OLEH : ALI HABIU
Berbagai referensi dan teks book hasil penelitian baik bersumber dari Belanda maupun dari Kesultanan Buton hingga saat ini belum diperoleh data yang jelas tentang eksistensi Raja Liya, para perangkatnya beserta dengan Keratonnya. Hal ini cukup menantang bagi para ahli arkiologis dan ahli antopologi budaya, ahli sosiologi budaya serta sejarah budaya untuk dapatnya menguak tabir dibalik berdirinya eksistensi Raja Liya yang dikenal pada zamannya dengan sebutan TALO-TALO atau dengan nama panggilan RAJA LAKUNDARU, RAJA LAKUERU ATAU RAJA LASIUBA. Masih terjadi benang merah yang terputus alur kisah pneumatisme sejarah antara Raja Pertama di pulau Buton yang terdapat di gunung Ba,ana Meja Kamaru Lasalimu pertengahan Abab ke IX dengan para Penguasa atau Raja yang terdapat di negeri Liya ini; “apakah memang ada hubungan simbiosis mutualis antara Raja yang berkuasa di Lasalimu pada pertengahan Abab IX dengan para penguasa yang ada di negeri Liya khususnya yang terdapat di pulau Oroho”?!... Mengingat di pulau Oroho ini diperkirakan tempat bermukimnya para bajak laut yang amat terkenal pada saat itu termasuk bajak laut Tobelo yang diperkirakan mulai ada di pulau Oroho pada pertengahan Abad XI.
Ada kecendrungan bahwa Mia Patamiana Wolio seperti si Jawangkati, si Malui, si Jatubun dan si Tamanajo disamping Dungku Cangia. Sang Ria Rana, Banca Patola, Kaudiro Raden Jutubun dan Raden Sibatara sebelum mereka bermukin di pulau Buton terlebih dahulu mampir di pulau Oroho ini atau Liya untuk beberapa saat.
Hal ini secara epistemologis diperkuat dengan adanya tanda-tanda persinggahan mereka di pulau Oroho seperti adanya Gua Miabasa, One Ba’a dlsb. Demikian pula Maha Patih Gajah Mada dalam pelariannya dari Sumatera menuju pulau Buton, sebelum prajuritnya masuk ke Batauga terlebih dahulu mereka singgah untuk beberapa saat di pulau Sumanga dekat pulau Oroho sambil memberi perlindungan kepada Maha Patih Gajah Mada agar tidak lagi dikenali oleh siapapun sehingga pasukan yang datang dari pulau Jawa untuk mencarinya tidak bisa diketemukan lagi. Masih perlu penelitian secara ilmiah dengan pembuktian secara arkiologis, sosiologis budaya,... "apakah ada hubungan Raja Pertama Wolio termasuk Sibatara, Wakaa Kaa dengan penguasa di pulau Oroho atau Liya ini!?. Dan ..."seberapa jauh jarak antara Raja Talo-Talo dengan Raja pertama Buton Sibatara".?! ..."Apakah ada sela waktu diantaranya atau sama sekali tak terjadi sela waktu"?! ..."Apa hunbungan Lakundari di Unaha dengan Murhum di Wolio atau La Kila Ponto dan Lakundaru di Liya sebagai Raja Talo-Talo mengingat waktu penguasaanya hampir pada tahun yang bersamaan"!?.
Kemudian dalam buku Murtabat Tujuh Wolio yang disusun oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin terdapat susunan Babato atau Lakina untuk jabatan golongan Kaumu baik dari golongan Sukanaeyo terdapat 20 orang maupun dari golongan Matanaeyo ada 20 orang, Tak satupun golongan masuk dalam wilayah Keraton Liya. Keadaan ini mengandung pertanyaan serius… ; “mengapa sultan buton tidak memasukkan Liya sebagai bagian dari susunan golongan ini”?! Itu berarti sejak zaman dahulu kala memang Liya (Oroho) mengandung kisah penuh rahasia yang dipandang cukup strategis sehingga para Raja atau Sultan di Wolio enggan untuk mengyinggung-nyinggung keadaan ini.
