DALAM NASKAH HIKAYAT NEGERI BUTON
DIKISAHKAN BAHWA SIPANJONGA DAN SI MALUI
PERNAH SINGGAH DI LIYA
DAN BERKUASA DISANA PADA ZAMANNYA
NASKAH HIKAYAT NEGERI BUTON INI
DI SUNTING DARI BUKU SILSILAH RAHA-RAJA DI WAKATOBI
HUBUNGANNYA DENGAN RAJA RAJA DI NUSANTARA
(Dr. LA NIAMPE, M.HUM, SUMIMAN UDU,M.HUM, HAMIRUDDIN UDU,M.HUM)
OLEH : ALI HABIU
Bermula ketahui
olehmu, “Hai sekalian sanak sudara “ ! Tatkala kami berlayar dari Mangkasar
hendak pergi ke negeri Sumbawa kepada tiga likur hari bulan syafar kepada tahun
1267 sanat tahun. Maka tatkala sudah sampai di gunung api, lawan takdir Allah
Taala, dipukulnya angin ribut tiga hari tiga malam tiadalah lagi melihat
daratan maka jatuh di pulau Kalautua. Tiga hari bernanti di sana, maka dapat
satu perahu orang Bajo dua beranak. Itulah yang menunjuki jalan sehingga sampai
di negeri
Butun.
Berapa lama kami
tinggal di negeri itu, duduk dengan segala percintaan. Maka kami dengar
daripada asal-usulnya kejadian negeri Butun dan asal kejadian rajanya,
tiadalah berlainan dengan cerita asal kejadian yang Dipertuan Sultan Banjar 25 yang
mempunyai alat takhta kerajaan di dalam negerinya dan beberapa negeri yang ta,luk
kepadanya sampai kepada sekarang ini ada turut pada seratus dua puluh buah negeri
yang menyembah [kepadanya]. Maka kami perbuat hikayat ini ceritera daripada
negeri Butun yang dianugerahi Allah Taala berkat dan keramat. Bahwa yang amat
takut dankesentosaan sejahtera
yang amat indah-indah kedengarannya, cinta berahi yang amatpatut daripada kata
segala nuzum dan akhlil firasat.
Ketahui olehmu, bahwa
negeri yang terlalu mahabesar kerajaannya dan yang mahamulia amalnya dan
mahasuci doanya dan mahalebat takutnya kepada Allah Taala azza wajallah. Maka
itulah bumi yang amat termashyur wartanya daripada segala negeri yang
besar-besar (di) bawah angin, dan tiga puluh orang menteri yang memegang bicara
dengan pelbagai alatnya, dan dua orang menteri yang besar memakai serba yang
keemasan bertatahkan ratna mutuira manikan, dan seratus hulubalang anak
raja-raja yang mengikut memakai segala pakaian emas yang bertatahkan serba
keemasan, dan berbaju sof sahalat ainalbanaat sekalian datang berhambakan
dirinya, menyembah rantai kepadanya tiada menghilangkan dengan senjata
melainkan dengan akal dan isyarat juga. Dan sentiasa ia tiada berubah mengerjakan
perintah di dalam majelis negerinya dan lagi yang amat lebih mengasihpada segala orang
dagang dan kepada sekalian orang isi negeri itu pun berbuat ibadatdan kebaktian memberi
sedekah segala fakir dan miskin dan yang menolong kepada sekalian orang yang
kesukaran.
Demikianlah hikayat
akan awal orang yang empunya cerita ini. Sekali peristiwa pada dahulu kala
ceritanya orang pun tiada manusia pada tanah. Sebermula maka tersebut pula
seorang raja dari pulau Liyaa di tanah Melayu bernama Sipanjongan, terlalu hartawan dan dermawan dan beberapa banyak kaum
keluarga dan hamba sahayanya.
Maka pada suatu malam
Sipanjongan tidur di dalam peraduannya,
maka itu pun bermimpi bertemu dengan
seorang tua. Maka berkata orang tua itu kepada Sipanjongan, “Hai cucuku!” “Apa
juga sudahnya cucuku tinggal di dalam pulau ini?” Lebih baik engkau mencari
lain tempat yang lebih baik dari pulau ini. Karena pulau ini, bukan cucuku yang
menempati [dia]. Maka tatkala didenganrnya kata orang tua itu oleh Sipanjongan
maka kata Sipanjongan, “Hai neneku,
”Bagaimana hal aku pergi mencari tempat lain daripada pulau ini?” Maka kata
orang tua, “Cucuku, “Perbuat kayu yang di ujung pulau itu perahu supaya boleh cucuku
pergi sekalian dengan segala keluarganya, cucuku. Maka Sipanjongan jaga daripada tidurnya serta diciumnya tubuhnya
baau-baau yang harum. Maka di dalam hati[nya] Sipanjongan, “Mimpiku ini bukan daripada setan, niscaya mimpi
rahmat”. Maka Sipanjongan ke luar ke
nesibaani mendapat sahabatnya dan handai taulannya, seraya ia mengkhabarkan hal
mimpi[nya]. Maka sekalian orang isi pulau itu heran semuanya menengar mimpinya
Sipanjongan itu.
Hatta maka tiada
berapa lamanya Sipanjongan pun
menitahkan hamba sahayanya memotong kayu serta disuruh perbuat sebuah perahu.
Maka tiada berapa lamanya perahu itu pun jadi. Namakan Sipanjongan perahu itu “Palulang” [namanya].
Maka Sipanjongan pun menghimpunkan sekalian
sahabatnya dan keluarganya musyawarat daripada hendak berpindah itu. Maka
sekalian pun masing-masing pada mengikut [dia] kepada ikhtiar[nya] Sipanjongan. 26 Maka palulang itu
dimuat orang, sekalian perkakas dan hartanya, sekalian jenis emas dan perak,
tembaga, suasa dan permata, dan intan baiduri, nilam pualam separkat, dan
palembaga, warna kain sufa sahalat minalbanaat, beledru, hitof, dewangga
beramai-ramai akan mutiara.
