OLEH : ALI HABIU
Berdasarkan
data sementara hasil observasi lapangan di beberapa tempat bekas lokasi
benteng-benteng tertua di buton seperti di Benteng
Wonco Kamaru, Benteng
Koncu di Wabula Wasuemba Lasalimu, Benteng Tobe-Tobe di Sulaa , Benteng Kamasope di puncak gunung Lambelu di Kapuntori.
Postulat dapat disimpulkan bahwa keberadaan struktur pasangan Benteng Liya sama
dengan struktur pasangan yang terdapat pada keempat benteng tersebut. Baik
tebal benteng, cara menyusun batuan dan tinggi benteng serta modelnya Benteng
Liya sama menyerupai Benteng Wonco dan Benteng Koncu, Benteng Tobe-Tobe dan
Benteng Kamasope.
Berdasarkan
Buku Perak Buton yang berjudul “Assajaru Haliqa Daarul Bathniy wa Daarul
Munajat” yang ditulis bersama oleh : Si
Panjonga, Si Tamanajo, Si Malui, Si Jawangkati, Bau Besi (Raden Jutubun)
pada awal Abad ke XIII dalam bahasa arab gundul (bahasa buton asli) yang
kemudian diterjemahkan oleh seorang ulama besar dan
Imam Mesjid Agung Gresik Ustaz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad tahun
1863 di Gersik telah mengemukakan fakta-fakta otentik atas
perjalanan Si Panjonga, Si Malui, Raden Jutubun, Si Jawangkati dan lainya
menuju tanah Buton dan mereka datang atas amanah leluhurnya. Pertanyaan
kemudian muncul dibenak kita mengapa para leluhur dari masing-masing orang
sakti tersebut memberi amanah kepada mereka untuk mendatangi pulau Buton ?.
Tentu jawabnya adalah ini ada hubungan dengan Raja pertama-tama yang ada di
pulau Buton yakni bernama Putri Khan dari keturunan Mongol-Tiber-persia
yang memerintah sejak pertengahan abad ke IX dan bertahta di gunung Ba'ana Meja
Kamaru. Raja Putri Khan ini datang ke
pulau buton atas perintah spritual para leluhurnya untuk tugas tertentu dan
membawa prajurit perang sebanyak 299 orang dengan mengendarai armada kapal
sebanyak 9 buah. Hubungan-hubungan paralel kerajaan di nusantara terutama pulau
Jawa dan Sumatera diduga sudah mulai terjalin dengan adanya keberadaan Raja Putri Khan ini yang mana para prajuritnya sudah
barang tentu akan sering mengunjungi negeri asalnya untuk keperluan logistik.
Disini pula cikal bakan munculnya permukiman para wali di pulau Oroho Liya yang
dalam bahasa sang sekerta pulau oroho ini di sebut ken-o-roh-an artinya pulau yang dipenuhi oleh
para wali. Di pulau oroho ini telah diketemukan bekas-bekas hunian zaman dahulu
kala dengan adanya benteng-benteng tua dan gua-gua tempat permukiman.
Pengungkapan lebih lanjut tentang adanya permukiman tua di pulau Oroho ini akan
ditindaklanjuti oleh sebuah penelitian ilmiah oleh Devisi Pernaskahan dan
Pengembangan Sejarah Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia setelah terlebih
dahulu menyelesaikan tuntas atas penelitian Makam Gajah Mada di wilayah Liya
dan Buton.
Si Panjonga, Si Malui, Si
Jawangkati dan Raden Jutubun atau Bau Besi dalam pelayaran dari negeri asalnya
setelah melalui selat Jawa dan sebelum sebelum memasuki ke tanah Buton terlebih
dahulu singgah di kepulauan Wangi-Wangi.
Kepulauan Wangi-wangi dalam gugusan pulau-pulau tukang besi merupakan kepulauan
yang terbesar dari gugusan lainya dengan luas 156,5
km2, sedangkan pulau Kaledupa
hanya memiliki luas 64,8 km2 dan Tomia 52,4 km2 serta
Binongko 98,7
km2. Disamping itu kepulauan wangi-wangi memiliki nilai
strategis karena disamping memiliki dataran yang luas juga di apit oleh
pegunungan rendah serta memiliki cekungan daratan yang rendah yang terdapat di
wilayah Liya-Mandati disamping memiliki banyak gua-gua yang luas sehingga cocok
untuk area persembunyian dan pertahanan dari serangan tenntara Mongol dibawah
kekuasaan Khubilai Khan ketika itu.