Hal ini secara epistemologis diperkuat dengan adanya tanda-tanda persinggahan mereka di pulau Oroho seperti adanya Gua Miabasa, One Ba’a dlsb. Demikian pula Maha Patih Gajah Mada dalam pelariannya dari Sumatera menuju pulau Buton, sebelum prajuritnya masuk ke Batauga terlebih dahulu mereka singgah untuk beberapa saat di pulau Sumanga dekat pulau Oroho sambil memberi perlindungan kepada Maha Patih Gajah Mada agar tidak lagi dikenali oleh siapapun sehingga pasukan yang datang dari pulau Jawa untuk mencarinya tidak bisa diketemukan lagi. Masih perlu penelitian secara ilmiah dengan pembuktian secara arkiologis, sosiologis budaya,... "apakah ada hubungan Raja Pertama Wolio termasuk Sibatara, Wakaa Kaa dengan penguasa di pulau Oroho atau Liya ini!?. Dan ..."seberapa jauh jarak antara Raja Talo-Talo dengan Raja pertama Buton Sibatara".?! ..."Apakah ada sela waktu diantaranya atau sama sekali tak terjadi sela waktu"?! ..."Apa hunbungan Lakundari di Unaha dengan Murhum di Wolio atau La Kila Ponto dan Lakundaru di Liya sebagai Raja Talo-Talo mengingat waktu penguasaanya hampir pada tahun yang bersamaan"!?.
Kemudian dalam buku Murtabat Tujuh Wolio yang disusun oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin terdapat susunan Babato atau Lakina untuk jabatan golongan Kaumu baik dari golongan Sukanaeyo terdapat 20 orang maupun dari golongan Matanaeyo ada 20 orang, Tak satupun golongan masuk dalam wilayah Keraton Liya. Keadaan ini mengandung pertanyaan serius… ; “mengapa sultan buton tidak memasukkan Liya sebagai bagian dari susunan golongan ini”?! Itu berarti sejak zaman dahulu kala memang Liya (Oroho) mengandung kisah penuh rahasia yang dipandang cukup strategis sehingga para Raja atau Sultan di Wolio enggan untuk mengyinggung-nyinggung keadaan ini.
Sebagai bukti nyata bahwa hanya di Liya ini yang satu-satunya wilayah yang ada dalam pemerintahan Kesultanan Buton yang di tugaskan oleh Sara Wolio anak sultan menjadi Raja di Liya. Seperti Sultan ke-XIX Sangia Manuru menugaskan anaknya bernama La Ode Ali untuk menjadi Raja di Liya. Sultan Masabuna Ilabunta menugaskan anaknya bernama La Ode Yani menjadi Raja Liya dan diikuti oleh beberapa anak sultan buton lainnya. Lain halnya dengan orang-orang berani buton atau pembangkan dalam istana buton, juga di bawa atau diasingkan di Liya sekaligus untuk memperkuat Sara Liya. Walaupun demikian baik La Ode Manarfa maupun Basyirun memberkan penjelasan dalam berbagai tulisan sejarahnya bahwa di Liya ada gelar Bobeto Mancuana golongan Matanayo yang berkedudukan sebagai panglima perang Armada Timur.
Belum lagi bila kita simak orang karamah yang terdapat di Lontoi desa Liya Mawi kampung Bira dengan sebutan Mia Lontoi adalah seorang permaisuri cantik jelita yang diasingkan dari Wolio sejak Raja ke II bernama La Baluluwu (La Arafani) tahun 1365 Konon dari cikal bakan permaisuri yang cantik inilah asal muasalnya lahirnya TALO-TALO menurut folklore dari kalangan panatua asal Liya. Pengasingan ini postulat ada kemungkinan akibat dari anaknya Raja Pertama Buton yakni Raden Sibatara dengan Permaisurinya Wa Kaa Kaa atau nama aslinya Mussarafatul Izzati Al Fakhry yang bernama Bula Wambona terjadi perselingkuhan tidak resmi dengan La Baluluwu sehingga membuahkan anak perempuan yang cantik jelita. Anak ini tidak disetujui keberadaannya oleh Raden Sibatara dan Wa Kaa Kaa dan untuk menenangkan keadaan maka anak ini masih bayi disingkan ke Liya beserta seorang pengasuhnya. Sampai saat ini barang siapa yang sengaja datang ke makam Lontoi ini apalagi pada waktu-waktu tertentu maka orang yang bersangkutan setelah pulang akan di ikuti dan diberi ilmu ghaib yang amat dasyat, namun hati-hati karena bawaan ilmu yang akan diberikan itu selalu akan jadi dalam setiap tutur kata sehingga kalau tak hati-hati akan membawa banyak korban manusia dan kita sebagai hamba Allah SWT akan mendapat ganjarannya. Sesuai dengan referensi dalam buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathny Wa Daarul Munajat” mengemukakan bahwa ketika Raja Kedua Buton dipegang oleh La Baluluwu yang memperistrikan Bula Wambona anak Raden Sibatara, maka baik Raden Sibatara maupun Wa Kaa Kaa memerintahkan La Baluluwu untuk memperluas wilayah pemerintahannya sesuai dengan perkembangan manusia di buton saat itu.
