KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI BANDA PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI NGIFI- LARIANGI LIYA, PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

Sabtu, 27 Februari 2016

BENTENG KERATON LIYA WAKATOBI INDONESIA SESUAI LAPORAN HASIL ZONASI BPPP MAKASSAR TERLUAS DI DUNIA

SEGMENTASI LAPORAN HASIL ZONASI BENTENG LIYA 
OLEH BPPP MAKASSAR, "BENTENG LIYA TERLUAS DI DUNIA"
ZONASI DILAKUKAN SEBANYAK 5 KALI SEJAK TAHUN 2010 SAMPAI 2011


BENTENG LIYA TERLETAK DIDESA LIYA TOGO KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA-INDONESIA. ZONASI BENTENG LIYA DIBUAT HASIL KERJA SAMA BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA (BPPP) MAKASSAR DENGAN DINAS KEBUDAYAAN DAN PARAWISATA PROVINSI SULAWESI TENGGARA.


OLEH : ALI HABIU


Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu dari 10 Kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Pernah pada masa lalu Kabupaten Wakatobi merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Kesultanan Buton. Dalam naskah Negarakertagama di Pupuh ke XIV disebutkan bahwa Buton, Makassar (Gowa), Bantaen (Tanah Tuo), Selayar (Taka Bonerate) dan Liya Wangi-Wangi adalah merupakan wilayah eks Kerajaan Majapahit sehingga pada dasarnya Penguasa di Liya pada zamannya tidak secara langsung dibawah perintah Raja atau Sultan Buton ketika masuk dalam wilayah pemerintahannya melainkan kedudukannya paralel sekalipun kekuasaan berada di Buton (demikian dikisahkan oleh para sejarawan Liya). Hal ini terbukti bahwa jika ada undangan-undangan pertemuan pemerintahan di wilayah Kesultanan Buton dengan mengundang 4 Barata (Barata Muna, Barata Kolisusu, Barata Tiworo dan Barata Kaledupa) serta 72 Kadie, maka Penguasa atau Raja Liya pada zamannya tidak pernah duduk di bawa altar singgasana Raja/Sultan, melainkan dia dipanggil khusus untuk duduk bersama menemani Raja/Sultan dalam acara tersebut (hal ini dituturkan oleh para tetua Liya/para pewaris sejarah Liya). La Ode Muhammad Syarif Makmun dalam bukunya "Sejarah Buton" (tidak dipublikasikan) mengatakan bahwa daerah kepulauan (baca : WAKATOBI) baru dikukuhkan menjadi wilayah  toritorial kerajaan Buton pada saat Raja Buton ke V berkuasa (Raja Mulae/La Ngujuraja) tahun 1498-1538. Sehingga pada dasarnya kerajaan di Liya Wangi-wangi pada zamannya sebelum pengakuan toritorial tersebut adalah merupakan pemerintahan kerajaan tersendiri dengan berbagai penguasa raja-raja di dalamnya yang stratifikasinya masih dalam proses kajian dan penelitian....





Pulau Wangi-Wangi merupakan Ibu Kota Kabupaten Wakatobi yang mana di wilayah tersebut. Kepulauan Wakatobi terdapat  24 buah Benteng Pertahanan. Benteng Pertahanan di wilayah tersebut ada yang dibuat oleh sultan setelah terbitnya Murtabat Tujuh Buton tahun 1700-an dan ada pula yang dibuat oleh Rombongan Si Malui, Si Jawangkati, Si Panjonga dan Bau Besi dalam upaya mereka mempertahankan diri menghadapi serangan tentara Mongol, para bajak laut serta dalam menawan prajurit Mongol yang kalah dalam peperangan di wilayah Sumatera dan Jawa, premis sekitar tahun 1200-an. Benteng Liya Togo Wangi-Wangi pada lapis zona 3 dan lapis zona 2 adalah salah satunya yang di buat oleh rombongan Si Malui, Si Jawangkati, Si Panjonga dan Bau Besi. Pada Benteng Liya lapis zona 1 dan zona 2 memiliki 14 buah Lawa yang terdiri dari 11 buah Lawa biasa, 1 buah Lawa utama dan 2 buah Lawa  Lingu.

