OLEH : HUMAS KABALI
Meskipun Bupati
sebagai penyelenggara negara di daerah dalam praktek konseptualnya
telah diatur oleh Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan berbagai peraturan
pemerintah lainnya, Namun sering dijumpai di lapangan dalam praktek
penyelenggaraan negara sering kali konsepsi Undang-Undang tersebut dan
berbagai peraturan pemerintah sebagai pedoman bagi para penyelenggara
negara masih banyak mengabaikannya. Hal ini dapat terjadi postulat
disatu sisi para Bupati khususnya pada daerah-daerah yang baru mekar
sering merasa diri sebagai penguasa tunggal yang tak ada lagi
tandingnya dimana kekuasaan bagi dirinya dianggapnya mutlak diatas
segalanya tanpa dia sadari bahwa negara kita adalah negara hukum (recth
staat) yang harus patuh pada perintah undang-undang yang telah
dikeluarkan oleh negara. Sedangkan dipihak lain masyarakat Publik di
daerah ini masih kebanyakan belum mengetahui hak-haknya secara individu
dan komunitas untuk turut serta dalam melaksanakan pengawasan terhadap
pemerintahan dan pembangunan. Selain itu juga karena masyarakat publik
seringkali merasa tertekan dan ketakutan akibat terlalu dominan mereka
menerima intimidasi dari para preman bayaran sehingga mereka secara
otomatis kehilangan sebagian haknya sebagai warga negara untuk
berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Kalau kita mau jujur tidak ada satupun manusia di daerah ini yang akan
menyangkal bahwa secara de facto wilayah pemerintahan Wakatobi itu
adalah merupakan gugusan pulau-pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan
Binngko yang disela oleh lautan diantara wilayah pemerintahan lainnya di
Sulawesi Tenggara dan merupakan bagian Pemerintahan Sulawesi Tenggara
dalam bingkai NKRI. Aksesibilitas transfortasi satu-satunya hanya bisa
ditempuh sementara ini melalui laut dan pada musim timur dan musim barat
memiliki tingkat resiko yang tinggi disebabkan oleh besarnya gelombang
laut yang terjadi diwilayah perairan kepulauan ini. Pada kondisi
demikian lantas jangan masalah ini diplesetkan menjadi komoditas politik
dimana para politsi lokal memberi pemahaman bahwa kabupaten Wakatobi
merupakan daerah khusus. Hal ini amat keliru yang akan menjadi preseden
buruk bagi pemahaman politik masyarakat awam pada umumnya di daerah ini,
padahal semua orang tahu bahwa secara de jure Kabupaten Wakatobi adalah
merupakan pemerintahan kabupaten tanpa ada perlakuan khusus sebagaimana
kabupaten pada umumnya di Indonesia.
Oleh karena itu bertolak dari pemahaman yang keliru ini yang sengaja
dihembus dari sebagaian elit politik lokal di daerah ini, maka berbuah
pada pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Wakatobi jadi asal asalan
tanpa harus patuh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pengamatan penulis, dalam konteksi kacamata publik, secara
relatif banyak produk pembangunan fisik yang telah dibangun di daerah
Kabupaten Wakatobi asal jadi saja tanpa harus mengindahkan kreteria
pencapaian kualitas tertentu sebagaimana yang telah diatur dalam
standardisasi bidang pekerjaan umum. Hal ini dapat diamati dalam
pelaksanaan pekerjaan misalnya peningkatan jalan. Pekerjaan peningkatan
jalan dengan menggunakan lapis aus Lasbutag (Lapisan Aspal Buton
Agregat), dalam standardisasi AASHTO T168-82 Bina Marga, jika campuran
dan pelaksanaannya benar sesuai persyaratan maka usia layanan
konstruksi ini harus tahan minimal 5 tahun kemudian jika dapat
dipelihara rutin dan berkala maka usia layanan konstruksi bisa mencapai
nominal 10 tahun. Tetapi yang terjadi disana bila kita amati pekerjaan
peningkatan jalan yang sudah dikerjakan, produk ketahanan konstruksi
relatif rendah baru usia 6 bulan konstruksi sebagian sudah mengalami
kerusakan hebat bahkan pada usia 3 tahun pada umumnya jalan sudah
mengalami kegagalan konstruksi. Hal ini dapat terjadi karena peran
technician laboratorium (quality control) belum dilibatkan dalam
melaksanakan pengendalian kualitas pekerjaan ini.
