Oleh Humas Kabali
(http://sains.kompas.com/read/2013/10/13/2012358/Faktanya.Nusantara.Bukanlah.Wilayah.Majapahit)
(http://sains.kompas.com/read/2013/10/13/2012358/Faktanya.Nusantara.Bukanlah.Wilayah.Majapahit)
KOMPAS.com — Suatu hari pada
awal 2012, saya berkesempatan berdiskusi dengan Hasan Djafar, seorang
ahli arkeologi, epigrafi, dan sejarah kuno. Lelaki dengan tutur dan
penampilan bersahaja itu akrab dipanggil dengan sebutan ”Mang Hasan”.
Saya menyampaikan kepadanya tentang sesuatu yang telah menjadi panutan
umum: bahwa Majapahit punya wilayah Nusantara yang teritorinya seperti
Republik Indonesia.
”Itu omong kosong!” ujar Hasan. ”Tidak ada sumber yang mengatakan seperti itu.” Dia mengingatkan, kalau sejarah harus berdasarkan sumber berarti semuanya harus kembali ke sumber tertulisnya. ”Wilayah Majapahit itu ada di Pulau Jawa. Itu pun hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah.”
”Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan bahwa Nusantara itulah wilayah Majapahit!” Menurutnya, makna ”nusa” adalah ”pulau-pulau atau daerah”, sedangkan ”antara” adalah ”yang lain”. Jadi, Nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai ”daerah-daerah yang lain” karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit.
Nusantara merupakan koalisi di antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk kepentingan bersama untuk keamanan dan perdagangan regional, demikian hemat Hasan. Mereka berkoalisi sebagai ”mitra satata” sahabat atau mitra dalam kedudukan yang sama.
”Jangan diartikan kepulauan di antara dua benua,” kata Hasan. ”Bukan pula nusa yang lokasinya di antara.”
Sebagai kerajaan adikuasa setelah zaman Sriwijaya berakhir, Majapahit tetap berkepentingan dengan wilayah kerajaan-kerajaan itu sebagai daerah tujuan pemasaran dan sebagai penghasil sumber daya alam yang berpotensi perdagangan. Memang ada jalinan hubungan. Namun, hubungan ini tidak harus seperti penguasa dan yang dikuasai, bukan kekuasaan dalam artian politik. Ini adalah hubungan kepentingan bersama sehingga Majapahit juga berkepentingan untuk mengamankan dan melindungi wilayah-wilayah itu.
Walau demikian, sampai hari ini masih saja ada tafsir bahwa kerajaan-kerajaan itu memberikan upetinya setiap tahun kepada Majapahit. Hal ini seolah membuktikan ketundukan kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah supremasi Majapahit.
”Ini sering ditafsirkan sebagai upeti,” ujar Hasan. ”Padahal, tidak ada satu kata pun dalam Nagarakertagama yang bisa diartikan sebagai upeti, apalagi upeti tanda tunduk seolah menjadi negara jajahan Majapahit.”
Berdasar uraian Nagarakertagama, Majapahit memang punya tradisi mengadakan suatu pesta besar setiap tahunnya. Semua penguasa wilayah–wilayah kerajaan itu diundang dan ada yang memberikan hadiah-hadiah kepada raja Majapahit, dan menurut Hasan hadiah itu bukanlah upeti. ”Buktinya, sejak Majapahit berkuasa sampai runtuh pun daerah-daerah itu bebas merdeka.”
Lalu mengapa sampai ada anggapan bahwa Nusantara itu adalah wilayah Majapahit? ”Barangkali karena The Founding Fathers kita ingin menyatukan negara ini,” ujar Hasan lirih. Kemudian ”Muhammad Yamin—salah satu tokoh pendiri negara Indonesia—menggunakan gagasan Nusantara sebagai bentuk negara kesatuan.”
Di sebuah toko buku bekas di Jakarta, saya pernah menemukan karya Yamin yang dimaksud oleh Hasan. Yamin pernah menulis sebuah buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara yang terbit kali pertama pada 1945 dan telah dicetak ulang belasan kali. Buku itu mengisahkan epos kepahlawanan Gajah Mada sebagai Patih Kerajaan Majapahit.
Dalam lampirannya terdapat secarik peta wilayah Indonesia, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud, dengan judul ”Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit”. Tentang peta ini, Djafar mengungkapkan bahwa ”gagasan persatuan ini oleh para sejarawan telah ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit sehingga seolah ada penaklukan. Itu salahnya!”
Yamin, dalam buku tersebut, juga menampilkan foto sekeping terakota yang mewujudkan sosok wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal. Di bawah foto sosok itu, Yamin dengan keyakinan ilmu firasat menuliskan, ”Gajah Mada... Rupanya penuh dengan kegiatan yang mahatangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh.” Namun, belakangan saya menyaksikan kepingan terakota itu di Museum Trowulan yang sejatinya bagian dari celengan kuno dan tidak ada kaitannya dengan Gajah Mada.