Dari sejumlah 24 buah benteng pertahanan di wilayah pulau Wakatobi tersebut terdiri dari :


Wangi-Wangi: - Benteng Liya Togo, Benteng Mandati Tonga, Benteng Tindoi, Benteng Koba, Benteng Togo Molengo, Benteng Manga. Kaledupa:  Benteng Ladomba, Benteng Tapaa, Benteng Horuo, Benteng Lamanongkira, Benteng Pangilia, Benteng Ladonda, Benteng Labohasi. Tomia:  Benteng Suo-Suo,  Benteng Rambi Randa,  Benteng Patua. Binongko: Benteng Palahidu,  Benteng Watina,  Benteng Baluara,  Benteng Oihu,  Benteng Haka, Benteng Tadu,  Benteng Wali,  Benteng Koncu. (Sumber : Ali Ahmadi, Arkiolog bidang Purbakala Dinas Budpar Sultra)

Benteng Liya lapis zona 1 dan zona 2  memiliki 12 buah pintu Lawa  yakni : Lawa Woru, Lawa N'tooge, Lawa Tamba'a, Lawa Bisitio, Lawa Wotea, Lawa Timi, Lawa Ewatu, Lawa Efulaa, Lawa Balalaoni, Lawa Godo, Lawa Puru dan Lawa Baringi ditambah dengan 2 buah pintu rahasia yang hanya bisa dijalani oleh Raja Liya ketika hendak berperan dan menyerang musuh yakni bernama Lawa Lingu Timi dan Lawa Lingu Bisitio.

Oleh karena itu patut di duga (postulat) bahwa dalam  Benteng Liya ada raja-raja yang berkuasa pada zamannya yakni Si Malui, Bau Besi (raden Jutubun), Mahisa Cempaka, Si Panjonga dan lainnya (belum diinvestigasi) dan terakhir Raja Lakueru (Talo-Talo) tahun 1500-an (sumber : Rahmat Hendiarto). Hal ini diperkuat oleh Naskah Hikayat Negeri Buton (NHNB) yang kemudian beberapa bagian isinya di jelaskan oleh  DR. La Niampe bahwa Si Malui dan rombongannya pernah menyinggahi Liya wangi-wangi beberapa lama, lalu karena daerah tersebut tandus maka Si Malui dan rombongannya meninggalkan Liya mencari daerah-daerah yang subur. Dalam NHNB disebutkan juga bahwa Liya wangi-wangi merupakan salah satu kerajaan tertua di Sulawesi dan pada masa kolonial Belanda menjajah nusantara afdelling tukang besi island berdiri sendiri tidak ada hubungannya dengan afdelling Buton-Laiwoi mereka juga berdiri sendiri.

Di Keraton Liya ternyata tidak memiliki data rekaman sejarah yang diwariskan secara turun temurun karena premis bahwa Raja-Raja yang berkuasa sejak tahun 1200 sampai tahun 1500 itu dijadikannya Liya sebagai tempat persinggahan dan/atau tempat persembunyian karena disana merupakan wilayah yang tenang (wilayah keresian), aman dan dapat berlindung dari serangan musuh,  membuat mereka tidak meninggalkan sejarahnya kelingkungan generasi pelanjutnya.
 
Hasaruddin (2009), dalam bukunya "Naskah Buton, naskah Dunia", mengatakan  bahwa Naskah Si Panjongan yang ditulis seorang pedagang banjar pada tahun 1267 H dengan isi hikayat antara lain memuat dengan jelas pisisi Si Panjongan yang menjadi Raja di Pulau Liya sebagai seorang dermawan, memiliki harta yang banyak da mmiliki banyak saudara. Pada suatu hari dalam proses tidurnya Si Panjongan, dia "bermimpi" : bertemu dengan seorang tua dan mengatakan kepadanya bahwa... "hai cucuku, apa juga sudinya cucuku tinggal di pulau ini (pulau Liya)"? lebih baik kamu cari tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan cucuku yang memegang dia. Singkat kata, akhirnya diapun meninggalkan pulau Liya menuju ke arah timur dan dalam sekejap pulau Liya telah menghilang.....

