Oleh : Alifbrata
Pulau Buton di
wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam catatan sejarah, pernah menjadi tempat
pilihan perlindungan yang aman dari sejumlah bangsawan kerajaan ternama di Nusantara, termasuk lahirnya Maha Patih
Gajah Mada. Bahkan dalam penelusuran terakhir, ditemukan petunjuk dari sejumlah
catatan dan bukti arkeolog, Pulau Wangiwangi yang dulunya masuk wilayah Buton
dan kini menjadi Kabupaten Wakatobi justru tempat moksanya
Gajah Mada, Mahapatih Kerjaaan Majapahit
yang terkenal dengan ‘Sumpah Palapa’ – Pemersatu Nusantara.
Lembaga adat Forum Komunikasi (Forkom) Kabali
yang dibentuk sejak 6 Desember 2009 di Kendari sebagai ibu kota provinsi
sulawesi tenggara dengan lokus utama kegiatan pelestarian dan pengembangan
situs cagar budaya dan adat istiadat serta tradisi budaya Kawasan Benteng Liya Kabupaten
Kepulauan Wakatobi, kini begitu konsen mengumpulkan data dari berbagai sumber,
bukti arkeolog, dan berupaya keras menjalin kerjasama dengan semua pihak
terkait untuk membuka tabir emas adanya petunjuk perjalanan hidup Gajah Mada di
Pulau Wangiwangi.
Sejarah nasional mencatat bagaimana Mahapatih
Kerajaan Majapahit yang diperkirakan lahir pada tahun 1290 (Encarta
Encylopedia) itu memiliki kemampuan strategi di medan perang serta kecerdasan
berpikir untuk kemaslahatan kehidupan masyarakat yang luas di masanya. Tapi,
dimana tempat wafat dan makamnya, hingga saat ini belum ada keterangan yang
pasti.
Dari sejumlah catatan yang telah dihimpun Forkom
Kabali, sekitar bulan Sya’ban 634 Hijriyah atau akhir tahun 1236 Masehi sebuah
kapal layar Popanguna menggunakan simbol bendera Buncaha
strep-strep warna Kuning Hitam merapat di Kamaru, wilayah pesisir arah utara
timur laut Pulau Buton. Kapal tersebut memuat bangsawan bernama Simalaui dan
Sibaana (bersaudara) dikawal seorang sakti mandraguna bernama Sijawangkati
bersama puluhan pengawalnya, yang diperkirakan berasal dari Bumbu, negeri
melayu Pariaman.
Kedatangan mereka ke Pulau Buton diperkirakan
lantaran terjadi pergolakan yang memaksa untuk meninggalkan tempat asalnya.
Terbukti, setelah mereka membuat pemukiman di Kamaru, juga membangun sebuah
perlindungan yang hingga kini dikenal dengan sebutan Benteng Wonco.
Sijawangkati pun kemudian memohon diri untuk membuat pemukiman tersendiri di
Wasuembu serta membuat Benteng Koncu di Wabula.
Masjid Al-Mubaroq Keraton Liya (1546) /Ft:informasibudayaliya.blogspot.com
Syahdan, beberapa waktu kemudian datang lagi dua
buah kapal yang diburitannya ditandai dengan kibaran bendera Davialo berwarna
Merah Putih di Teluk Kalumpa, tak jauh dari tempat pendaratan Simalaui,
Sibaana, dan Sijawangkati dan rombongannya. Sijawangkati dan Sitamanajo
menyambut kedatangan mereka. Ternyata, kedua kapal tersebut membawa Raden
Sibahtera, Raden Jatubun dan Lailan Mangrani yang kesemuanya merupakan anak
dari Raja Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya.
Setiap kapal memuat sekitar 40 orang pengikut.
Singkat cerita, kehadiran para pendatang
tersebut, selain berupaya menjalin keakraban dengan warga di sekitar Pulau
Buton, juga di antara pendatang saling menguatkan persahabatan. Raden Sibahtera
yang diangkat menjadi Raja Buton mempermaisurikan Wa Kaa Kaa (Mussarafatul Izzati
Al Fahriy). Sedangkan Sijawangkati menyunting Lailan Mangrani (Putri Raden
Wijaya).
