OLEH : ALI HABIU
Beberapa tahun lalu yang sempat saya ingat ada sebuah kisah yang perlu
dicermati yakni tepatnya terjadi pada hari Minggu 11 syawal 1426 H
bertepatan tanggal 13 November 2005 telah dilaksanakan Halal bi Halal
masyarakat Wangi-wangi yang berasal dari beberapa paguyuban arisan
tergabung dalam Kerukunan Keluarga Wangi-wangi (Kekarwangi) Kendari.
Kegiatan Halal bi Halal ini berlangsung di pantai Toronipa kabupaten
Konawe adalah merupakan hasil kesepakatan bersama para tokoh-tokoh
masyarakat daerah tersebut untuk memenuhi permintaan para ibu-ibu yang
tergolong dalam paguyuban arisan Wanci (Arisan Wangi-Wangi Induk) dan
arisan Liya-Mandati (Arisan Wangi-Wangi Selatan) pulau Wangi-wangi.
Adapun kisah nyata atau anekdot yang kemudian terjadi dalam kegiatan
Halal bi Halal ini, yakni ternyata bahwa para tokoh masyarakat pulau
Wangi-wangi yang pada umumnya telah mengetahui dan menyetujui
pelaksanaan kegiatan ini tak ada yang muncul satupun dengan berbagai
alasan kontroversial.
Tokoh-tokoh kalangan papan atas pulau ini (Wanci dan Mandati dan Liya) yang diharapkan dapat tatap muka untuk silaturrahim secara langsung dengan masyarakatnya tak tampak hadir sehingga membuat kekecewaan tersendiri pada semua masyarakat yang menghadiri acara tersebut.. Sementara itu dilain pihak pada waktu yang bersamaan ditempat yang berbeda, masyarakat yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Kaledupa melaksanakan juga kegiatan Halal bi Halal dengan suasana yang dibuat cukup meriah bertempat di pantai Nambo dimana acara Arisan dibuka sendiri oleh Bapak Drs.H.Yusran Silondae,MSi selaku Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara pada waktu itu yang atas nama mewakili Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara sekaligus memberikan kata sambutannya sebagai motivasi positif bagi kalangan masyarakat Kaledupa yang domisili di Kota Kendari. Turut hadir pada kesempatan itu para tokoh-tokoh masyarakat Kaledupa dari berbagai tingkat golongan mulai dari anggota DPRD sultra, plt. Bupati Wakatobi, Kepala Dinas, Kepala Biro, Asisten III pemerintah provinsi sultra, Dekan, Dosen dan sejumlah Tokoh Pemuda, para Pengusaha serta seluruh masyarakat Kaledupa yang berdomisili di Kota Kendari. Kejadian di pantai Nambo ini patut dicontoh karena meraka telah menggambarkan kepada kita semua betapa solidaritas dan kompaknya ethnis ini. Suatu pembuktian bahwa berbagai heterogenitas budaya antar ethnis Kaledupa saat ini tidak terdapat lagi konflik tata krama budaya. Mereka saat ini sudah berubah begitu jauh-----mereka semua tidak kepingin lagi mau memetingkan atau menonjolkan keakuan masing-masing kelompok ethnis melainkan mereka telah menjalin humanisme hubungan internalitas kelompok sosial dengan menghormati segala perbedaan prilaku ethnis, melengkapi segala kekurangan antara kelompok ethnis dan menjadikannya suatu kekuatan sosial komunitas baru dalam tataran striotipik masyarakat moderen abad ini.
Kisah yang terjadi di pantai Toronipa beberapa tahun lalu tentu sangat
jauh dari harapan kita semua sebagai suatu komunitas sosial yang
terbanyak di wilayah Wakatobi jika dibanding kisah yang terjadi di
pantai Nambo. Kisah di pantai Toronipa telah menggambarkan secara tak
langsung kepada kita semua bahwa sebenarnya ada kerapuhan...., ada
kegelisahan..., ada keangkuhan....., ada kemunafikan diantara berbagai
lapis depan tataran para tokoh-tokoh masyarakat Wangi-wangi sehingga
telah terjadi perbedaan prilaku tata karma yang begitu prinsipil
menimbulkan striotipik prilaku sosial yang sangat berbeda sebagaimana
yang kita harapkan selama ini------ternyata mereka semua boleh dikata
munafik tidak pernah menjalin hubungan kerja sama yang harmonis diantara
sesama warga masyarakatnya di kepulauan wangi-wangi. Disharmonisasi
ini terjadi postulat bisa disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran
budaya dalam suatu kelompok masyarakat tertentu akibat desakan perubahan
stratifikasi sosial ekonomi dimana kehidupan sebagian warganya yang
telah mapan tingkat sosial ekonominya sangat mencolok. Juga budaya
kolonialisme, feodalisme yang berlebihan membentuk watak tentatif,
sementara dilain pihak banyak warga dari kelompok ethnis marginal dalam
lingkungan semua ethnis di kepulauan wangi-wangi yang kehidupannya
masih relatif miskin dengan berbagai stratifikasi sosial tidak pernah
mendapat perhatian serius, malah kelompok ini cenderung terisolasi dalam
berbagai aktivitas sosial..