Benteng Liya juga memiliki sarana penjaringan informasi dan pemusyawaratan rakyat yang terdiri dari Bantea 4 buah yakni Bantea Timi, Bantea Sempo, Bantea Salawami dan Bantea Padangkuku (tempat mendapatkan silang informasi permasalahan sosial), Batanga 9 buah yakni terdapat pada masing-masing dusun/desa yakni Batanga Rea, Batangan Kareke, Batanga Woru,  Batanga Bisitio, Batanga Timi, Batanga Efulaa, Batanga Laro Togo, Batanga Balalaoni,  Batanga Wotea  (tempat merumuskan permasalahan dan sengketa) dan Baruga 1 buah (tempat musyawarah dan pengambilan keputusan).






Benteng Liya saat ini merupakan kawasan Desa Wisata dan telah dijadikan salah satu tujuan wisata Pemerintah Kabupaten Wakatobi sehingga kawasan ini semakin pada dikunjungi oleh pendatang dari luar daerah.

Tujuan Zonasi Situs Benteng Liya :
  1. Menjamin perlindungan terhadap Situs Benteng Liya, termasuk tinggalan bendawi yang adadidalamnya, serta nilai-nilai penting yang dikandungnya
  2. Menberikan panduan untuk perencanaan pelestariannya, baik dalam bentuk perlindungan, pengembangan maupun pemanfaatan situs, terutama dalam kaitan dengan aspek keruangannya
  3. Merumuskan rambu-rambu dalam rangka penataan ruang dalam situs maupun di lingkungan  situs yang merupakan bagian perlindungannya.






 DASAR PENENTUAN ZONASI BENTENG LIYA

Merupakan area yang memberikan perlindungan utama pada bagian terpenting cagar budaya yaitu situs benteng Liya dan lingkungannya

Secara umum batas-batas ruang (zona) ditentukan berdasarkan :
  • Batas asli cagar budaya berupa sebaran remuan baik berupa tinggalan artefak, ekofak dan fitur
  • Batas budaya, batas budaya kerajaan Liya yang berupa tinggalan struktur dinding benteng
  • Batas alam/geografis berupa sungai, lereng, lembah, tebing, bukit serta bentuk permukaaan lahan lainnya.
  • Batas administrasi berupa batas desa, dimana dalam lokasi benteng Liya masa lalu terdapat 9 (sembilan) buah desa antara lain : desa Kareke, desa Rea, desa Woru, desa Bisitio, desa Wotea, desa Laro Togo, desa Timi, desa Efulaa, desa Balalaoni. Sejak tahun 1964 semenjak pasukan Mobrig mengadakan intervensi penguasaan dalam tugas pembersihan sisa-sisa gerombolan Kahar Muzakkar di pulau Wangi-Wangi, maka beberapa desa tertua (kampung tua) seperti Rea, Kareke, Woru yang mendiami lapis benteng Liya  zona inti 2 seluruh penduduknya dipaksa untuk pindah rumah ke desa Liya Mawi yang terdapat dipesisir pantai sebelah barat Benteng Liya. Dan kini secara administrasi kawasan benteng Liya memiliki 2 desa yakni desa Liya Togo dan desa Liya Mawi.
  • Batas pemilikan/penguasaan ruang yang rata-rata dikuasai oleh sara Liya.
  • Batas tata ruang  yang telah ditetapkan oleh pemerintah berupa RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara dan RTRW Kabupaten Wakatobi serta aturan lain yang telah ditetapkan.
  • Batas yang ditetapkan berdasarkan keperluan secara arbiter. 
ZONASI SITUS BENTENG LIYA