Dari perkawinan Sijawangkati dengan Lailan
Mangrani membuahkan keturunan 2 anak laki-laki dan 1 perempuan. Anak tertua
lelaki itulah yang kemudian diberi nama Gajah Mada. Sejak kecil Gajah Mada
telah memperlihatkan kecerdasan dan kesaktian. Ayahnya, Sijawangkati yang
disebut-sebut keturunan wali di negeri Melayu terkenal memiliki ilmu-ilmu
kesaktian sudah berupaya menurunkan ilmunya kepada Gajah Mada sejak berusia 7
tahun. Ketika berumur sekitar 15 tahun, Gajah Mada lalu dibawa oleh ibunya
(Lailan Mangrani) menemui kakeknya Raden Wijaya di Pulau Jawa.
Tatkala Kerajaan Majapahit dipimpin Jayanegara
(1309 – 1328 M) — anak Raden Wijaya dari perkawinan dengan Dara Petak dari Jambi,
Sumatera, Gajah Mada pun tampil berperan membantu melawan pemberontakan yang
muncul dari lingkungan kerajaan sendiri. Dia memimpin pasukan Bhayangkara
bertugas menjaga keamanan raja dan keluarganya.
Dahsyatnya Pemberontakan Kuti (1319 M) yang
dipelopori salah seorang pejabat Kerajaan Majapahit, sampai memaksa Raja
Jayanagara, berikut istri Raden Wijaya dan putrinya Tribhuwanattunggadewi,
Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita mengungsi ke Bedander. Akan tetapi berkat
kecerdikan dan kepiawaian Gajah Mada, pemberontakan dapat diredam. Raja dan
keluarganya pun aman untuk kembali bertahta ke istana.
Tarian adat Liya di alun-alun masjid Keraton Liya
/Ft:informasi budayaliya.blogspot.com
Pascaperistiwa tersebut Gajah Mada kemudian
diangkat menjadi Menteri Wilayah (Patih) Majapahit, membawahi Daha dan
Jenggala. Kepercayaan kepada Gajah Mada yang diberi gelar Pu Mada diperluas
dengan kewenangan hingga Jenggala – Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura.
Setelah Mahapatih Kerajaan Majapahit Arya Tadah pensiun tahun 1329 M,
kedudukannya digantikan oleh Gajah Mada.
Dari catatan yang dihimpun Forkom Kabali (www.informasibudayaliya.blogspot.com),
ada yang menyebut Gajah Mada wafat 1364 akibat penghianatan Hayam Wuruk.
Namun data lain yang dihimpun dengan sejumlah fakta pendukung, setelah Gajah
Mada membaca gelagat pihak berkuasa di Kerajaan Majapahit tak lagi memberikan
kepercayaan kepadanya, ia bersama sejumlah pengikut setianya melakukan
pelayaran kembali ke tempat kelahirannya di wilayah kepulauan Wangiwangi,
Buton.
Perjalanan pulang bersama rombongannya tersebut
diperkirakan terjadi sekitar abad XIV, mendarat kembali di wilayah kepulauan
Wangiwangi (pulau Angsumanga). Di pesisir pantai antara pelabuhan Sempo Liya
dan Pulau Simpora terdapat Batu Parasasti yang dinamakan Batu Mada. Mahapatih
Gajah Mada yang terkenal sebagai manusia memiliki banyak kesaktian tersebut
kemudian memilih sebuah goa di wilayah Togo Mo’ori sebagai tempat Tapa Brata.
Di dalam gowa di daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas
inilah diperkirakan Gajah Mada yang mengenggam cakram senjata andalannya lantas
moksa (menghilang) dalam semedi. Sedangkan puluhan pengikutnya memilih sebuah
gua di Batauga, Pulau Buton sebagai tempat semedi. Goa itu sampai sekarang masih
dinamai sebagai Goa Mada di Kampung Mada Desa Masiri, Batauga. Simbol-simbol
teliksandi Majapahit dapat ditemui sepanjang pantai wilayah desa Masiri
Batauga.
Himpunan informasi berkaitan dengan perjalanan
hidup Gajah Mada yang kini mendapat perhatian dari Forkom Kabali tersebut,
tentu saja, perlu mendapatkan apresiasi dari pemerintah, dan terutama dari para
sejarawan dan antropolog dalam rangka penyempurnaan catatan Sejarah Nasional
kita.