Syahdan lain daripada
itu beberapa harta indah-indah dibawanya. Setelah [sudah] lengkap di dalam
palulang itu, maka Sipanjongan
menyuruh[kan] sekalian orang naik ke palulang dengan segala sahabatnya dan
ra,yatnya dan hamba sahayanya [sekalian]. Maka layar perahu pun dipasang
oranglah merapat kiri kanannya. Maka Siopanjongan pun naiklah ke palulang serta
dengan segala bunyibunyian. Itulah adat segala anak raja-raja yang besar-besar
di dalam negeri. Maka kepada hari yang baik dan saat yang baik, [maka] Sipanjongan pun menyuruh orangnya
(mem)bongkar sauh. Maka orang pun hadirlah masing-masing dipegannya. Maka
meriam pun dipasang oranglah kiri kanan dan bunyi-bunyian dipalu [oranglah]
terlalu admat bunyinya dan layar pun dibuka [orang]. Maka angin bertiuplah
terlalu keras jalannya palulang itu seperti burung rajawali pantasnya.
Dengan seketika juga pulau
Liyaa itu lepas daripada orang banyak. Syahdan ada sehari semalam
pelayarannya di tengah laut, maka turunlah rebut taufan halilintar kilat, maka
sampan pun putuslah.
Hatta berapa lamanya
di tengah laut, maka sampailah pula itu pada suatu pulau, tanah Malalang
namanya. Maka dengan takdir Allah Taala angin pun teduhlah. Maka pilang itu
berlabuh sauh di pulau itu tujuh hari lamanya menanti akan angin teduh juga
turun.
Syahdan orang
sekalian pun duka citalah hendak turun ke pulau itu maka tiada pun sampan. Maka
sekalian orang di dalam pilang itu pun mengantuk dan dlaif daripada sengat
kepanasan matahari. Maka Sipanjongan
menyuruh berbuat suatu lanjang di dalam pilang itu. Setelah [sudah] berbuat,
maka diturunkan oranglah lanjang itu. Maka Sipanjongan
pun turunlah ke lanjang itu dengan segala sahabatnya lalu naik ke pilang
itu dengan sahabatnya. Setelah sampailah [ia] ke pulau, maka Sipanjongan pun turun ke darat lalu
naik berjalan. Masing-masing orang pada mencari tempat bernaung daripada sengat
kepanasan matahari.
Maka adalah sepohon
kayu perkasa namanya, mahalebat daunnya, maka disanahlah duduk semuhanya
masing-masing pada (ber)[per]buat himat. Setelah [sudah] berbuat himat itu,
maka Sipanjongan pun menyuruh orang
membawa lanjang menurunkan makan-makanan dan minum-minuman anggur, bantalnya
hendak bermalam di sana. Setelah itu, maka Sipanjongan
pun di dalam himat itu dihadap oleh segala sahabatnya dan ra,yatnya
[semuhanya]. Makan minum bersuka-sukaan dengan segala bunyi-bunyiannya
menyukakan hati segala sahabatnya. Setelah mabuklah sekalian orang itu
masing-masinglah tidur di dalam himat itu.
Maka Sipanjongan seorang dirinya tiada tidur
duduk mengadap matahari bersandar-sandar dirinya pada himat itu. Dengan suka
citanya melihat bulan purnama barulah terbit naik dari tepi langit. Maka dengan
takdir Allah Taala kedengaranlah suara tidak diketahui tempat di mana suara itu
berkata-kata dengan nyaring suaranya dan fasih lidahnya. Demikian bunyinya,
“Hai Sipanjongan, janganlah engkau duka citamu apa pekerjaanmu maka engka
melakukan dirimu seperti demikian itu?”
Kembalilah engkau ke
pilangmu. Bukan engkau tempat bagimu pada pulau itu. Hendaklah engkau segera
berlayar menuju matahari. Adalah sebuah pulau besar, “Butun” namanya disebut
orang. Disanalah engkau duduk yang sedia inayah Allah Taala, kemudian hari pula
itu dapat menjadi sebuah negeri yang besar-besar beribu 27 ribu orangnya, lagi
beroleh anak-anak seorang laki-laki, dan cucumu maka banyak. Dan anakmu itu pun
mendapat seorang perempuan di dalam buluh-gading yaitu menjadi raja di dalam
negeri itu, lagi anakmu itu kaya kekal ke kayangannya dating kepada anak cucumu
dengan berkat orang yang didapat di dalam buluh itu.
Hatta bunyi suara itu
pun tiada kedengaran. Maka Sipanjongan
pun barulah diperingat hatinya. Lalu berlari-lari membangunkan segala orang
yang tidur itu. Setelah bangun, maka bergegaslah turun ke lanjang Sipanjongan dengan sekalian orang-orang
[semuhanya] lalu berlayar. Setelah sampailah di pilang, maka orang pun naik
keatas pilang itu. Setelah [sudah] lengkap, maka angin pun turun bertiup dan bulan
purnama pun teranglah cahayanya. Maka Sipanjongan pun menyurukan membongkar
sauh. Maka sekalian ra,yatnya pun masing-masing memegang tali sauh.
Setelah berbongkar
sauh, lalu berlayar pada malam itu. Hatta hari pun siang, maka pilang itu pun
hampirlah ke pulau Butun itu. Maka Sipanjongan pun menyuruh orang mehiasi
pilang itu dengan segala perhisan yang indah-indah. Maka didirikan panji-panji
seperti adat kelengkapan segala raja-raja di dalam negerinya rupanya dan segala
bunyi-bunyiannya pun dipalu orang. Hatta maka pilang itu pun sampailah pada
suatu pantai Kalampa namanya, yaitulah Tobe-Tobe yang empunya pantai itu. Maka
Sipanjongan pun tetaplah duduk di sana serta berbuat kebun. Al-fasal peri pada
menyatakan tatkala ceritera suatu lagi dusun. Sebermula dusun itu pun tiadalah
tetap [ia] pada suatu tempat. Dan peri mengatakan tatkala dusun itu menjadilah
sebuah negeri yang besar. Demikianlah ceritera ini diceriterakan orang yang
empunya [cerita ini]. Sekali peristiwa ada suatu dusun itu Mandaika namanya dan
rajanya Samalui namanya, dan seorang
menterinya La Taata namanya. Maka pada tahun itu pun berhuma. Maka dengan
takdir Allah Taala huma itu pun tiada berisi dan tiada berdaun dan segala
buah-buahan dan tanam-tanaman itu pun tiada menjadi. Maka orang pun
bersegeralah berangkat hendak berpindah kepada yang lain lalu berjalan menuju
kesudahan.