ZONA INTI-1
  1. Sisa dinding benteng bagian dalam (lapis 1) yang masih ada dan dapat diamati, baik yang berupa struktur maupun batu karang yang berserakan dengan tinggi bervariasi dinding benteng utama (lapais 1) dengan ukuran tebal bervariasi antara 1,20 - 3,00 meter, dengan tinggi 0,65 - 2,50 meter. Panjang keseluruhan dinding keliling 717 meter.
  2. Sebaran temuan struktur di sisi timur ke utara di Lawa Puru sampai ke Lawa N'tooge sepanjang meter, tebal meter dan tinggi meter. Dari Lawa N'tooge ke Lawa Godo disebelah selatan sepanjang meter, tebal meter dan tinggi meter. Sepanjang Lawa Godo ke Lawa balalaoni dari sebelah timur dengan ukuran panjang meer, tebal meter dan tinggi meter.
  3. Hasil interpretasi data sejarah dan hasil wawancara yang menunjukkan bentuk utuh dan luasnya benteng Liya yang dibuktikan melalui survei lapangan, terutama untuk mengetahui keletakan seluruh dinding utara, sebagian dinding barat dan sebagian dinding timur.
  4. Gejala geografis, yang dimaksudkan dalam hai ini adalah bentuk permukaan lahan di sekitar situs (dapat berupa : sungai, lereng, tebing, bukit serta bentuk permukaan laha lainnya) yang dapat dijadikan sebagai batas dari wilayah situs yang akan ditetapkan.
  5. Kebutuhan pengamanan untuk menjaga eksistensi dan nilai pentingnya , didasarkan pada kebutuhan ruang untuk pelestariannya misalnyapenetrasi akar pohon, dekatnya rumah penduduk dari dinding benteng. hal ini dapat terlihat sepanjang Lawa balalaoni sampai Bastion Balalaoni di sisi timur ke utara terdapat 3 buah rumah tidak permanen dengan jarak antara 1 - 5 meterdari dinding benteng Lawa Puru di sisi barat laut ke Lawa N'tooge di sisi barat daya yang mana terdapat 6 buah rumah dan 1 rumah terdapat di atas lintasan benteng. Antara Lawa N'tooge ke Lawa Balalaoni di sisi selatan ke timur dimana terdapat 1 buah rumah tidak permanen di atas jalur benteng dan  2 rumah berjaraj kurang dari 5 meter di luar dinding benteng. Selain hal tersebut di atas sebagian besar jalur, dinding dalam maupun luar lapisan pertama benteng merupakan areal perkebunan penduduk saat ini yang dahulu kala sebelum tahun 1954 merupakan areal hunian penduduk Liya.
  6. Kebutuhan ruang pandang atau kelayakan benteng untuk mengapresiasi dinding benteng baik dari dalam maupun dari luar, batas ini dihitung dari minimal terhadap titik tertinggi pada bagian atau komponen benteng dimana titik tertinggi berada pada Bastion Balalaoni dengan ketinggian lebih kurang 5. meter atau dengan menggunakan lensa kamera normal untuk memotret dinding secara utuh atau sudut 45 derajat.
          Luas keseluruhan zona inti-1 seluas 22.970 m2 (2,297 Ha)


Regulasi atau aturan yang harus dapat diterapkan pada zona inti-2 adalah masyarakat yang masuk dalam kawasan Benteng Liya  tidak boleh melakukan hal-hal sebagai berikut :
  • Aktivitas Non Konservasi dan Pemugaran
  • Mengubah Tata Lingkungan Asli termasuk menebang Pohon dan menanam pohon yang dapat merusak konstruksi benteng
  • Perkunjungan wisata yang tak  terkendali