Selain mengenai perjalanan hidup Gajah Mada, kini
Forkom Kabali yang memokuskan diri di bidang pelestarian nilai-nilai tradisi,
sejarah dan budaya Keraton Liya di Kabupaten Wakatobi, juga telah menghimpun
data jika Mahisa Cempaka (cucu dari pasangan Ken Arok dan Ken Dedes) merupakan Raja Liya (1259 –
1260). Gundukan batu yang ditinggikan (Ditondoi) yang ada di depan Masjid ‘Al
Mubaraq’ Keraton Liya adalah makam Mahisa Cempaka yang pernah bersama Rangga
Wuni memimipin pemerintahan di Kerajaan Singosari di Pulau Jawa.
Di bawah gundukan batu Ditindoi yang di
sekelilingnya ditumbuhi banyak Pohon Cempaka (Kemboja) yang telah berusia
sekitar 800 tahun, diperkirakan terdapat sekitar 5 anggota dinasti Ken Arok,
selain Mahisa Cempaka yang dimakamkan disitu. Model penguburan satu liang
terdiri atas beberapa anggota keluarga, hingga saat ini masih terus terjadi di
wilayah Liya, Wangiwangi.
Fakta ini, tentu saja, kebenarannya akan
memberikan nuansa baru terhadap gambaran hubungan dan dinamika pergerakan
masyarakat kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Batapa masyarakat dari
Pulau Jawa sejak masa silam dengan sarana transportasi tradisional sudah dapat
menjalin hubungan dengan warga di Kepulauan Wakatobi yang terhampar di Laut
Banda, di arah tenggara Pulau Sulawesi. Dibandingkan saat ini, Presiden RI, SBY
belum juga pernah berkunjung mememenuhi hasrat kerinduan banyak warga di kota
atau kabupaten yang ada di sekitar Pulau Buton terhadap kehadiran Kepala Negara
di wilayahnya.
Selain itu, berdasarkan himpunan informasi dan
sejumlah bukti arkeolog, jauh sebelum dibangun Masjid ‘Al-Mubaraq’ Keraton Liya
(1546 M), sudah ada sebuah masjid di wilayah Liya Togo dikenal dengan nama
Masjid Togo Lamantanari. Masjid itu diperkirakan dibangun tahun 1238 M oleh 18
orang Persia dipimpin Haji Muhammad yang terhempas gelombang ke Pulau
Wangiwangi setelah kapalnya remuk melabrak karang dalam pelayaran menuju
Filipina. Tentu saja, ini merupakan masjid tertua di Indonesia, sudah ada
sebelum agama Islam masuk ke Aceh pada abad XIII. Walaupun masjid sudah tiada,
sampai hari ini, pada saat waktu shalat dhuhur dan masuk waktu shalat ashar
setiap hari masih selalu terdengar suara kumandang azan dari sekitar lokasi
masjid tua ini.
Kumandang azan yang sama sampai saat ini masih
selalu terdengar dari sekitar makam H.Muhammad yang terletak di sekitar
permandian Kohondao Liya Togo, Desa Woru, sekitar 800-an meter dari lokasi
bekas masjid tua Togo Lamantanari.
Ada lima desa yang disebut dengan istilah ‘Liya
Besar’, yakni Desa Liya Togo, Liya Bahari, Liya Mawi, Woru, dan Kapota (Bhs
sanskrit, berarti Merpati Setia) di Pulau Wangiwangi yang kini menjadi bagian
paling penting diperjuangkan oleh Lembaga Forkom Kabali untuk dijadikan sebagai
Kawasan Desa Adat. Di dalamnya meliputi pelestarian Benteng Liya dengan
perkampungan masyarakat adatnya yang meliputi luas hingga 20 km persegi.
Terjalinnya hubungan antara raja-raja yang ada di
Pulau Jawa dengan raja-raja khususnya yang ada di Liya dan sekitarnya pada masa
lalu, salah satunya juga dapat dilihat dari sejumlah nama tempat yang banyak
menggunakan bahasa sangsekerta (Sanskrit).****
(https://alifbraja.wordpress.com/tag/pulau-buton/)