Sebermula sampailah
kepada suatu bukit Kapuntori namanya itulah hamper pada suatu sungai Bancuka
[namanya di sungai itu]. Di sinilah ia duduk sekira-kira dua tahun di sana.
Maka berhuma pula pada tanah Walalogusi namanya. Berhuma di sana duduk setahun
juga. Maka pada tahun yang kemudian, berhuma pula pada tanah Kaedupa lalu ke
Bau-bau, sampailah kesungai Butun. Dengan selamanya sedia duduk di sana. Maka
kedua[nya] negeri itu besar kelak. Maka Sipanjongan
dan Samalui mufakatlah hendak berkumpul dirinya seperti adat satu negeri tetapi
hukumnya masing-masing kedua kaum itu. Demikianlah hal keduanya itu. Hatta
berapa lamanya, Sipanjongan pun menengar warta ada sudaranya Samalui seorang
perempuan baik parasnya dan putih kuning warna tubuhnya. Maka fikir
Sipanjongan, jikalau demikian baik kita mengantim ganti diri pakai meminang.
Maka ada suatu hari Sipanjongan pun pakai mengantar emas
dan perak dengan beberapa banyaknya kain sutera kepada Samalui. Maka sampai kepada Samalui sertaSamalui pun talah menerima harta yang telah
dibawah[nya] Sipanjongan itu. Maka Sipanjongan pun dikawinkan dengan
saudara Samalui, Sabanang namanya. Setelah berapa lamanya berkumpul dua
laki-istri, Sabanang pun hamillah. Setelah
sampai bulannya, sembilan bulan pada saat yang baik, maka beranaklah seorang
laki-laki terlalu baik rupanya. Maka dinamai akan bapanya budaklah itu 28 Bitaumbara namanya. Maka dipelihara
berapa tahun lamanya, Bitaumbara pun
besarlah. Maka Sipanjongan dan Samalui mangkin betambah-tambah suka
citanya.
Datang beganti-ganti
pada rumahnya keduanya makan dan minum bersuka-sukaanyadengan sekalian orang
besar-besarnya dan segala sahabatnya dan ra,yatnya [sekalian]. Hatta berapa
lamanya, maka Bitaumbara pun
sampailah umurnya delapanbelas tahun. Maka ia
pun menengar khabar anak raja Kamaru, Sagaranya namanya, seorang perempuan baik
parasnya. Maka Bitaumbara pun
berahilah akan perempuan itu.
Hatta maka Bitaumbara pun masuklah, beradulah dengan berahinya itu. Maka keesokan harinya, [maka] Bitaumbara pun pergilah kepada bapanya keduanya dan ibunya. Setelah Samalui dengan segala ra,yatnya adalah pada rumah Sipanjongan duduk suka-sukaanya dan berkasih-kasihan makan dan minum pada hari itu.Setelah Sipanjongan dan Samalui melihat anaknya Bitaumbara datang, maka segeranya disapanya kepada bapanya Bitaumbara serta berkata, “Hai anakku cahaya mata bapaku”. Maka Bitaumbara pun sujud kepada bapanya kedua dan ibunya seraya duduk. Maka berkata Bitaumbara, “Hai bapaku dan ibuku”. Hamba ini hendak bermuhun pergi bermain-main kepada negeri, karena hamba hendak melihat kekayaan Allah Subhanahu Wataala.
Maka kata bapanya
keduanya, “Hai anakku!” Apa kehendak hatimu anakku di dalam kedua negeri ini
pun anakku yang empunya dia, maka perempuan mana anakku kehendaki itu sudah
orang kedua negeri ini. Maka nankku pergi sendiri[nya] niscaya binasalah hati
bundanya dan ayahanda. Kedua kami ini hilanglah seraya risau hati bandang dan
ayahanda patah. Jadi ayahanda bandang anakku tinggalkan. Maka sembah Bitaumbara seraya menyapu air matanya,
“Jikalau tiada disukai akan hamba pergi ini, adalah ayahanda bandang hilanglah
dalam percintaan, lenyaplah hamba dengan masygul hamba”. Maka ayahanda pun
keduanya telah melihat anaknya seraya berkata, “janganlah anakku berkata
demikian itu, dan janganlah anakku duka cita atas kami. Ayahanda kedua ini yang
mengerjakan dia”. Setelah demikian itu, maka hati Bitaumbara pun suka cita menengar kata bandang itu.
Maka Sipanjongan itu dan Samalui pun memanggil orang
besar-besarnya dan sahabatnya. Maka segala mereka itu pun datanglah, lalu sujud
di hadapan Sipanjongan dan Samalui itu. Maka kedua mereka itu pun
berkata memberi perintah akan sekalian sahabatnya, handai taulannya dan menteri
yang kepercayannya. Demikian katanya, “Hai segala sudaraku!” “Kamu himpunkanlah
kedua negeri kita ini sekalian orang muda-muda [semuhanya] karena anak kita Bitaumbara hendaklah pergi bermain-main
kepada negeri ini, Kamaru”. Maka kamu pilihlah segala orang muda-muda itu
barang yang baik-baik parasnya dan suaranya dan tinggi besarnya. Itu pun
samakan anak kita Bitaumbara.
