KENDARINEWS - Kendari, Provinsi Sultra memiliki keragaman
budaya. Apabila tidak dikelola dengan baik, akan berpotensi
disintegrasi yang dapat mengganggu kesejukan dan kedamaian hidup
masyarakat masa mendatang. Di Sultra terdapat beberapa etnis dan
budaya yang besar, seperti Buton, Muna, Tolaki, Bugis dan Bajo
''Keragaman etnis ini harus
ditangani dengan baik, sebagai aset daerah yang menjadi sumber
pendapatan daerah,'' kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Wakatobi,
Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum, kepada koran ini
Menurut dia, budaya yang berbeda-beda di Sultra terutama di Wakatobi
akan menjadi potensi dalam pengembangan pariwisata daerah. Selain
pariwisata alam Sultra yang juga sangat eskotik, Wakatobi juga kaya dengan
potensi budaya koreografi tarian, musik lariangi dan kostum lariangi.
TARI LARIANGI DALAM PENELITIAN
BANGSA BARAT
"Kalau kita membaca buku berjudul Kearifan Lokal Suku Bangsa-Suku Bangsa
di Sulawesi Tenggara, akan terlihat betapa besar potensi budaya, mulai
potensi budaya masyarakat Landawe di Konawe Utara, sampai dengan masyarakat
Cia-Cia di Selatan Pulau Binongko. Dari masyarakat Runduma di Timur sampai
masyarakat Sagori di Barat, semua itu memiliki potensi budaya yang cukup
besar untuk dikembangkan sebagai kekuatan ekonomi akan datang,"
ujarnya
Ditambahkan, kesuksesan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam membangun tidak
dapat dipungkiri, tetapi keterlibatan masyarakat dalam proyek pariwisata
masih sangat minim. Rendahnya partisipasi masyarakat karena pariwisata
masih baru bagi mereka, tidak punya skill mengolah kebudayaan sebagai aset dalam
industri pariwisata.
Menurut pandangan penulis Buku "Perempuan Dalam Kabanti"
katanya, merupakan hal baru dalam masyarakat Wakatobi, tetapi
pelan-pelan akan menyesuaikan diri. Terbukti sudah ada yang
terlibat dalam bisnis pariwisata. Bahkan mulai tampak
keterlibatan dalam pariwisata budaya, walaupun belum maksimal
Mahasiswa S3 Ilmu Budaya UGM itu merasa prihatin dengan keadaan budaya
Sultra. Saat ini, semua negara mempersiapkan diri menata kebudayaan sendiri.
Justru Indonesia malahan membiarkan tercecer, sehingga memberi
kesempatan kepada bangsa lain untuk meneliti kekayaan budaya
Masalah itu dikarenakan kontrol yang lemah. Lebih menyedihkan lagi
karena kurangnya perhatian dari pemerintah, seperti kasus Korea yang menulis
bahasa Cia-Cia dengan aksara Korea (aksara Hangeul), penelitian Lariangi di
Kaledupa oleh Malaysia, serta beberapa penelitian naskah-naskah Buton yang
dilakukan perpustakaan Inggris. Semua itu akan berdampak pada masa
depan kebudayaan Sultra
"Memang kita tidak boleh tertutup di saat keterbukaan media seperti ini,
tetapi apakah kita sudah siap ketika ide-ide dalam tradisi kebudayaan kita
diambil orang luar dan dipatenkan? Jangan-jangan koreografi Lariangi,
musik lariangi, kostum lariangi belum ada yang dipatenkan, sehingga
bernasib seperti reog ponorogo,'' katanya
Kemungkinan ancaman bisa diatasi dengan membangkitkan rasa
mencintai budaya daerah agar identitas bisa dipertahankan di era
globalisasi. Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP
Unhalu, menilai generasi muda di Bumi Anoa kurang mencintai budaya
sendiri. Mereka lebih bangga mengenal budaya orang lain di banding mengenal
budaya daerahnya
Di sisi lain, memang kebijakan tentang kebudayaan belum menjanjikan
untuk digeluti generasi muda. Butuh sentuhan yang dapat mengubah potensi
budaya untuk dapat bernilai ekonomis, misalnya penelitian untuk menemukan
pola ornament kebudayan Sultra. (p2)****
SUMBER :
http"//www.pusatstudiwakatobi.blogspot.com
|