Si Panjonga
adalah orang sakti berasal dari Suku melayu dari negeri pasai meninggalkan
negeri asalnya pada tiga likur malam bulan sya’ban tahun 634 Hijriah dengan
mengajak Si Tamanajo sebagai pembantu utamanya serta serta 40 orang kepala
keluarga sebagai pengikutnya. Kepergian rombongan besar ini dari negeri asalnya
adalah mencari daerah yang telah diberitakan oleh leluhurnya untuk ditempati.
Informasi tentang keberadaan pulau Buton dan Wangi-wangi ini kepada leluhur Si
Panjonga adalah dari Putri Khan dan pasukannya yang telah mendiami Kamaru pulau
Buton sekitar pertengahan abad ke IX yang dibuktikan dengan keberadaan situs
Ba’ana Meja dan situs bekas sandal kiri Raja tersebut. Si Panjonga membuat benteng pertahanan dan
permukiman di bukit Tobe-Tobe di Sulaa. Kemudian Si Tamanajo mendirikan benteng
pertahanan dan permukiman yaitu benteng Kamosope di puncak gunung Lambelu
Kamuntori. Sebelum mereka membuat benteng tersebut di tanah buton, pada saat
mereka menyinggahi dan bermukim sementara di pulau Wangi-Wangi mereka diduga
membuat benteng Liya lapis ke-2 yang keberedaan sisa-sisa bentengnya masih
dijumpai saat ini di kawasan keraton Liya.
Demikian
pula tak lama selang datangnya Si panjonga, menyusul pula Si Malui bersama adiknya bernama Si Baana dengan pengawal setianya bernama Si Jawangkati. Si malui berasal dari daerah Bumbu
negeri Melayu Pariaman meninggalkan daerah asalnya pada 15 hari bulan Sya’ban
634 Hijriah dengan rombongan sebanyak 40 orang kepala keluarga sebagai
pengikutnya. Motif bendera Si Malui adalah berwarna kuning-hitam
selang seling dinamakan bendera Buncaha.
Si Malui sebelum masuk ke pulau Buton
terlebih dahulu singgah di pulau Wangi-wangi untuk beberapa waktu dan diduga
membuat benteng di Liya lapis ke-3. Sesudah itu barulah mareka masuk ke daratan
Buton tepatnya di Kamaru pada ahir tahun 1236 masehi dan membuat benteng
pertahanan dan permukiman di namakan benteng Wonco. Kemudian Si Jawangkati
membuat benteng pertahanan dan permukinan di Wabula-Wasuemba dinamakan Benteng
Koncu. Konon Bendera Kerajaan Liya yang dipakai selama ini adalah bendera
bentuk segi tiga dengan dasar warna kuning kemudian di selang-selingi oleh
warna hitam, sehingga postulat Si Malui pernah juga berkuasa sebagai raja di
Liya pada zamannya.
Kemudian
tak lama berselang datang rombongan Raden Jutubun (Bau Besi) dan Putri Lailan
Manggraini (Putri Lasem) pada awal abad ke XIII atau sekitar tahun 1238 masehi
dengan rombongan sebanyak 40 kepala keluarga. Lailan Manggraini atau Putri
Lasem ini adalah cikal bakal ibunya Pati Gajah Mada yang bersuamikan Si
Jawangkati. Raden Jutubun atau Bau Besi dan rombongannya singgah di pulau
Wangi-Wangi untuk beberapa lama dan diduga mereka membuat benteng di Liya lapis
ke-3 yakni sebuah benteng yang berada diperbatasan Mandati Tonga dengan wilayah
Liya. Kehadiran Bau Besi di Buton dan Lailan Manggraini adalah untuk menemani
kakaknya Raden Si Batara untuk membuat Bandar perniagaan di Buton. Sebelum
Raden Jutubun menginjak tanah Buton, terlebih dahulu menyinggahi pulau
Wangi-Wangi dan membuat benteng Liya lapis ke-3 yang sisa -sisa peningalan
benteng Liya lapis ke-3 sampai saat ini masih bisa dijumpai secara utuh di
wilayah antara Mandati Tonga dengan keraton Liya. Studi Zoning dan
Pemetaan benteng Lapis ke-3 ini baru rencana akan dilaksanakan oleh Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar pada tahun 2012 kerja sama dengan
Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia setelah dana turun dari Jakarta.
Sedangkan benteng Liya lapis ke-1 diduga dibuat oleh Mahisa Cempaka setelah meninggalkan Kerajaan Singosari
dan bermukim tetap di Keraton Liya. Pengungkapan secara ilmiah tentang
keberadaan Benteng Liya mulai lapis ke-1, lapis ke-2 dan lapis ke-3 akan
ditindaklanjuti dalam sebuah penelitian oleh Devisi Pernaskahan dan
Pengembangan Sejarah pada Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia bila ada
peluang memungkinkan untuk pelaksanaan itu. *****