Patut amat disayangkan ketidak hadiran para tokoh masyarakat yang
mewakili antar ethnis di pulau Wangi-wangi ini, mengingat momen ini
hanya terjadi sekali setahun dan merupakan wadah sambung rasa dalam
mempererat tali silaturrahmi antar ethnis sekaligus sebagai wadah
bearing storming antara individu para tokoh papan atas daerah ini dalam
upaya mengikis habis distorsi perbedaan tata krama budaya yang telah
mengakar selama ini dengan memperkokoh uhuwa islamiah dan amar ma’ruf
nahi mungkar.
Rupanya polarisasi paham separatisme atas produk penjajahan Belanda serta culture pattern ketika
resim distrik yang berpusat di wanci yang sudah diterapkan oleh
pemerintahan Kesultanan Buton pada zamannya telah ikut andil dalam
membentuk prilaku tata krama budaya amburadul sebagaian masyarakat di
daerah ini. Bisa jadi sebagai balas dendam dimana dalam pergaulan
sehari-hari pembentukan prilaku ini diwujudkan dengan selalu ingin
menonjolkan diri dalam kelompok sosialnya. Keadaan ini akan nampak
sekali terlihat pada aktivitas pergaulan sosial kemasyarakatan antar
ethnis pada daerah-daerah tertentu cenderung lebih kelompokisme.
Gejalanya bisa diamati dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan,
yang kemudian akan menimbulkan distinksi kelompok kaya, kelompok
miskin, kelompok pejabat, kelompok pedagang, kelompok politikus,
kelompok pejabat dlsb. Kondisi semacam ini tidak mampu dihapuskan oleh
pengaruh intelektualitas seseorang. Malah justru sebaliknya dalam tata
krama pergaulan sehari-hari yang terjadi adalah semakin tinggi
pendidikan seseorang ataupun integritas pribadi seseorang semakin jauh
jurang pemisah antar simiskin dan sikaya, Fenomena ini tak mungkin bisa
di hilangkan tanpa ada rasa kesadaran dan kepedulian semua pihak untuk
merubahnya. Hendaknya semua pihak diharapkan dapat instrospeksi diri
masing-masing untuk lebih terbuka dengan berani merubah sifat dan
prilaku domain dan tata krama (moralitas) sosial yang buruk secara
kolektif dan mulai membangun humanisme yang lebih baik.
Pengangkatan jati diri ethnis dengan melakukan perubahan-perubahan
budaya prilaku karena merasa sebagai orang hebat, merasa sebagai
pejabat, merasa sebagai orang terkaya atau terpandang karena telah
sukses dalam kehidupan ini, merasa sebagai politikus handal karena telah
menjadi ketua partai atau anggota DPRD, merasa sebagai orang terpintar
karena telah menyandang gelar Doktor atau Professor dan lain
sebagainya-----lantas mereka merasa sebagai satu-satunya individu atau
golongan ethnis tertentu yang bisa merubah paradigma sejarah budaya.
Sangatlah mustahil hal itu bisa dilakukan sebab bisa jadi penggelapan
sejarah budaya dan penciptaan degradasi konflik psikologis antar ethnis
semakin hari semakin berkepanjangan.
Penciptaan kelas-kelas (class action) dalam tata pergaulan sosial
kemasyarakatan kepulauan wangi-wangi akan menimbulkan semakin jauhnya
jurang pemisah antar yang kaya dan miskin, antar yang berpendidikan
tinggi dengan masyarakat biasa dan antar pejabat dan pegawai rendahan
serta antara pedagang kaya dan pedagang asongan. Kondisi ini bila
dibiarkan terus berkembang, kelak akan membuahkan kontinuitas konflik
sosial yang dapat meruntuhkan idealisme komunitas ethnis dalam seluruh
lingsup sosial di kepulaua wangi-wangi.
Sejarah budaya telah mencatat bahwa pada masa kejayaan kesultanan Buton
hanya satu-satunya penguasa yang mendapat 3 (tiga) gelar kekuasaan pada
pulau Wangi-wangi ini yakni terdapat pada penguasa desa Liya Togo.
