OLEH : HUMAS KABALI
Dengan ini disampaikan kepada Bapak bahwa menindaklanjuti
Surat Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia yang ditujukan kepada Bapak
Presiden Republik Indonesia dengan Surat Nomor : 71/B/P.KABALI/I/201., tanggal
20 Januari 2012, Perihal Mohon Bantuan
Bapak Presiden Memberikan Arahan dan/atau Kebijakan Untuk Mendapatkan Dana
Untuk Keperluan Penelitian Penelusuran
Jejak Makam Maha Patih Gajah Mada di Buton Sulawesi Tenggara. Dan kemudian
dijawab dan dikembangkan oleh Kementerian Sekretaris Negara cq. Asisten Deputi
Hubungan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana
Nomor Surat tertera pada prihal di atas yang ditujukan kepada Kepala Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Deputi Bidang Ilmu Pengetahauan Sosial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hingga saat ini eksistensi maksud surat
tersebut semakin tidak jelas arah dan kebijakan yang dapat kami terima.
Pada dasarnya isi materi surat kami yang ditujukan kepada
Bapak Presiden Republik Indonesia adalah sangat jelas dan transfaran yakni
memohon kepada beliau untuk memberikan disposisi dan/atau arahan ke Donatur
(Leander) mana kita bisa mendapatkan pendanaan atas adanya rencana Lembaga kami
kerja sama dengan para pakar Arkiologis, Sejarah Budaya, Antropologi dan
Geologis masing-masing berasal dari Universitas Indonesia dan Universitas Gajah
Mada untuk mengadakan Penelitian Penelusuran
Jejak Makam Maha Patih Gajah Mada di Wilayah Buton Sulawesi Tenggara. Penelitian
ini sudah didukung oleh data-data situs lapangan yang cukup signifikan dan
jelas serta tutur dari masyarakat Buton meyakini bahwa Makam Gajah Mada
terdapat di eks wilayah Buton (Kerajaan Liya Kepulauan Wangi-wangi Kabupaten
Wakatobi). Sedangkan Makam Prajurit Setia
Gajah Mada sejumlah 40 orang situsnya terdapat di Desa Masiri Kampung Mada
Kecamatan Batauga Kabaupaten Buton dan 2 orang teliksandinya yang mana Situs
Makamnya oleh masyarakat Cia-Cia terdapat di Benteng Takimpo Banabungi,
Kecamatan Pasar Wajo Kabupaten Buton.
Patih Gajah Mada
Demikian pula tutur yang disampaikan oleh salah seorang asal
masyarakat Benteng Liya bernama Hasan Ndou mendapat kisah dari leluhurnya
mengatakan bahwa dahulu kala ketika Gajah Mada singgah di Liya (setelah
pelariannya dari Sumatera) ditantang adu kekuatan dengan seorang sakti asal
pulau wangi-wangi bernama Wakunduru, perkelahianpun berlangsung lama dan
menjelang sore harinya Gajah Mada sempat ditebas lehernya dan sebagai pertanda
kemenangan Wakunduru ditanamlah kepala Gajah Mada disebuah dataran tinggi
terletak antara Mandati Tonga dan Wungka tak jauh dari Benteng Keraton Liya. Makam kepala Gajah Mada ini sangat disakralkan
oleh orang-orang Liya dan Mandati dan pada masa lalu pada setiap orang yang
melewatinya terlebih dahulu menyinggahinya dan meminta bantuan apa saja yang
dikehendakinya, atas izin Allah SWT setiap permintaan dikabulkan. Telah
diadakan observasi metafisis dan ternyata dikuburan (makam) itu tersimpan
pakaian dan peralatan perang Gajah Mada, bukan kepala Gajah Mada seperti yang
dituturkan tersebut. Ilmu bayangan milik Patih Gajah Mada sampai hari ini masih
banyak masyarakat Liya menguasainya dengan apa saja yang diniatkan sambil disertai
bacaan-bacaan tertentu maka dia (benda yang disimpan) akan berwujud menyerupai
seperti diri kita, lawanpun mengira diri kita yang sebenarnya, padahal diri
kita yang sebenarnya telah pergi kelain tempat.