Sang Ria Rana kawin dengan Wagunu atau Wa Nepa-Nepa sebagai putri Raden Jutubun atau Bau Besi menjabat sebagai Raja Kamaru saat itu. Sang Ria Rana diangkat menjadi Raja Tiworo pertama dan Kaudoro diangkat menjadi Raja Todanga pertama dengan gelar Raja Batukara. Raja Kamaru ketika itu mengembangkan dan memperluas wilayah pemerintahannya sampai ke pulau-pulau wakatobi khususnya ke pulau Oroho dan Liya yang mana pulau Oroho sudah ada komunitas manusia yang bermukim saat itu yang tak lain komunitas kumpulan bajak laut. Pada tahun 1838 Masehi, Sultan Dayanu Ikhsanuddin yang merupakan sultan ke 29 kesultanan buton telah memperbaharui undang-undang Barata melalui “Murtabat Tujuh”. Pada saat itu Kaledupa diberi gelar Barata dengan kedudukan raja diberi gelar Lakina kaledupa yang didampingi oleh Bontoogena 2 orang, dan 3 orang Bonto yaitu Bonto Kiwolu 1 orang, Bonto Tapa’a 1 orang dan Bonto Suludadu 2 orang.
Sang Ria Rana kawin dengan Wagunu atau Wa Nepa-Nepa sebagai putri Raden Jutubun atau Bau Besi menjabat sebagai Raja Kamaru saat itu. Sang Ria Rana diangkat menjadi Raja Tiworo pertama dan Kaudoro diangkat menjadi Raja Todanga pertama dengan gelar Raja Batukara. Raja Kamaru ketika itu mengembangkan dan memperluas wilayah pemerintahannya sampai ke pulau-pulau wakatobi khususnya ke pulau Oroho dan Liya yang mana pulau Oroho sudah ada komunitas manusia yang bermukim saat itu yang tak lain komunitas kumpulan bajak laut. Pada tahun 1838 Masehi, Sultan Dayanu Ikhsanuddin yang merupakan sultan ke 29 kesultanan buton telah memperbaharui undang-undang Barata melalui “Murtabat Tujuh”. Pada saat itu Kaledupa diberi gelar Barata dengan kedudukan raja diberi gelar Lakina kaledupa yang didampingi oleh Bontoogena 2 orang, dan 3 orang Bonto yaitu Bonto Kiwolu 1 orang, Bonto Tapa’a 1 orang dan Bonto Suludadu 2 orang.
Pertanyaan kemudian muncul bahwa mengapa Raja Liya tidak pernah disinggung dalam Murtabat Tujuh ini, padahal jauh hari sebelum pembaharuan undang-undang Barata tersebut di Liya sejak awal abad ke-XV atau tepatnya mulai tahun 1523 sudah ada Raja pertama Liya bernama Talo-Talo. Raja Talo-Talo tersebut dalam menjalankan sistem pemerintahannya didampingi oleh : Meantu’u Solodadu, Meantu’u Agama, Meantu’u Salamawi, Meantu,u Nunu, Meantu,u Sampalu, Meantu,u Tiworo, Meantu,u Kontabitara, Meantu’u Sabandara. Kemudian sudah ada benteng keraton di Liya yang luasnya diperkirakan lebih luas dari benteng keraton wolio. Benteng keraton Liya dilengkapi dengan 15 buah Lawang diantaranya 2 Lawang Lingu atau rahasia, Sementara itu di benteng keraton wolio hanya terdapat 13 buah pintu lawang, satu diantaranya lawang rahasia.
Pantas saja saudara kita Hendiarto dari Buton pernah memberikan diskripsi dalam face book mengatakan bahwa kerajaan tertua di wilayah kepulauan buton adalah terdapat di Liya (baca: pulau oroho) dengan raja pertama adalah Sipanjonga. Sipanjonga sempat memerintah beberapa saat di sini sebelum berhijrah ke wolio. Ini diskripsi sejarah yang perlu disimak secara positif untuk ditindaklanjuti dalam suatu penelitian ilmiah mengingat tentu saudara kita itu tidaklah mengarang-ngarang kisah ini tanpa data sislsilah otentik.
Di keraton Liya sejak tahun 1547 telah dibangun mesjid Mubaraq sebagai mesjid agung keraton Liya setelah 9 tahun lebih dahulu dibangun mesjid agung keratin buton tahun 1538.. Dalam pemerintahan Raja Liya didampingi oleh 40 orang pasukan tombak yang dipimpin oleh meantu’u solodadu dan diiringi oleh 13 buah pasukan tamburu satu diantaranya tamburu warna hitam dipegang oleh meantu’u solodadu. Benteng di kaledupa terdapat hanya 4 buah lawang dan struktur benteng tidak serumit seperti benteng keraton Liya. Dan di Kaledupa hanya terdapat 1 buah tamburu atau pasukan tamburu.