Maka segala sahabat
dan orang besar-besar itu pun sujudlah bermuhun kembali menghimpunkan segala
orang muda-muda itu. Dipilihnya rupanya dan suaranya dan tinggi besarnya.
Setelah [sudah] habis dipilihnya sekalian itu sebermula seratus orang muda-muda
yang baik parasnya dan seratus orang muda-muda yang baik suaranya akan serta Bitaumbara pergi ke negeri Kamaru.
Hatta setelah [sudah]
sekalian berhimpunkan sekalian orang muda-muda itu, maka Sipanjongan pun menghimpunkan sekalian anak hamba sahayanya yang
muda mudaitu juga, yang
dipilihnya dua puluh laki-laki yang muda, dan dua puluh hamba 29 sahayanya
perempuan yang muda-muda, dan perak dan kain yang halus-halus, pakaian yang
indah-indah berbagai-bagi juga. Setelah hadirlah orang masing-masing dibawanya
orang itu, maka Sipanjongan pun
memanggil orang besarnya seorang, Sijawangkati
namanya. Dan Samalui pun demikian
juga, [memanggil orang besarnya seorang] Sitamanajo
namanya. Maka kedua mereka itu pun datanglah di hadapan Sipanjongan dan Samalui. Maka Sipanjongan
pun berkata akan kedua orang besarnya itu. Demikian katanya, “Hai saudaraku,”
Tuan-tuan kedua fanarahakar pada sudara akan kedua anak hamba dan sekalian anak
saudara kita yang muda-muda serta anak hamba itupun baik dan jahat atas tuan
kedua itu yang membicarakan dia. Dan jika ada hyaat tuan hamba kedua itu akan
orang muda-muda jangan diubah martabatnya yang telah seperti anak hamba
dikaruniakan itu. Maka kedua mereka itu pun berkata, “Yaa Tuanku,” Hamba ini
pertaruhkan diri [hamba] pada yang [telah] sudah. Maka Sipanjongan pun memanggil anaknya Bitaumbara.
Maka Bitaumbara pun datanglah, lalu sujud di
hadapan bapaknya keduanya. Maka berkata bapanya, demikian bunyinya, “Hai
anakku,” Jika engkau diberi Allah Taala selamat sampai ke negeri tempat di
mana-mana datang anakku, berbuat suatu permainan. Hendaklah anakku itu berbuat
suatu kegemaran segala hati yang menghilangkan dan segala kedukaan dalam hati.
Dan baik-baik anakku peliharakan segala ra,yatmu antara suatu kaum tiada
mengenal dia dan tiada ketahui akan bahasanya. Maka dapat ia melakukan akalnya
dan pengetahuannya tiada kekurangan.Itu pun tanda orang
budiman, karena budi manusia itu dengan delapan perkara. Hendaklah dikenal
semuanya supaya sempurna pengetahuan kita. Pertama,
tahan hati padanya. Kedua, perkara
mengenal [dirinya] dan memelihara akan dirinya pada segalabahaya . Ketiga,
perkara kebakti kepada raja-raja dan mencahari yang kegemaran hatikepada raja-raja, dan
mencahari pekerjaan yang memberi kesentosaan [hatinya] dari pada suatu masygul
pada hatinya. Keempat, mengambil
berteman dua orang bersahabat berkasih-kasihan supaya menaruh rahasianya dan
rahasia orang padanya.Kelima, perkara amat memeliharakan rahasia dan
rahasia orang padanya . Keenam, perkara mengadap raja itu dengan manis mukanya
dan fasih lidahnya. Bermula segala yang raja-raja itu hendaklah disukainya,
sudah kalah marahlah ia dengan dia. Ketujuh,perkara
barang kala berdirinya melainkan ditanyai orang maka berkata. Kedelapan, perkara menghakimkan
lidahnya, sekira-kira mendatangkan hajatnya. Itulah alamat orang budiman. Bermula
barang siapa ada padanya barang delapan perkara ini, niscaya barang apa
dituntutnya diperoleh juga.
Demikian kehendaknya
orang budiman. Maka ujar bapanya, “Hai anakku, jikalau engkau hendak berbuat
suatu pekerjaan, hendaklah ia berbaik dahulu hatinya dan selesai citanya,
supaya bertambah-tambah budinya dan bicaranya niscayalah tiadalah sudah di
dalamnya. “Hai anakku jika engkau diharap segala ra,yatnya berdiam-diam.
Sebermula akan orang berkata-kata pun bukan mudah karena besar kata mahabesar
bahaya (di)dalamnya. Karena itulah puhun ada jangan pun ada pencuri kanan dan
kiri pun [ada]. Hendaklah dibicarakan 30 dahulu di dalam hati, maka kau katakan
dan jika engkau bersahabat hendaklah engkau menutupi [rahasianya] sahabatmu dan
sentiasa tiada berubah. Karena barang siapa bersahabat barang rahasianya
dikatakan, hendaklah menaruh rahasia sahabatmu itu, apamu awan di langit
tatkala pada tempat tiada bergerak. Apabila awan itu bergerak bertemu dengan
suatu niscaya kita ketahuilah bahwa itu awan namanya.
Demikian perinya
orang bersahabat. Setelah [sudah] (meng)ajarnya, maka Sipanjongan dan Samalui
dipeluk dan (di)ciumnya dua anaknya Bitaumbara
seraya ditangisinya. Maka Bitaumbara
pun bermuhunlah berjalan. Maka ayahanda bandang pun mengharaplah lalu pengasih.
Maka Bitaumbara pun kembali pula. Maka disembah ayah bundanya, lalu disapunya air
mawar. Maka bundanya pun bangunlah lalu didekapnya dan diciumnya itu seraya beri
nodai. Maka Bitaumbara pun berdiri
kepada ayahanda kedu(nya). Maka Bitaumbara
pun berjalan serta dengan tangisnya. Maka kata ayahanda kedua(nya) dan
bundanya, “Hai sudaraku sekalian orang besar-besar yang tinggal [sekalian] itu.