Patih Gajah Mada diyakini oleh masyarakat Liya makamnya
ada dalam sebuah gua di pulau Roh (dalam bahasa Liya disebut pulau Oroho)
letaknya sebelah selatan Benteng Keraton Liya. Keberadaan gua ini mirip gua
buatan masa lalu ada kamar-kamar tamu dan tempat peristirahatan dan didalamnya
ada bidang datar yang amat luas. Belum ada pendataan lebih lanjut keberadaan
gua ini oleh Lembaga kami, namun berdasarkan tutur masyarakat yang berkebun
sekitar kawasan Gua tersebut mengatakan bahwa ada sesuatu makam yang aneh di
dalam Gua tersebut dan pandangan metafisis membenarkan keadaan itu. Sebelah
pulau Roh terdapat pulau Simpora dimana disana ada terdapat Oa Buea yang
diyakini oleh masyarakat Liya sebagai pintu masuknya teliksandi Gajah Mada
untuk menemui Gajah Mada dipengasingannya di pulau Roh. Teliksandi ini merupakan
penghubung antara prajurit setia Gajah Mada yang ada di Batauga pulau Buton
dengan Gajah Mada untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap penting sehubungan
dengan pencarian bala tentara Majapahit (hayam Wuruk) terhadap pelarian mereka.
Tak jauh dari benteng Liya ada situs Kuni (dalam bahasa
Liya disebut Wa Kuni) terdapat dalam sebuah lekukan gua dangkal digunakan
masyarakat untuk tempat pemujaan dalam
ritual meminta hujan atau kemarau. Kemudian tak jauh dari Benteng Liya ada
terdapat Gua Winte yang diyakini oleh masyarakat Liya sebagai tempat penyimpaan
harta-harta dan benda-benda pusaka milik Patih Gajah Mada. Namun tak ada
satupun masyarakat Liya yang berani dekat dengan Gua ini (kecuali keturunannya)
sebab gua ini dijaga oleh satu mahluk jadi-jadian bernama Winte bentuknya
seperti kambing bertanduk satu, kedua matanya bulat besar mengeluarkan cahaya
dengan pancarann jauh kuning kemerah-merahan. Barang siapa yang temui binatang
ini maka badannya akan dihisap dan menjadi warna hitam tak lama hanya berselang
beberapa jam orang tersebut meninggal dunia. Keberadaan binatang Winte hingga
saat ini masih ada dan sering dijumpai oleh masyarakat Liya yang sedang
mendapat sial hari itu.
Berbagai Konteksi sejarah yang memuat tentang Kisah Maha
Patih Gajah Mada di Indonesia barulah penekannya pada masa perjuangan,
peperangan dann pelariannya dari Kerajaan
Majapahit, namum sampai
sekarang
belum jelas disebutkan siapa orang tuanya, dimana di lahirkan dan mengapa dia
tiba-tiba berada di pulau Jawa (Jawa Timur) dan masuk ke wilayah Kerajaan Majapahit
?. Kisah tutur masyarakat Buton dan silsilah yang ada dimiliki oleh sebagian
masyarakatnya amat jelas bahwa Gajah Mada memiliki orang tua yakni bapaknya
bernama Si Jawangkati asal Johor – Melayu yang tak lain pengawal pribadi Si
Malui juga asal Johor-Melayu dan ibunya bernama Lailan Manggraini atau sering
dikenal dengan sebutan Putri Lasem yang tak lain anak dari Raden Wijaya yang
ketika itu akhir abad ke XII khusus diutus oleh ayahandanya untuk membuat
Bandar di pulau Buton.
Berdasarkan Naskah Hikayat Negeri Buton yang ditulis oleh
saudagar asal banjar tahun 1267 masehi disebutkan bahwa Si Malui (dan
rombongannya) pernah singgah di Liya (wangi-wangi). Sebagian tokoh sejarah Liya
menyatakan bahwa Si Malui (dan rombongannya) inilah yang pertama kali membuat
Benteng Liya sekitar akhir abad ke XI dan berkuasa disana sebelum menuju ke
pulau Buton tahun 1236 masehi. Sedangkan berdasarkan Buku Tembaga Buton yang
berjudul Assajarul Haliqa Darul Bathniy
Wa Darul Munajat yang ditulis dalam bahasa Arab gundul oleh Mia Patamiana
Buton sekitar akhir abad ke XII dan diterjemahkan di Gresik Tahun 1863 oleh
Uztaz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad mengatakan bahwa Raden Sibahtera,
Raden Jutubun dan saudara perempuannya bernama Lailan Manggraini atau sering
disebut Putri Lasem adalah semuanya kakak berdadik datang dari pulau Jawa dari
kerajaan Mataram sebelum bergabung dengan Kerajaan Majapahit, mereka adalah
putra-putri Raden Wijaya Raja Mataram. Kedatangan putra-putri Raden Wijaya tersebut
atas perintah Raden Wijaya untuk membuat Bandar di pulau Buton dengan
menumpangi dua buah armada yakni satu armada dipimpin oleh Raden Sibahtera dan
Lailan Manggraini beserta 40 orang pengikut setianya dan satu armada dipimpin
oleh Raden Jutubun atau Bau Besi dengan 40 orang pengikut setianya. Kedua
armada itu membawa bendera kebesaran kerajaannya (kerajaan Mataram) yakni
bendera merah putih yang dinamakan “DAYIALO” dan masing-masing dipasang didepan
buritan kapal.