Pantas saja saudara kita Hendiarto dari Buton pernah memberikan diskripsi dalam face book mengatakan bahwa kerajaan tertua di wilayah kepulauan buton adalah terdapat di Liya (baca: pulau oroho) dengan raja pertama adalah Sipanjonga. Sipanjonga sempat memerintah beberapa saat di sini sebelum berhijrah ke wolio. Ini diskripsi sejarah yang perlu disimak secara positif untuk ditindaklanjuti dalam suatu penelitian ilmiah mengingat tentu saudara kita itu tidaklah mengarang-ngarang kisah ini tanpa data sislsilah otentik.
Di keraton Liya sejak tahun 1547 telah dibangun mesjid Mubaraq sebagai mesjid agung keraton Liya setelah 9 tahun lebih dahulu dibangun mesjid agung keratin buton tahun 1538.. Dalam pemerintahan Raja Liya didampingi oleh 40 orang pasukan tombak yang dipimpin oleh meantu’u solodadu dan diiringi oleh 13 buah pasukan tamburu satu diantaranya tamburu warna hitam dipegang oleh meantu’u solodadu. Benteng di kaledupa terdapat hanya 4 buah lawang dan struktur benteng tidak serumit seperti benteng keraton Liya. Dan di Kaledupa hanya terdapat 1 buah tamburu atau pasukan tamburu.
Pada masa lalu menurut tutur folklore dari para penatua Liya mengatakan bahwa ketika Barata Kaledupa membawa Weti atau Pajak ke Sultanan Buton, maka 4 pulau yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko membawa masing-masing kapal sope-sope untuk mengantarkan weti atau pajak tersebut. Dalam perjalanan sope-sope tersebut di depan dipimpin oleh ketua rombongan dari Barata kaledupa dan lainnya ikut di belakang. Namun setelah rombongan sampai di selat Buton tepatnya di perairan Kadatua, Barata Kaledupa mundur sope-sopenya kebelakang dan selanjutnya sope-sope milik Raja Liya yang memimpin di depan sampai tiba di pelabuhan wolio yakni nganga umala. Setibanya di pelabuhan rombongan disambut oleh utusan khusus sultan buton langsung mereka di bawah ke istana sultan. Pada saat perjalanan dari pelabuhan menuju istana sultan buton, didepan dipimpin oleh Raja Liya beserta perangkatnya dan lainnya termasuk Barata Kaledupa meyusul di belakang. Pada saat masuk istana sultan buton, Raja Liya langsung dipersilahkan kedepan menuju altar sultan buton duduk mendampingi sultan buton tanpa harus memberi adat pernghormatan, kecuali Barata Kaledupa dan utusan dari Wangi-Wangi, Tomia dan Binongko yang harus memberi isyarat adat penghormatan khusus sambil dipersilahkan menempati tempat khusus duduk di depan sultan buton.
Postulat, ada kemungkinan kepemerintahan Raja Liya memang pada waktu itu diperlakukan istimewa atau diperlakukan khusus dari kesultanan Buton sebagai partnership pemerintahan kesultanan buton dibidang pertahanan dan keamananan sehingga sultan tidak perlu terlalu banyak mengatur Sara di wilayah Liya ini. Dan berdasarkan tutur folklore dari para penatua Liya bahwa ketika Sultan Buton menghadapi kesulitan dalam melawan pemberontakan dari barata Muna, maka yang diperintahkan sultan untuk membasmi para pemberontak itu adalah meminta bantuan Raja Liya Talo-Talo. Hanya dengan bilangan beberapa jam Talo-Talo sudah bisa membawa kepala pemberontak itu dan menyerahkan ke sultan Buton. Demikian pula ketika sultan Buton menghadapi kesulitan dalam menumpas bajak laut Labolontio dari ternate, maka sultan Buton juga meminta bantuan dari Raja Liya untuk menumpas mata sambali-bali tersebut.
Berhubung karena hingga kini kita masih diperhadapkan adanya keterbatasan referensi yang menyoal tentang eksistensi kekuasaan Raja Liya pada zamannya beserta seluruh perangkatnya, maka tugas kita kemudian para generasi intelektual asal Liya untuk mencari data folklore dari berbagai sumber, selanjutnya mencari buku-buku rahasia sejarah asli Liya yang konon kabarnya di simpan dalam gua ketika terjadi serangan gerombolan bersenjata tahun 1957 lalu. Dengan harapan dapat kita mengungkap keistimewaaan kedudukan Raja Liya dimasa kerajaan Buton sampai ke Sultanan Buton mengingat bahwa tidak banyak sejarah buton yang menyinggung lebih spesifik kedudukan Raja Liya dimasa silam, termasuk berbagai sumber penulisan yang di arsipkan di Leiden Belanda. *****