Adapun gelar yang dianugrahkan oleh Sultan Buton kepada penguasa di desa
ini, yakni sebagai : Raja Liya (meantu’u Liya), Lakina Liya dan Bobeto
Mancuana. Oleh karena itu konon diriwayatkan dalam sejarah bahwa ketika
terjadi acara-acara rapat pemerintahan pada zamannya yang bertempat di
dalam benteng keraton Liya, masing-masing utusan baik dari Kaledupa, Tomia, Binongko, Wanci, Mandati dan Kapota
karena meraka hanya memiliki 1 (satu) gelar yakni Meantu’u atau Lakina,
maka semua utusan duduk bersilah di bawah altar sementara Raja Liya (meantu’u
liya) duduk pada tempat yang lebih tinggi bersamaan dengan sultan Buton
atau utusannya. Berdasarkan sinopsis ini semestinyalah ethnis Liya ini
bisa jadi suri tauladan dilingkungannya karena memiliki hirarkhi
genetikal kepemimpinan yang baik. Namun patut disayangkan bahwa dalam
kehidupan kemasyarakatan kelompok sosial ethnis ini kurang begitu mapan
tingkat ekonominya sehingga mereka kurang terkenal. Akibatnya jumlah
kader sangat terbatas dalam semua strata bidang kehidupan, khususnya
dalam konteks kehidupan sosial politik dan sosial kemasyarakatan di
Sulawesi Tenggara.
Secara realitas, ethnis yang lebih menonjol kehidupan sosial ekonomi di
Sulawesi Tenggara ialah ethnis Wanci (Wangi-Wangi Induk). Hampir
sebagian jabatan strategis di pemerintahan ketika itu mulai wakil Wali
Kota Bau-Bau, Wakil Bupati Buton, Asisten II Pemerintah provinsi Sultra,
Dekan fakultas Pertanian Unhalu, Pembantu rektor Unidayan dan saat ini
para guru besar di Universitas Halu Oleo dan Angoota DPRD Provinsi dlsb
dipegang oleh ethnis ini. Selain itu hampir sebagian besar pengusaha
kaya juga dipegang oleh ethnis Wanci (Wangi-Wangi Induk) disamping
ethnis Mandati. Diluar ke dua ethnis ini, kehidupan sosial ekonomi
ethnis lainnya relatif masih sangat terbelakang dan termarginalkan.
Saat ini kita sebagai masyarakat Wangi-Wangi yang berdomisili di Sulawesi Tenggara telah memiliki sumber daya manusia yang domain dimana jumlah Doktor (S-3) sampai saat ini telah terdapat sebanyak 13 orang, sementara ethnis Kaledupa hanya terdapat 3 orang saja. Namun sayang seribu sayang...., dijajaran pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara ethnis Kaledupa justru mampu menempatkan 3 orang menduduki esselon II. Sementara ethnis wang-wangi tidak ada satupun yang bisa dihandalkan. Padahal kalau mau kita pikir jernih bahwa ternyata jumlah penduduk kepulauan wangi-wangi berada kisaran 54 % dari total penduduk total ke 3 pulau (Kaledupa, Tomia dan Binongko) di wilayah Kabupaten Wakatobi.
Saat ini kita sebagai masyarakat Wangi-Wangi yang berdomisili di Sulawesi Tenggara telah memiliki sumber daya manusia yang domain dimana jumlah Doktor (S-3) sampai saat ini telah terdapat sebanyak 13 orang, sementara ethnis Kaledupa hanya terdapat 3 orang saja. Namun sayang seribu sayang...., dijajaran pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara ethnis Kaledupa justru mampu menempatkan 3 orang menduduki esselon II. Sementara ethnis wang-wangi tidak ada satupun yang bisa dihandalkan. Padahal kalau mau kita pikir jernih bahwa ternyata jumlah penduduk kepulauan wangi-wangi berada kisaran 54 % dari total penduduk total ke 3 pulau (Kaledupa, Tomia dan Binongko) di wilayah Kabupaten Wakatobi.
Oleh karena itu sudah saatnya semua kekuatan komunitas sosial yang ada di pulau ini mulai dari ethnis : Wanci (Longa, Waha, One, padha), Kapota, Mandati, dan Liya (Wakamali)
segera melakukan rekonsiliasi dan segera membangun paradigma tata
krama baru kemasyarakatan. Sebagai landasan idealnya ialah memperkuat
hubungan emosional antar ethnis dimana masing-masing kelompok ethnis
harus dapat saling kerja sama bantu-membantu satu dengan yang lainnya.