ZONA INTI-2

  1. Sisa dinding benteng luar (lapis ke 2) yang masih ada dan dapat diamati, baik yang berupa struktur maupun batu karang yang berserakan dengan tinggi bervariasi dinding benteng utama (lapis ke 1) dengan tebal dinding benteng bervariasi antara 1,20 - 3,00 meter, dengan tinggi 0,65 - 2,50 meter, panjang keseluruhan dinding meter dengan luar area Ha. Kerusakan tinggi benteng dilakukan pada masa Romusa dimana tentara jepang memerintah rakyat Liya untuk kerja paksa membuat mata jalan dan material benteng di bongkar dipakai untuk bahan jalan.
  2. Sebaran temuan struktur dan jalan, dimulai dari Lawa Ewatu timur laut (lapis ke 2) berlanjut ke Lawa Efulaa sepanjang meter, tebal meter dan tinggi meter. Kemudian dari Lawa Efulaa dibagian utara ke arah Bastion Balalaoni sepanjang  meter, tebal meter dan tinggi meter. Dari bastion Baringi ke Lawa Bente sepanjang meter, lebar meter dan tinggi meter. Dari Lawa Bente-Lawa Tamba'a=Lawa Bisitio, Lawa Lingu-1, Lawa Wotea,-Lawa Timi,Lawa Lingu-2 disisi barat barat daya sampai di sisi tenggarabagian lapis 2 (dinding luar) sepanjang meter, tebal meter dan tinggi meter.
  3. Hasil intepretasi data sejarah dan hasil wawancara yang  menunjukkan bentuk utuh dan kelluasan benteng Liya yang dibuktikan melalui survei lapangan, terutama untuk mengetahui keletakan seluruh dinding utara (benteng alam atau batas pembatas kebun tidak dimasukkan ke dalam zona inti).
  4. Gejala geografis, seperti bentuk lereng, lembah dan kontur.
  5. Kebutuhan pengamanan untuk menjaga eksistensi dan nilai penting didasarkan pada kebutuhan ruang untuk pelestariannya misalnya penetrasi akar pohon beringin, dekanya rumah penduduk dengan dinding benteng hal ini dapat dilihat dari 10 Lawa pada dinding luar benteng (lapis 2), dimana banyak rumah penduduk, sara ibadah, sarana dan prasarana umum baik permanen maupun tidak menempati jalus dinding benteng maupun sepanjang Lawa Tamba'a di sisis selatan sampai Lawa Lingu 2 berlanjut ke sisi timur laut (lawa  Ewatu) terus ke utara Lawa Efula'a dan berakhir di Bastion Balalaoni.
  6. Kebutuhan ruang pandang atau kelayakan benteng untuk mengapresiasi  dinding benteng baik dari dalam maupun dari luar, batas ini dihitung dari minimal terhadap titik tertinggi pada bagian atau komponen benteng dmana titik tertinggi berada pada Bastion Balalaoni dengan ketinggian kurang lebih 5 meter atau dengan menggunakan lensa kamera normal untuk memotret dinding benteng secara utuh atau sudut 45 derajat.
  7. Budaya sebaran dan kepadatan tingkat penduduk, batas desa adat, lokasi suci (secred) atau rahasia (secred) bagi masyarakat yaitu sebuah bangunan berbentuk persegi panjang berada di dalam zona ini yang masyarakat sekitarnya menyebut sebagai tempat pertemuan raja, ruang ekspansi budaya, batas-batas fisik pembangunan ruang masa lalu, dan potensi budaya yang hidup yakni daerah atraksi budaya posepa'a yang menempati sebuah lapangan yang terletak diantara Baruga dan Mesjid Muborak, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai alun-alun.
          Luas keseluruhan zona inti-2 adalah seluas 297.780 m2 (29, 78 Ha)

Regulasi atau aturan yang harus dapat diterapkan pada zona inti-2 adalah masyarakat yang masuk dalam Benteng Liya tidak boleh melakukan hal-hal sebagai berikut :
  • Aktivitas Non Konservasi dan Pemugaran
  • Mengubah Tata Lingkungan Asli termasuk menebang Pohon dan menanam pohon yang dapat merusak konstruksi benteng
  • Perkunjungan wisata yang tak  terkendali
  • Pendirian bangunan permanen
  • Menambah luas dan ketinggin bangunan
  • Penanaman pohon jangka panjang bertajuk tinggi dan akar yang panjang dapat merusak bangunan cagar budaya yang terpendam dalam tanah
  • Penggalian tanah untuk bangunan permanenatau untuk kepentingan lain yang tidak sesuai
  • Segala kegiatan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan Cagar Budaya.