Jauh hari sebelum kedatangan rombongan anak-anak Raden
Wijaya tersebut di pulau Buton, telah bermukim manusia-manusia sakti antara
lain Si Malui dan Si Jawangkati, Si Panjonga dan Si Jutubun adalah orang-orang
sakti keturunan para wali masing-masing
asli asal Johor – Melayu. Tak lama setelah tiba di tanah buton (1236 masehi) Si
Jawangkati bapak Gajah Mada membuat benteng di Koncu Wabula (Wasuemba) hingga
kini situs benteng tersebut masih ada.
Pemahaman dapat disederhanakan dengan sebuah pertanyaan :
“Mengapa Lailan Manggraini dengan sengaja secara diam-diam membawa anaknya yang
sakti (ikut darah kesaktian bapaknya) yakni Gajah Mada ketika itu diperkirakan
baru berusia 15 tahun ke Jawa Timur “? Jawabnya adalah karena ayahandanya
bernama Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit mengalami banyak kesulitan dalam
pemerintahannya yakni banyaknya para
abdi/para pengawal dalam istana melakukan perlawanan (pemberontakan) terhadapnya…,
dan Si Gajah Mada inilah diyakini akan mampu menumpas semua musuh-musuh yang
melawan kakeknya, karena dia sangat sakti…!
Buton dan Liya adalah wilayah-wilayah bekas kerajaan
Majapahit sebagaimana disebutkan dalam Pupuh XIV Negarakretagama : “…..Muwah Tanah I Bantayan Pramuka Bantayan
Len Luwuk Tentang
Udamakatrayadhi Nikanang Sunusaspupul
Ikangsakasanusanusa Makassar
Butun Banggawi KuniGra-Liya-O Wangi (Ng) Salaya
Sumba Solo Muar,….”(Prof.DR. Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’
karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945).
Berkenan dengan hal tersebut di
atas, Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLi Indonesia yang kini secara
intensif ingin melakukan penelitian ilmiah Menelusuri
Jejak Makam Maha Patih Gajah Mada di Wilayah Buton Sulawesi Tenggara, menghadap
kepada Bapak, kiranya dapat segera dibantu dan diberikan solusi bagaimana bisa
kami mendapatkan bantuan dana dari para donator internasional dan/atau lander
yang secara intensif telah menjalin kerja sama dengan pemerintah republik
Indonesia untuk segera kami gunakan pembiayaan operasiona; turun ke lapangan
mengadakan aksi penelitian bersama-sama konsultan ahli. Sekiranya Bapak ingin terlibat langsung dalam
penelitian ini, kami tentu sangat senang hati dan menerima bergabung bersama
para pakar yang telah kami tunjuk dan tentu akan lebih konpehensif dalam
melakukan analisis dan pelaporannya. Sehubungan dengan hal tersebut, kami
mengajak Bapak sekalian untuk mari kita memulai penelusuran berbagai lokasi disana
(eks Kerajaan Buton) diserta pembuktian secara ilmiah dengan menggunakan
alat-alat ukur tertentu untuk menguak babak sejarah baru tentang Patih Gajah
Mada yang keberadaannya selama ini di Indonesia masih misterius.
Mohon
tanggapan positif dan responsible atas niatan baik ini dan kami menunggu
balasan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Demikian kami sampaikan atas perhatian dan
kerja sama diucapkan terima kasih.
Salam
perjuangan… “Merdeka …, Merdeka,… Merdeka”…!!!