Buku Yamin itu, secara tak kita sadari, telah menjadi panutan dari sekolah-sekolah dasar di Indonesia hingga lembaga pemerintahnya. Kini, sebuah patung lelaki bertubuh gempal dengan wajah seperti dalam buku Yamin itu telah berdiri di halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Kebayoran Baru. ”Itu skandal ilmiah dalam sejarah,” ujar Hasan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia).
”Itu omong kosong!” ujar Hasan. ”Tidak ada sumber yang mengatakan seperti itu.” Dia mengingatkan, kalau sejarah harus berdasarkan sumber berarti semuanya harus kembali ke sumber tertulisnya. ”Wilayah Majapahit itu ada di Pulau Jawa. Itu pun hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah.”
”Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan bahwa Nusantara itulah wilayah Majapahit!” Menurutnya, makna ”nusa” adalah ”pulau-pulau atau daerah”, sedangkan ”antara” adalah ”yang lain”. Jadi, Nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai ”daerah-daerah yang lain” karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit.
Nusantara merupakan koalisi di antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk kepentingan bersama untuk keamanan dan perdagangan regional, demikian hemat Hasan. Mereka berkoalisi sebagai ”mitra satata” sahabat atau mitra dalam kedudukan yang sama.
”Jangan diartikan kepulauan di antara dua benua,” kata Hasan. ”Bukan pula nusa yang lokasinya di antara.”
Sebagai kerajaan adikuasa setelah zaman Sriwijaya berakhir, Majapahit tetap berkepentingan dengan wilayah kerajaan-kerajaan itu sebagai daerah tujuan pemasaran dan sebagai penghasil sumber daya alam yang berpotensi perdagangan. Memang ada jalinan hubungan. Namun, hubungan ini tidak harus seperti penguasa dan yang dikuasai, bukan kekuasaan dalam artian politik. Ini adalah hubungan kepentingan bersama sehingga Majapahit juga berkepentingan untuk mengamankan dan melindungi wilayah-wilayah itu.
Walau demikian, sampai hari ini masih saja ada tafsir bahwa kerajaan-kerajaan itu memberikan upetinya setiap tahun kepada Majapahit. Hal ini seolah membuktikan ketundukan kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah supremasi Majapahit.
”Ini sering ditafsirkan sebagai upeti,” ujar Hasan. ”Padahal, tidak ada satu kata pun dalam Nagarakertagama yang bisa diartikan sebagai upeti, apalagi upeti tanda tunduk seolah menjadi negara jajahan Majapahit.”
Berdasar uraian Nagarakertagama, Majapahit memang punya tradisi mengadakan suatu pesta besar setiap tahunnya. Semua penguasa wilayah–wilayah kerajaan itu diundang dan ada yang memberikan hadiah-hadiah kepada raja Majapahit, dan menurut Hasan hadiah itu bukanlah upeti. ”Buktinya, sejak Majapahit berkuasa sampai runtuh pun daerah-daerah itu bebas merdeka.”
Lalu mengapa sampai ada anggapan bahwa Nusantara itu adalah wilayah Majapahit? ”Barangkali karena The Founding Fathers kita ingin menyatukan negara ini,” ujar Hasan lirih. Kemudian ”Muhammad Yamin—salah satu tokoh pendiri negara Indonesia—menggunakan gagasan Nusantara sebagai bentuk negara kesatuan.”
Di sebuah toko buku bekas di Jakarta, saya pernah menemukan karya Yamin yang dimaksud oleh Hasan. Yamin pernah menulis sebuah buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara yang terbit kali pertama pada 1945 dan telah dicetak ulang belasan kali. Buku itu mengisahkan epos kepahlawanan Gajah Mada sebagai Patih Kerajaan Majapahit.
Dalam lampirannya terdapat secarik peta wilayah Indonesia, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud, dengan judul ”Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit”. Tentang peta ini, Djafar mengungkapkan bahwa ”gagasan persatuan ini oleh para sejarawan telah ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit sehingga seolah ada penaklukan. Itu salahnya!”
Yamin, dalam buku tersebut, juga menampilkan foto sekeping terakota yang mewujudkan sosok wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal. Di bawah foto sosok itu, Yamin dengan keyakinan ilmu firasat menuliskan, ”Gajah Mada... Rupanya penuh dengan kegiatan yang mahatangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh.” Namun, belakangan saya menyaksikan kepingan terakota itu di Museum Trowulan yang sejatinya bagian dari celengan kuno dan tidak ada kaitannya dengan Gajah Mada.
Buku Yamin itu, secara tak kita sadari, telah menjadi panutan dari sekolah-sekolah dasar di Indonesia hingga lembaga pemerintahnya. Kini, sebuah patung lelaki bertubuh gempal dengan wajah seperti dalam buku Yamin itu telah berdiri di halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Kebayoran Baru. ”Itu skandal ilmiah dalam sejarah,” ujar Hasan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia).
Editor | : Yunanto Wiji Utomo |