Luas keseluruhan zona inti benteng Liya adalah Luas zona inti ke-1 ditambah luas zona  inti k-2 =  22.970 m2 (2,297 Ha) + 297.780 m2 (29, 78 Ha) = 320.750 m2 (32,075) Ha

ZONA PENYANGGA

Merupakan area mengelilingi zona inti dan berfungsi untuk menyangga dan melindungi zona inti dari berbagai potensi ancaman atas situs Benteng Liya, merupakan daerah permukiman penduduk, kebun, semak belukar dan hutan, membentuk garis yang mengelilingi zona inti ke-2

Hal ini didasarkan pada kebutuhan lahan untuk perlindungan situs :
  1. Di bagian utara yang merupakan areal yang terjal dan terjauh dari zona inti 60 meter, yang sebagian besar areal merupakan semak belukan dan hutan.
  2. Di bagian selatan berbatasan dengan zona pengembangan 1, berlanjut ke bagian barat dengan jarak terjauh dari zona inti adalah 63 meter.
  3. Di bagian timur berbatasan dengan zona penunjang dan jarak terjauh dari zona inti ialah 173,70 meter.
  4. Di bagian barat berbatasan dengan sisi tebing dan jurang dengan jarak terjauh 156,34 meter yang merupakan areal hutan dan semak belukar.
          Luas keseluruhan zona penyangga adalah 207.733 m2 (20,77 Ha).

Regulasi aturan yang berlaku pada zona penyangga sesuai prinsipnya sebagai lahan perlindungan zona inti, maka masyarakat sekitar dilarang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
  1.  Pendirian bangunan permanen, atau bangunan yang dapat mengganggu pemandangan atau yang dapat mengganggu keserasian pandangan terhadap benteng Liya dan lingkungan sekitarnya.
  2. Mengubah tata lingkungan asli (yang ditemui sekarang), termasuk menebang atau menambah pepohonan yang tidak sesuai dengan lingkungan aslinya, mengubah fungsi lahan yang ada sekarang.
  3. Mengubah fungsi lahan tanpa koordinasi dengan instansi yang berkompoten.
  4. Kegiatan yang melanggar etika, norma maupun adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat, menutup akses masyarakat umum terhadap benteng Liya sebagai struktur cagar budaya. 

ZONA PENGEMBANGAN

Zona pengembangan dikhususkan bagi kegiatan pengembangan nilai dan fungsi situs. Untuk itu penentuan posisi dan luas harus mempertimbangan strategi yang berkaitan dengan akses terhadap situs dan kemungkinan pengaruhnya. Beberapa lokasi dianggap cukup strategis berdasarkan keterjangkauan dan kemungkinan dampaknya akan menimbulkan efek yang lebih kecil terhadap kelestarian situs. Termasuk yang dipertimbangkan adalah kelestarian lingkungan disekitar benteng dan tata guna lahan sekarang ini, termasuk pula kebun dan permukiman. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dihasilkan 2 lokasi di sekiling situs yakni :

  1. Zona pengembangan 1 seluas 78.047 m2 (7,80 Ha)
  2. Zona pengembangan 2 seluas 151.649 m2 (15,16 Ha)
          Total zona pengembangan adalah seluas 229.696 m2 (22,96 Ha)

ZONA PENUNJANG

Zona penunjang untuk situs Benteng Liya, terletak di bagian timur dari Benteng Liya merupakan arean yang cenderung datar dengan pemandangan langsung ke arah laut, dalam area tersebut sebagian besar merupakan lahan perkebunan penduduk dan sebagiannya lagi merupakan area semak belukar. Menempati area seluas 114.499 m2 (11,44 Ha), secara keseluruhan seluas ha, dengan batas-batas sebagai berikut :
  • Sisi barat berbatasan dengan zona penyangga,
  • Sisi timur berjarak 460 meter dari zona penyangga di sisi timur sampai batas jalan beton di depan Kamali (Rumah Raja) La Ode Taru menuju ke Bandara,
  • Sisi selatan mengikuti sisi bagian dalam dari jalan beton di depan Kamali La Ode taru ke timur laut,
  • Sisi utara mengikuti garis kontur yang merupakan area perkebunan penduduk Liya. 
Pemanfaatan area dalam zona penunjang Benteng Liya, masyarakat harus mengikuti ketentuan sebagai berikut :
  1. Pembngunan dan penegembangan harus sesuai nilai, tema dan nuansa Benteng Liya,
  2. Pendirian bangunan yang memiliki ketinggian tidak melebihi dari ketentuan tata ruang yang berlaku,
  3. Kegiatan menyesuaikan norma dan etika masyarakat khususnya masyarakat setempat,
  4. Tidak menutup akses publik terhadap  Benteng Liya,
  5. Memberi konstribusi terhadap pelestarian Benteng Liya,
  6. Memberikan peluang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Liya.

