KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI BANDA PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

KabaLi

KabaLi
FOTO FASILITASI TARI NGIFI- LARIANGI LIYA, PADA ACARA FESTIVAL BUDAYA KERATON LIYA TAHUN 2011

Kamis, 12 November 2015

KERAJAAN LIYA TERMASUK KERAJAAN TERTUA DI NUSANTARA, SETELAH BERGABUNG DENGAN KERAJAAN BUTON TAK ADA KADIE DISANA

OLEH : HUMAS KABALI INDONESIA


 Benteng Liya Lapis ke-2



Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi serta jajarannya termasuk para tokoh sejarahwan asal Wakatobi diminta untuk lebih banyak lagi mempelajari sejarah budaya Liya agar dalam memutuskan sesuatu nama atau kegiatan apapun yang ada hubungannya dengan tradisi dan budaya tidak melenceng dari konsep aslinya sesuai naskah-naskah sejarah yang telah diakui, bukan asal bunyi dan mengemukakan data data sejarah tidak pernah diakui sebelumnya alias palsu.

Mattulada mengutif buku "Gajah Mada", karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka, Jakarta (1945), mengatakan bahwa  dalam kitab Nagarakertagama karangan Empuh Prapanca disebutkan : wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit meliputi: Muwah Tanah I Bantayan Len Luwut tentang Udamakatrayadhi Nikanangsunusaspupul Ikang Sakasa Nusanusa: Makassar, Butun, Banggawai Kuni Cra-liya-o Wangi (ng), Salayar sumba solo muar……” (baca : yang dimaksud dengan Liya disini adalah desa Liya kepulauan wangi-wangi. Sedangkan Cra diartikan sebagai peruntukan).

Liya dalam pengertian sangsekerta adalah tapah brata yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapat kesaktian dilakukan dalam gua-gua atau daerah-daerah/tempat keramat yang mana kekuatan cahaya alam diolah dalam tubuhnya dan setelah selesai tapah brata maka cahaya alam tersebut akan terpancar di ke-7 indra orang tersebut.



Lawa Timi
Kabali Indonesia sangat menekankan hal ini sebab kelihatannya Ir.Hugua sebagai Bupati Wakatobi punya minat besar untuk menertibkan termasuk mengangkat kembali nilai-nilai sejarah budaya di wilayah pulau Wangi-wangi khususnya dan Wakatobi umumnya namun masih kurang aparatnya termasuk para penasehat ahlinya di bidanh kebudayaan memberikan masukan yang benar tentang sejarah dan budaya di wilayahnya utamanya wilayah Liya dan sekitarnya.

Penamaan Kadie atau bagian pemerintahan kesultanan buton dimulai ketika Sultan Dayanu Ikhsanuddin mulai menertibkan wilayah pemerintahannya dengan menerbitkan Undang-undang Murtabat Tujuh, pemerintahan kesultanan buton dibagi menjadi 4 Barata dan 72 Kadie. Dalam pembagian pemerintahan tersebut di wilayah kepulauan tukang besi atau pemerintahan Belanda menamakan blok tersendiri wilayah ini dengan nama  "Onder Afdelling Tukang Besi Island" yang mana di wilayah tersebut hanya terdapat 1 Kadie yakni Kadie Ambeua pulau Keledupa dan Barata Kaledupa. Wilayah-wilayah lainnya tidak disebutkan dalam kitab undang-undang Murtabat Tujuh ini.

Namun demikian ketika penertiban wilayah-wilayah pemerintahan kesulatan Buton itu dilakukan, Juga Sultan Buton saat itu memanggil Raja Liya (Lakina Liya) untuk diberikan gelar khusus yakni Raja Liya (Lakina Liya) sebagai Bobato Mancuana Matanayo. Gelar ini hanya diberikan oleh Sultan buton kepada Raja Liya dan Raja Batauga. Bobato Mancuana Matanayo sebagai penasehat Sultan di bidang perang, termasuk jika sultan rencana untuk melakukan penyerangan terhadap musuh-musuhnya makan Raja Liya berhak memberikan nasehat termasuk menurunkan prajurit perangnya untuk membantu sultan buton. Kemudian jika sultan mangkat atau tiba-tiba meninggal dunia, maka Raja Liya secara otomatis memiliki hak untuk menggantikan kedudukan sultan sementara sambil menunggu pemilihan sultan berikutnya. Oleh karena itu juga dikenal saat itu Raja Liya sebagai sarana wolio artinya kedudukan Raja Liya dan perangkat saranya berjumlah 120 sara dengan 12 bobato sama kedudukannya dengan perangkat sara sultan buton.