“Pergilah kamu
hantarkan anakku berjalan”. Maka sekalian itu pun pergilah. Hatta maka Bitaumbara pun pergi memberi karunia
segala ra,yatnya yang tinggal itu. Semuanya dikarunia Bitaumbara masing-masing kepada padarana. Maka Bitaumbara pun
berpegang tangan dengan segala orang besar-besar dan ra,yatnya yang tinggal
itu. Maka Bitaumbara pun berkata,
“Hai sekalian tuan-tuan, “Petaruh hamba kepada tuan-tuan sekalian ayahanda
kedua[nya] dan bundanya.” Maka segala mereka itu pun bersujudlah, kepada Bitaumbara pun berjalanlah dengan
segala sahabatnya dan orang muda-muda dan ra,yatnya [semuanya]. Seorang pun
tiada yang tua. Maka segala bunyi-bunyian pun dipalu oranglah. Terlalu admat
bunyinya didengarkan. Maka segala orang besar dan ra,yat sekalian yang
mengantarkan pun kembalilah dengan percintaan di dalam hatinya. Maka Bitaumbara pun berjalan.
Maka melalui sungai
dan sarukan dan beberapa melalui rimba dan padang dan beberapa melalui bukit
dan gunung yang tinggi-tinggi. Hatta berapa hari lamanya berjalan itu, maka
dengan takdir Allah Taala Bitaumbara
pun sampailah ke negeri LaWela. Maka segala negeri yang
hampir di sana semuanya orang datang berhimpun mengadap kepada Bitaumbara serta menyerahkan dirinya
masing-masing bawaanya. Mereka itu ada membawa makanan dan segala buah-buah(an)
kayu [dibawanya]. Setelah Bitaumbara pun
keluar daripada negeri itu, maka berjalan ketika ke mari. Setelah hampirlah Bitaumbara ketika itu, lalu turun
berjalan ke sebelah bukit itu. Setelah sampailah [Bitaumbara] sebelah laut atas
matahari, maka Bitaumbara pun
berhenti kepada pantai Kaluku namanya. Di sanalah ia duduk berhenti berbuat
sebuah himat besar. Maka dihiasinya dengan perhiasan yang indah-indah siri
kulambu dan langit-langit yang keemasan.
Maka segala harta
yang dibawanya itu pun sekaliannya ditaruhnya ke dalam[nya] himat itu. Maka
segala orang besar-besar dan segala ra,yat dan sahabatnya masingmasing berbuat
himanya, dan segala negeri dan dusun yang dijalaninya itu pun sekalian sertalah
orangnya mengikuti dia. Hatta maka kelihatanlah segala himat itu dari dusun
seperti sebuah negeri rupanya. Maka segala isi dusun itu pun (ber)kumpul. Maka
ditawarkan orang kepada raja Kamaru. Maka raja pun keluarlah dari [di] dalam
pagarnya. Maka ia pun menghimpunkan segala anak raja-raja duduk di atas balai
di hadapan sekalian perdana menteri dan sekalian ra,yat. Hatta maka orang dusun
yang melihat itu pun datanglah, lalu naik diatas balai mengadap raja Kamaru.
Maka penghulu dusun itu 31 pun berdatangan sembah kepada raja Kamaru seraya
berkata, “Ya Tuanku, “Hamba lihat dari atas dusun terlalu banyak himat. Penuh
pada segala pantai itu seperti sebuah negeri yang besar-besar rupanya. Maka
kata penghulu, “Enta atawa enta atawa musuh, “Hamba tiada tahu, tetapi jikalau
niscaya tidak terlawan. Maka raja
Kamaru dan segala mereka itu
pun heranlah serta betambah-tambah duka citanya menengar khabar itu seraya
menyuruh orang memukul gendang dan gong besar. Maka segala anak raja-raja pun
mengumpulkan sekalian hulubalang yang gagah berani dan [sekalian] orang-orang
dusun pun masuk dalam negeri itu seraya raja bertitah, “Hai segala orang,
keluarkan sekalian senjata alat peperangan itu”. Maka masing-masing menggunakan
senjata dengan pakaian yang terlalu hebat sikapnya.
Maka raja pun
menyuruh menunggui pantai dan mengelilingi negeri itu masing masing ketemukannya. Setelah
[sudah] lengkap dengan senjatanya, maka seorang hulubalang Tartamu namanya,
maka itu pun memakai pakayannya dan senjatanya dan ketupangnya lalu ia berjalan
naik di atas bukit lalu dusun kepada pihak kelalu peri itu serta dengan
penghulu dusun itu dan ra,yat. Maka turun berjalan di hampirnya pantai itu.
Maka terlihatlah beberapa ra,yat berhimpun seperti kawan(an) kerbau rupanya
melihat himat itu dan balai terlalu banyak. Maka raja pun menyuruh memanggil
akhli nuzum. Maka akhli nuzum pun datang lalu sujud kepada raja. Maka kata
raja, “Hai akhli nuzum. Lihatlah, apakah di dalam nuzummu betapa persatuannya
kepada yang datang itu. Maka akhli nuzum pun melihat nuzumnya. Maka ia pun
tersenyum seraya menggerakan kepalanya serta katanya, “Yaa Tuanku, dalam nuzum
hamba itu datangnya banyak itu wallahu a,lam.
Bermula akan
pekerjaannya yang khiraa itu juga rupanya. Maka raja pun mengucapkan syukur
Alhamdulilah akan pekerjaan yang khiraa itu rupanya. Maka raja pun memberi
persalin akan akhli nuzum itu. Setelah [sudah], maka raja pun menyuruh dua
(sampai) tiga perahu berisi baik-baik ni,mat. Maka segala menteri pun turun di
perahu. Hatta maka perahu itu pun pergilah mandapatkan dia [itu].