KESIMPULAN :

  1. Kawasan Benteng Liya sebagai peninggalan sejarah kerajaan Liya mengandung tinggalan arkeologi yang sangat variatif berupa : dinding benteng, bastion (baluara), pintu (lawa), mesjid kuno, liang (liya), bekas istana, rumah tradisional, meriam, lesung, batu, gerabah, keramik kuno, makam kuno dan sebaran fragmen keramik asing serta gerabah.
  2. Benteng Liya sebagai kawasan desa wisata, telah mulai dikunjungi masyarakat luar, baik untuk berwisata maupun berinvestasi, sebagian diantaranya bermukim mendirikan bangunan di kawasan tersebut. Bahkan beberapa diantaranya mendirikan bangunan permanen di atas dinding benteng dan menggunakan batu-batu benteng untuk dijadikan pondasi bangunan. Hal tersebut jika tidak diantisipasi lebih awal dan membuat regulasi atau aturan tentang pentaan dan pengaturan ruang Benteng Liya, maka lambat laun rumah-rumah tradisional dan tinggalan-tingalan kepurbakalaan yang menjadi ciri khas kawasan tersebut akan habis dan berganti menjadi bangunan permanen, sehingga kelestarian kawasan Benteng Liya sebagai peninggalan kerajaan Liya akan musnah.
OPINI DAN ISSUE :

Luas keseluruhan zona inti benteng Liya adalah sebesar 320.750 m2 atau  32,07 Ha. Sedangkan luas keseluruhan Benteng Buton sebesar 230.375 m2 atau 23,375 Ha (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Benteng_Keraton_Buton). Dengan demikian perlu diberi apresiasi BPPP Makassar atas kerja kerasnya selama 2 tahun belakangan ini telah menghasilkan data ukur hasil zoning yang mana telah mendapatkan data baru bahwa ternyata Benteng Liya adalah merupakan benteng terluas di dunia

REKOMENDASI :
  1. Perlu segera menetapkan Situs Benteng Liya sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Provinsi dengan Keputusan Gubernur yang selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Daerah, Peraturan Desa atau Peraturan Adat,
  2. Setiap rencana pelestarian (perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatannya) Situs Benteng Liya harus mengacu pada sistem zonasi yang telah ditetapkan,
  3. Perlu kajian interdisipliner untuk pembuatan detail teknis zonasi Benteng Liya, serta menempatkan tanda (tonggak/patok) sebagai batas zonasi,
  4. Perlu kajian interdisipliner untuk penyusunan master plan pelestarian (perlidungan, pengembangan dan pemanfaatannya) Benteng Liya,
  5. Perlu pengembangan program dan kegiatan pelestarian yang bersifat edukatif dan rekreatif kepada masyarakat, khususnya masyarakat sekitar Liya Togo dan Liya Mawi,
  6. Perlu sosialisasi hasil zonasi Benteng Liya kepada stakeholders,
  7. Seluruh bangunan yang permanen dan non permanen baik yang berada di atas jalur dinding benteng maupun berjarak +-20 meter, harus sesegera mungkin dipindahkan demi perlindungan situs.
  8. Lokasi yang selama ini dijadikan masyarakat untuk kegiatan adat seperti pesta adat, dapat dilaksanakan asalkan tidak merusak benda cagar budaya dan lokasi situs.