Sudah saatnya merubah sikap laku yang buruk dan memulai tata krama baru
yang normatif dalam pergaulan sesama dengan saling menghormati perbedaan
heterogenitas budaya antar ethnis.
Sudah tiba saatnya untuk segera membenahi kontroversial tata pergaulan kemasyarakatan yang terjadi selama ini. Persoalan heterogenitas budaya ini disinggung oleh Soetandyo Wignjosoebroto guru besar sosiologi Undip dalam artikel berjudul “Tata Krama” (Jawa Pos : 1990) mengatakan bahwa heterogenitas budaya sebenarnya merupakan suatu kekayaan sumber yang akan bisa memberikan banyak kemungkinan untuk melakukan pilihan-pilihan guna menentukan mana diantara yang lebih baik untuk dikembangkan dan diangkat dalam fungsinya sebagai tradisi panutan. Pilihan-pilihan tidak selamanya mudah. Dalam hal pengembangan budaya baru dan moral baru yang berfungsi sebagai landasan normatif tata krama baru dalam kehidupan bermasyarakat----pilihan yang hendak mendahulukan dengan beranjak secara sengaja dari satu kekayaan ethnis tertentu akan sering menimbulkan tuduhan telah terjadi etnosentrisme yang kurang patut.
Sudah tiba saatnya untuk segera membenahi kontroversial tata pergaulan kemasyarakatan yang terjadi selama ini. Persoalan heterogenitas budaya ini disinggung oleh Soetandyo Wignjosoebroto guru besar sosiologi Undip dalam artikel berjudul “Tata Krama” (Jawa Pos : 1990) mengatakan bahwa heterogenitas budaya sebenarnya merupakan suatu kekayaan sumber yang akan bisa memberikan banyak kemungkinan untuk melakukan pilihan-pilihan guna menentukan mana diantara yang lebih baik untuk dikembangkan dan diangkat dalam fungsinya sebagai tradisi panutan. Pilihan-pilihan tidak selamanya mudah. Dalam hal pengembangan budaya baru dan moral baru yang berfungsi sebagai landasan normatif tata krama baru dalam kehidupan bermasyarakat----pilihan yang hendak mendahulukan dengan beranjak secara sengaja dari satu kekayaan ethnis tertentu akan sering menimbulkan tuduhan telah terjadi etnosentrisme yang kurang patut.
Semestinya kita diinsyafkan oleh kenyataan bahwa kita kini hidup dalam
sebuah masyarakat massa, massa itu tak dapat diatur atau diperintah
tanpa serangkaian inovasi dan penyempurnaan serangkaian tekhnologi
sosial, ekonomi dan politik. Yang dimaksud dengan tekhnologi sosial
disini adalah berbagai metode yang digunakan orang bertujuan
mempengaruhi sikap laku sesamanya.
Kehidupan sosial masa sekarang memungkinkan ditempatkannya segala proses
psychology dibawa kontrol publik yang dimasa lalu masih bersifat
pribadi. Emile Durkheim (1926) dalam bukunya “De la Division du Frovoil Social” mengatakan : bahwa hanya masyarakat yang primitif yang dapat hidup berdasarkan homogenitas dan berkelit dalam kelompok wangkul.
Oleh karena itu rasa tenggang (verdroog zamheid) berarti bahwa setiap
insan berhak menggunakan pendapat di dalam masyarakat guna mencapai
mufakat, bukannya setiap individu secara ngotot membenarkan pendapat
masing-masing.
Semua pihak sangat mengharapkan mulai tahun depan tidak lagi terulang
anekdot kisah pantai Toronipa yang memilukan beberapa tahun lalu itu
melainkan dimungkinkan akan terjadi suatu gradualisme tingkah laku baru
dan tata krama baru dalam pola pergaulan antar ethnis Wangi-wangi pada
tataran masyarakat moderen yang heteroganistik dengan menghormati segala
perbedaan budaya dan menjadikan suatu kekuatan sosial terpandang
dikemudian hari. Mungkinkah rekonsiliasi kelompok ethnis di pulau
Wangi-wangi ini bisa terwujud mengingat konflik sosial budaya antar
ethnis sudah berlangsung cukup lama. Semua sangat tergantung dari
sejauhmana kesadaran semua pihak----mampukah merubah moralitas, prilaku
dan tata krama.sosialnya ? Sebagai jawabnya adalah tergantung sejauhmana
konsistensi para Lintas Tokoh Wangi-Wangi yang saat ini sudah terbentuk
; "mampukah mereka merubah keadaan itu ?!
hee... hee... hee... bahakonto La Ode....Meanae aii anedo omotutu akabalinto !! ****
hee... hee... hee... bahakonto La Ode....Meanae aii anedo omotutu akabalinto !! ****