Hatta maka Bitaumbara pun memakai pakain yang
indah-indah daripada yang keemasan. Maka Bitaumbara
pun duduk di atas hamparan yang keemasan di hadap oleh Sitamanajo dan Sijawangkati,
[dan] orang besar-besar, [dan] sahabatnya, [dan] segala ra,yatnya, dan segala
orang negeri dan orang dusun yang telah dijalaninya [sekalian]. Sebermula dua
ratus orang muda-muda bawanya yang dipilih itu, maka dibahagi masing-masing
dipegangnya. Dua belas muda-muda memegang pedang berikat yang keemasan duduk
dari kanan Bitaumbara. Dua belas
orang muda-muda memegang pedang berikat seraya duduk di kiri Bitaumbara, dua belas anak orang besar-besar
muda-muda duduk dengan pakaian yang keemasan dudk dari kanan Bitaumbara, [dan] dua belas anak
menteri-menteri menyandang wali kain kekuningan duduk dari kirinya, [dan] dua
belas anak hamba sahayanya perempuan muda-muda dengan perhiasan duduk
menyelempeng [dia] dengan kain indah-indah dari belangnya, [dan] dua belas
orang muda-muda yang memegang pakaian, [dan] dua belas muda-muda yang budiman,
[dan] dua belas orang muda-muda pahlawan yang telah perkasa, [dan] dua belas
orang muda-muda yang baik parasnya berdiri memegang pedang daripada samparnya
yang telah terhunus bediri dari kanannya, dan dua belas orang muda-muda
menyelempang pedang yang keemasan yang bediri di hadapannya.
Apabila Bitaumbara berangkat, maka ialah
mengantar yang mengabarangkan dia, [dan] dua belas orang muda-muda hulubalang
daripada alim dan hikmat pagi 32 pagi sekalian hadirlah mengadap dia, [dan] dua
orang raja besar-besar yaitu raja Tobe-Tobe dan raja Batauga duduk mengadap dia
serta memegang keris tatarapang bersarungkan permata duduk dari kirinya, [dan]
dua orang menteri yang arif yaitu menteri
Barangkatopa La Tamanajo namanya
dan menteri Gundu-Gundu La Jawangkati [namanya] duduk memegang
kalung kalewang kerajaannya berhulukan emas duduk dari kanan, [dan] orang
muda-muda memegang puan yang keemasan duduk dari kanan dan dua orang memegang
kipas beremas bersarung duduk dari kiri. Adapun anak raja-raja itu {ber}pakaian
raja [yang dipakainya].Dan anak menteri pun [itu] demikian juga. Masing-masing
dengan namanya supaya kakanda jangan bercampur [masing-masing] duduk dengan
pakaian. Maka bunyi-bunyian pun dipalu orang terlalu merdu bunyinya.
Maka Bitaumbara pun dinaikan orang. Maka perahu
yang mendatangkan itu pun sampailah. Maka dilihatnya orang yang di dalam perahu
itu terlalu banyak orang dan terlalu admat dengan segala bunyi-bunyiannya.
Keluar asap apinya
pun kalang kabut. Hatta maka (di)ambilnya orang di dalam perahu itu dengan
campur pun. Orang yang di dalam himat itu pun mendirikan tangkal alamat
kebajikan seraya dengan cemara kuning. Maka kata menteri, yang mendapatkan,
“Itulah anak raja-raja rupanya yang datang ini, alamat kebajikan didirikannya.
Maka perahu yang berisi itu pun naik ke atas himat itu seraya menyembah kepada Bitaumbara [itu].
Syahdan berjabat
kepada tangan segala menteri, maka kata menteri yang datang itu kepada menteri Barangkatopa dan menteri Gundu-Gundu,
“Yaa taun-tuan apa-apa maksud yang dipertuan datang ke negeri ini?” Maka kata
keduanya itu, “Adapun maksud yang dipertuan itu, hendak mengadap ayahanda”.
Maka inilah yang diceritakan orang kepada yang dipertuan ini sudah mengikat
melainkan hendak mengadap ayahanda. Mudah-mudahan dapat minta diperhambakan
kepada ayahanda dan bundanya, dan hendaklah melihat negeri ayahanda dan bunda.
Maka sahut segala menteri itu seraya mengucap, “Alhamdulilah syukur patih
sahinya”. Maka segala ni,mat itu pun diangkat oranglah. Maka segala menteri
yang mendapatkan itu pun semuanya kasihan kedua laki istri. Setelah Bitaumbara
pun bersadarlah akan ayah bundanya.
Bitaumbara (ber)haraplah pada suatu hari [Bitaumbara].
Maka bermuhunlah kepada ayahanda dan bundanya, demikian bunyinya, “Yaa ayahanda
bundanya, “Aku lamalah hamba kutinggalkan dari padaku kanda betapa hal ayahanda
bunda hamba”. Maka Bitaumbara beranak
seorang laki-laki maka dinamainya Sangariarana.
Maka Sangariarana pun beristri
dengan anak negeri. Maka beranak seorang (anak) laki-laki yaitu La Balowu namanya.
Adapun segala
peristiwa cerita dari pada dahulu kala nenek moyang kita yang tua-tua, pertama
negeri Butun itu konon dari tanah Mandauli
yaitu hampir negeri Lambu Saangu.
Maka kemudian berpindahlah pada tanah Kapuntori dengan beberapa lamanya duduk
di sana. Maka datang setahun lamanya duduk berhuma semuanya pada tahun itu.
Setelah sudah, maka datanglah lagi tahunnya. Maka berhuma pula pada tanah
Kadolo, dekat pantai samuta pantai berhuma kepantai Baau-Baau sampai kepada
kaki sungai. Di sanalah tempat salu. Demikian itu betap lamanya [duduk di
sana]. Itu pun belum lagi mendapat rajanya. Demikianlah. Hatta maka tersebut
cerita itu rayang ke Butun yaitu Batara
Wa Kaakaa namanya.
Demikian bunyi
ceritanya. 33 Adapun segala peristiwa ada seorang Butun yang membawa anjingnya mencari
perburuan, Sangia I Langkuru namanya
yaitu dari kampung Peropa. Maka ia sebab berjalan mengikut ke hulu sungai
membawa anjing mencari perburuan. Hari pun petanglah, seekor pun tiada
(men)dapat perburuan. Dan anjingnya pun bercerai dengan Sangia I Langkuru. Maka ia mencari anjingnya lalu [ia] naik ke atas
bukit.