Jika kita
menoleh kebelakang beberapa tahun lalu, pembangunan prasarana jalan kampung dengan konstruksi dari
pasangan batu ditutup dengan beton Rabat atau diplester, banyak dijumpai
baru berumur 5 bulan sudah mengalami pecah-pecah, berlubang bahkan
ambruk. Demikian pula konstruksi penembokan pantai desa Waha asal
dibangun tanpa mengindahkan ketahanan dan estetika konstruksi. Belum
lagi publik menyoal pembangunan prasarana jalan dengan menggunakan lapis aus dari aspal buton rata-rata usia layanannya paling tinggi 2 tahun sudah mengalami kerusakan, padahal kalau spesifikasi pekerjaa ini dikerjakan sesuai aturan yang berlaku maka dapat memberikan ketahana konstruksi di atas 10 tahun.
Oleh karena itu demi kepentingan semua pihak, maka sudah saatnya
masyarakat publik pulau Wangi-Wangi, Wakatobi harus secara intensif mengawasi pelaksanaan
pembangunan di wilayahnya sebab tugas ini merupakan amanah undang-undang
agar pemerintah daerah tidak semena-mena dalam melaksanakan pembangunan
karena kekuasaaanya. Teori-teori pemerintahan masa kini tentu bukanlah
pengembangan konsep Weberian dimana Rakyat sangat tergantung pada
pejabat yang memiliki sifat birokratis penuh karena kekuasaannya bisa
semena-mena. Tetapi lebih jauh ialah konsep pemerintahan seperti yang
dikemukakan oleh Heckscher dan Donellon dengan organisasi pemerintahan
masa depan lewat konsep Post Bureaucratic Organization yang mana
kekuasaan bukanlah satu satunya alat yang ampuh untuk melaksanakan
mekanisme birokrasi namun harus dapat diimbangi dengan kewenangan
melalui persuasi dan dialog kepada publik. Pelaksanaan pengawasan
publik terhadap pembangunan telah di atur oleh Undang-Undang 18/1999
tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah 28/2000 tentang Usaha
dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi sebagai pedoman dalam melaksanakan
pengawasan kepada pemerintahan Wakatobi. Hal ini bukan berarti bahwa
dengan adanya pedoman tersebut akan mengebiri fungsi dan peranan DPRD
Wakatobi sama sekali tidak, namun sebaliknya rakyat tahu bahwa peranan
DPRD Wakatobi saat ini lebih dominan hanya membicarakan kepentingan
partai dan individu para anggota dewan saja ketimbang membicarakan
kepentingan publik sebagaimana amanah UU 32/2004, sehingga rakyat
Wangi-Wangi saat ini sudah sangat tidak lagi percaya terhadap kinerja
DPRD Wakatobi.
Dalam UU 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, pada Bab VII tentang Peran
Masyarakat, pada bagian pertama Hak dan Kewajiban yang terdapat pada
pasal 29 disebutkan bahwa Masyarakat (publik) berhak untuk : a.Melakukan
pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi,
b.Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara
langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Kemudian
masyarakat berkewajiban : a). Menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan
yang berlaku dibidang pelaksanaan jasa konstruksi, b). Turut mencegah
terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
Gugatan oleh masyarakat (publik) telah diatur dalam pasal 18
Undang-undang tersebut, yakni bisa perorangan, pemberian kuasa dan/atau
kelompok orang tidak dengan kuasa perwakilan. Adapun secara pidana
berlaku sanksi hukum dengan kurungan 5 (lima) tahun penjara bagi
perencana, pelaksana dan pengawas yang dengan sengaja tidak memenuh
kewajibannya mengakibatkan kegagalan bangunan. Pada PP 28/2000, pada
Bab IV Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, ayat (2). Masyarakat umum,
masyarakat jasa konstruksi, dan dunia usaha yang berkepentingan dengan
jasa konstruksi dapat menyampaiakan aspirasinya kepada forum :
Masyarakat Intelektual, Organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan
kepentingan di bidang jasa konstruksi atau LSM yang mewakili konsumen
jasa konstruksi dan Unsur-unsur lain yang dianggap perlu.
Selain itu pada pasal 8 dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas KKN, disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk
ikut mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, yang
mana hak-haknya di atur dalam pasal 9 Undang-undang ini antara lain
ialah hak untuk mencari memperoleh dan memberikan informasi , hak untuk
menyampaikan saran dan pendapat serta hak untuk mendapat perlindungan
hukum.
Ternyata benar kata orang bahwa masyarakat kita di Pulau Wangi-Wangi, Wakatobi masih buta politik, yang sudah sepantasnya saat ini para
elite politik memberikan pendidikan politik kepada mereka dalam upaya
penyadaran akan kewajiban dan hak-hak politiknya sebagai warga negara
yang baik sehingga pada akhirnya diharapkan masyarakat publik di daerah
ini memiliki keberanian untuk mengawasi jalannya pemerintahan
di wilayahnya. ***)