Berdasarkan Hikayat Negeri Buton (HNB) yang ditulis oleh saudagar asal Banjar pada tahun 1267 masehi mengatakan bahwa Si Panjonga pernah menjadi Raja di Liya. Dalam hikayat tersebut tidak disebutkan tahun kekuasaaannya, namun kalau kita merujuk sejarah buton berjudul Assajaru Haliqa Darul Bathniy Wa Darul Munajat mengatakan bahwa Si Panjonga masuk ke tanah Buton tahun 1238 masehi, berarti postulat bisa dikatakan Si Panjonga bekuasa di Liya jauh sebelum masuknya di buton.

DR. La Niampe, M.Hum bedasarkan naskah asli yang diperoleh dari Leiden Belanda dalam bahasa arab gundul disebutkan bahwa Benteng Liya dibangun akhir abad ke X. Benteng Liya yang begitu luas yang terdiri dari 3 lapis susunan benteng dengan tinggi bervariasi antara 3 sampai 6 meter dan lebar rata-rata 1,50 meter adalah merupakan benteng dengan fungsi pertahanan dan permukiman. Hal ini secara arkiologis ditandai dengan adanya Bastion, Lawa, Tempat Eksekusi, Yoni dan Lingga. Sebuah benteng dikatakan sebagai benteng pertahanan apabila di struktur benteng tersebut minimal terdapat Bastion, Lawa dan Tempat Eksekusi. Dan sebuah benteng dapat dikatakan sebagai benteng dengan wilayah permukiman didalamnnya apabila didalam benteng tersebut terdapat Yoni dan Lingga. Luas Benteng Liya sesuai dengan hasil laporan hasil zoning Benteng Liya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar adalah seluas 320.885 m2 atau 32 Ha. Luas ini baru diukur zonasinya sampai benteng lapis ke-2 (lapis ke-1+lapis ke-2) dan belum termasuk luas lapis ke-3 yang sampai saat ini belum ada tindaklanjut untuk pengukuran zonasinya.

Berdasarkan sejarah buton yang ditulis oleh La Ode Muhammad Syarif Makmun berjudul "Sejarah Buton' (tidak dipublikasi), yang disadur dari sumber Menafsir ulang Sejarah dan Budaya Buton (2011), mengatakan bahwa Daerah Kepulauan dalam wilayah buton dan beberapa pulau sekitarnya (baca : Liya) adalam wilayah toritorial Kerajaan Buton yang dikukuhkan pada masa pemerintahan Raja Mulae, Raja Buton yang ke-5, memerintah mulai tahun 1498 s/d 1538 masehi. Pada masa pemerintahan raja inilah tercapai wilayah terluas kerajaan buton sebelum masuknya bangsa kolonial Eropah dan sebelum terjadinya ekspansi kerajaan Gowa dan Ternate pada masa kejayaannya dalam abad ke 17. Dari penjelasan sejarah tersebut dapat ditafsirkan bahwa sebelum Raja Mulae menetibkan wilayah-wilayah kerajaan disekitarnya maka Kerajaan Liya adalah kerajaan yang berdiri sendiri dengan berbagai rumpun raja-raja didalamnya. Hanya saja sampai saat ini kami belum mendapatkan naskah asli siapa saja raja-raja yang telah memerintah didalam wilayah benteng pertahanan dan permukiman yang begitu luas sebelum dan/atau sesudah Si panjonga menjadi Raja di Liya. 

Untuk menjadi renungan bahwa sesuai dengan naskah sejarah asli mengatakan bahwa susunan sara di Liya sejumlah 120 sara, Wanci 60 sara, mandati 40 sara dan Kapota 20 sara. Pada masa lalu (masa terbitnya Murtabat Tujuh) tidak ada Lakina di Wanci, Mandati dan Kapota. Disana hanya ada kepala sara atau meantu,u. namun bukan Raja. Nanti kemudian struktur emerintahan tradisional ini berubah ketika setelah perjanjian asyikin-brughman ditanda tangai Tahun 1912 yang mana seluruh wilayah kesultanan buton telah dipungut pajak oleh Belanda. Petugas-petugas belandalah yang kemudian mengangkat penguasa tradisional nama-nama baru di wilayah itu seperti misalnya Lakina Wanci, Lakina Mandati dan Lakina Kapota dan Kadie-Kadie didalamnya. Tujuannya adalah untuk lebih mudah dalam menguasai wilayah wajib pajaknya, rakyat akan semakin tunduk karena ada penguasa-penguasa baru disana. Adapun Jumlah Raja di Kerajaan Liya setelah penertiban wilayah-wilayah yang masuk toritorian kerajaan Buton mulai Tahun 1534 s/d 1958 sejumlah 31 orang Raja dimulai dengan Raja Pertama bernama La Jilabu dan Raja terakhir bernama La Ode Bula.

Jadi kalau mau netral jangan namakan Lembaga Kadie, namun namakan saja Lembaga Sara. Misalnya Lembaga Sara Liya, Lembaga Sara Mandati, Lembaga Sara Wanci, Lembaga Sara Kapota. dlsb ***