Setelah sampailah ke
atas bukit itu, maka kedengaran suara anjingnya [itu]. Maka Sangia I Langkuru
pun berlari-lari mengikuti suara anjingnya itu. Setelah sampai[lah] pada suatu
kebun (di)atas tengah bukit itu, lalu ia masuk ke dalam kebun itu. Setelah maka
anjing itu pun telah melihat tuhannya mangkin berseru-seru. Demikianlah
bunyinya, “Aw,aw”. Dan kakinya pun menggali tanah di puhun bulu gading namanya,
yaitu patung gading. Setelah maka Sangia I Langkuru pun bertemu dengan
anjingnya. Seekor pun tiada melihat perburuan. Hanya dilihat oleh anjingnya dan
kelakuan anjingnya itu digalinya tanah kukunya pada puhun bulu gading itu.
Sebentar berlari-lari pada tuhannya, sebentar kembali berlari-lari pada puhun
bulu itu. Digalinya tanah dengan kukunya anjing itu berturut-turut dengan tujuh
kali. Demikian kelakuan fiil[nya]anjing itu. Maka
Sangia I Langkuru melihat hal anjingnya demikian itu, maka berfikir di dalam
hatinya. Demikian bunyi fikirannya, “Apakah sebab anjing ini maka digalinya
puhun bulu ini?” Dan dirasanya sepula-pula berisi di dalam bulu ini rupanya.
Baiklah aku ambil bulu ini. Lalu diparangnya puhun bulu itu. Lalu luka sedikit
kaki Batara Wa Kaakaa di dalam buluh
itu. Lalu keluarlah darahnya sangat putihnya seperti air susu rupanya. Lalu
bersuara, demikian katanya, “Janganlah penggal kakiku itu”. Maka Sangia I Langkuru pun terkejut mendengar
suara di dalam bulu gading itu. Maka tiada lagi diparanginya dengan dua kali,
sebab terdengar suara di dalam bulu itu lagi.
Dipukulnya (bahagian)
atas itu lagi. Berserulah “Aa....aa..., “Tanganku.” Berturut dengan tiga kali
bersuara, “Aa...aa....aa...., “Janganlah penggal.” Maka Sangia I Langkru pun takut, lalu ia
kembali berlari-lari memberi tahu orang besar-besarnya yaitu Bitaumbara namanya. Diceritakanlah pada
barang apa dilihat dan didengarnya daripada permulaan digalinya anjing dan
disuruhnya dating pada kesudahannya kembalinya itu. Maka Bitaumbara pun suka
citanya rasa hatinya. Lalu menyuruh orang memanggil anaknya Sangariarana dan
segala menteri dan ra,yat. Sekaliannya pun datanglah [semuanya] berkumpul penuh
sesak.
Maka berangkatlah Bitaumbara dan anaknya Sangariarana dan sekalian menteri dan
ra,yat [sekalian pun] naik berjalan (ke)atas bukit Lelemangura. Setelah sampai
kepada bukit itu, maka segala orang banyak itu pun duduk berkeliling pada puhun
bulu gading itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana dan segala menterimenterinya pun
duduk bersaf-saf. Maka Bitaumbara
pun memeriksa suara dalam buluh itu. Lalu diambilnya kayu. Maka dipukulnya
dengan kayu buluh itu. Lalu berbunyi dalam buluh itu. Demikian katanya,
Aa....aa...., aa...., jangan kau penggal kaki dan tanganku dan kepalaku itu.
“Setelah diperiksa oleh Bitaumbara akan suara itu, maka dipanggil segala akhli
nuzum. Maka dilihat di dalam nuzumnya yaitu katandu-tandu namanya.
Maka berkata segala
akhli nuzum itu. Demikian katanya pada Bitaumbara
dan Sangariarana, “Yaa Tuanku,
jangan kau penggal buluh itu.” Di dalamnya ada seorang perempuan “peri”
namanya, dari atas langit terlalu baik parasnya. 34 Maka Bitaumbara menyuruh orang menggali puhun bulu itu supaya kita belah
itu. Maka segala orang pun digalinya tanah itu. Lalu di bawah bahunya dapat diangkatnya.
Maka diubahnya bulu itu. Sudah (di)belah oleh Bitaumbara dan Sangariarana,
maka keluarlah seorang putri [perempuan] dalam buluh itu yaitu Batara yang ke Butun Wa Kaakaa namanya. Terlalu baik
parasnya, gilang gemilang warnanya, rupanya seperti bulan purnama empat belas
hari bulan dan kulitnya pun terlalu sangat putihnya. Maka Bitaumbara dan
Sangariarana pun melihat rupa Wa Kaakaa
itu pun rubuhlah [keduanya] tiada khabarkan dirinya.
Maka Wa Kaakaa itu pun telah melihat hal
yang demikian. Maka diludahnya tubuh Bitaumbara
dan Sangariarana. Setelah [sudah]
Bitaumbara dan Sangariarana baharulah diangkat dirinya. Lalu bangun dengan
sembah sujudnya di bawah kaki Batara ke Butun. Kemudian Batara pun
berturut-turut berkata-kata. Demikian katanya, “Aa....aa....aa,” sebab itulah
kemudian dinamainya Wa Kaakaa [namanyalah kamu].
