solidaritas besar tiap-tiap hari." . Tetapi oleh Bung Karno tumbuhnya solidaritas lebih dipersingkat lagi. Menurut Bung Karno agar bangsa Indonesia benar-benar menjadi satu,  solidaritas itu tidak hanya tumbuh tiap-tiap hari, tetapi tiap-tiap jam, dan bahkan tiap-tiap menit. Jangan sampai terjadi rasa itu solider hanya untuk beberapa waktu saja atau hanya buat menghadapi bahaya saja.
Berubah Menjadi 2 Ayat
Setelah diamandemen pasal 32 berubah menjadi 2 ayat dan tanpa ada tambahan penjelasan lagi. Pada ayat (1) bunyi kalimatnya menjadi panjang: "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."  Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat ini adalah kalimat pasal 32 lama, hanya kata 'Pemerintah' diganti dengan  'Negara'. Potongan kalimat kedua berbunyi:"…di tengah peradaban dunia…",  mungkin yang dimaksud adalah sebagai penegasan bahwa kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya"  merupakan cerminan pemenuhan kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing suku bangsa. Potongan kalimat kedua dan ketiga merupakan tambahan baru. 
Untuk ayat (2) yang berbunyi: "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai  kekayaan budaya nasional" merupakan kalimat pindahan dari penjelasan pasal 36 (lama) tentang Bahasa.  Tanpa memindahkan kalimat itu ke pasal 32 menjadi ayat baru (ayat 2), masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa. 
Apakah setelah pasal 32 baru berubah menjadi 2 ayat, makna pasal itu menjadi jelas atau sebaliknya?
Hilangnya Garis Haluan
Hilangnya tiga kalimat penjelasan pasal 32 berarti hilangnya konsep, kebijakan, strategi dan tujuan yang dijadikan garis haluan dalam memajukan kebudayaan bangsa dan menata hubungan antarsuku. Sebagai satu bangsa yang multietnik dan multikultur, pertanyaan-pertanyaan 'nakal' seperti di atas dapat dipastikan  akan selalu  muncul pada setiap saat dan setiap generasi. Dengan adanya tiga kalimat penjelasan itu semua pertanya akan terjawab, dan itu berarti kita dapat melepaskan diri dari rasa curiga antara suku bangsa yang satu dengan yang lain.  Keberadaan budaya suatu suku bangsa tidak lagi dipandang sebagai ancaman bagi suku bangsa yang lain dan juga bukan ancaman terhadap kebudayaan nasional dan sebaliknya, melainkan bersama-sama menjadi pembentuk kebudayaan nasional.  
Oleh karena itu seharusnya tiga kalimat  tetap dipertahankan keberadaannya selama kita masih sepakat untuk tetap dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Akankah hasil amandemen itu akan diamandemen lagi dan tiga kalimat itu dapat muncul lagi? Jika tidak, maka tiga kalaimat itu harus masuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan.  

(*) Penulis adalah Sekretaris Umum Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia (BKKI) Pusat