Maka segala orang pun
hadirlah berbuat “gata”. Setelah sudah maka Bitaumbara pun berbangkit mengambil
segala kain keemasan akan selendang WaKaakaa
itu. Setelah [sudah] diperselendang oleh Bitaumbara pun menyembah pada tuan Wa Kaakaa. Demikian sembahnya, “Ya
Tuanku, naiklah tuan (ke)atas gata itu.” Maka Wa Kaakaa itu pun naik duduk atas gata itu. Maka orang pun
diangkatnya gata itu lalu berjalan dua selangka dua berjalan. Maka matahari pun
tiada kelihatan, maka turunlah ribut taufan halilintar petir. Gata gelaplah
tiada kelihatan seorang kepada seorang, berpegang tangan sebab sangatlah gelapnya
setelah maka Bitaumbara pun berseru-seru, “Hai kamu sekalian,”
Duduklah kamu!” Maka
segala orang pun duduklah, dan gata itu pun diturunkan ke tanah. Setelah
matahari pun kelihatanlah, ribut taufan tiadalah. Bitaumbara dan Sangariarana
dengan tiga kali berturut-turut diangkatnya, ribut taufan pun demikian[lagi berturut-turut
dengan tiga itu juga]. Demikian halnya berkata Wa Kaakaa itu. Maka segala orang
banyak pun takutlah. Setelah di dalam antara itu, maka adalah seorang perempuan
tua “Wa Bua”namanya yaitu (dari) kampung Balowu, yaitulah tertidur matanya
sebab sangatlah hujan dan ribut taufan. Maka ia terpaling penglihatan[nya] dan pendengarannya
seperti orang bermimpi rasanya. Demikian bunyi di dalam mimpinya itu, “Melihat
seorang laki-laki orang tua besar tubuhnya lagi panjang dengan janggutnya.
Tiada diketahui ke sana sini datangnya orang tua itu seperti kilat lakunya.
Lalu ia berdiri dengan marahnya di hadapan segala orang banyak itu. Demikian
katanya, “Hai kamu [segala] orang Butun sekalian, janganlah kebawa anak hamba
itu. Aku tiada mau kuberikan pada kamu sekalian itu, melainkan yang perhiasanlah
gata itu dengan perhiasan yang keemasan dan anta itu pun dihiasi juga dengan
kain yang mahamulia dan genderang, gong pun dipalu orang seperti adat segala
raja-raja. Maka kamu sekalian baharu aku angkat gata itu lalu kam bejalan.
Maka hamba pun mau
aku berikan kau bawa anak itu. Jika segala lagi hal yang demikian itu juga
bersalah adat segala raja-raja, niscaya aku turunkan hujan guruh kilat ribut
taufan supaya rubuhlah bukit ini lalu binasa, dan kamu sekalian nyawamu di
dalam tanganku juga. Dan jika kamu berikan duka cita lagi, mudah-mudahan anak itu
niscaya aku turunlah kunaikan ke langit (ke) atas ke kayanganku lagi. Setelah
orang bermimpi itu pun juga daripada tidurnya lalu menyembah kepada orang tua
di dalam mimpinya itu juga, “Ya Tuanku,”Dari mana datang Tuan Hamba,? “Siapa
nama Tuan Hamba,? Dan apa nama negeri Tuan Hamba? Dan asal 35 mana Tuan Hamba?
Maka menyahut orang tua itu, “Hai perempuan, “Adapun namaku Bataraguru dan asalku peri dan tempatku
(di) atas tujuh lapis langit. Sebab hamba sampai kemari, hendak kuajar kamu
sekalian seperti kata itu juga. Setelah [sudah] berkata Bataraguru itu,
dengansekejap mata lenyaplah tiada kelihatan daripada demikianlah katanya, “Hai
kamu sekalian, turun ambil orang yang didapat itu naik ke mari yaitu akan
suamiku dan berilah aku nasinya dan baranga yang makanan niscaya kumakanlah
supaya takut tulangku,” Demikian katanya. Tetapi sungguhpun mulutnya berkata
demikian itu, [hatinya] jangan lagi diketahuinya di dalam hatinya didengarnya
dengan telinganya pun tiada siapa mengetahui takdir Allah Taala. Maka dapat
berkata yang demikian itu karena Wa Kaakaa adalah lemah lembut dilihatnya.
Segala orang di hima
itu dan tiada lagi bergerak, [dan tiada lagi] berkata-kata, dan [tiada lagi]
dapat bangun duduk sendirinya, melainkan orang yang membangunkan dia. Maka
Bitaumbara dan Sangariarana [oleh] telah menengar suara Wa Kaakaa baharulah
dapat berkata dan [baharulah] dia minta nasi akan dimakannya [Wa Kaakaa itu].
Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun suka citalah rasa hatinya keduanya. Lalu
ditanya-tanya, demikian katanya “Hai Tuanku, jikalau hendak mau santap,
bangunlah akan diri Tuan hamba supaya puaslah isi hati segala membawa sekalian
ini.” Maka Wa Kaakaa pun tiada lagi dapat menyahut. Jangan lagi menyahut,
bergerak pun tiada dapat [oleh Wa Kaakaa itu].
Setelah maka
Bitaumbara dan Sangariarana pun hadirlah menyuruh orang membawa nasinya dan
segala makan-makanan dibawahnya akan dimakan oleh Wa Kaakaa itu, maka
Bitaumbara pun diambilnya sebuah mangkuk emas berisis nasinya lalu diunjukkan
kepada Wa Kaakaa [nasi itu]. Maka Wa Kaakaa pun disambutinya nasi itu, lalu
dimakannya dengan tiga kali. Sudah itu tiada lama duduk pada perutnya nasi yang
dimakannya itu, maka ia berseru-seru. Demikian serunya, Kaa....kaa....kaa....
Dan tangannya sebentar memegang perutnya dan sebentar tangannya terus (ke)dapur
dan sebentar memegang pantatnya. Maka segala bunyinya dan menteri dan orang
besar-besar itu pun masing-masing datang membuka lante, ada yang mengamparkan
hamparan yang banyak dan tikar. Maka Wa Kaakaa itu pun makin berseru-seru,
“Kaa....kaa....kaa.... lalu ia berjalan empat kaki menuju dapur lalu duduk
berpindah batu-batu sumpah periwayat kadla hajat pada dapur itu. Setelah kelurlah
tahi emas yaitu wandawaki sebab (di)jatuhkan pada sebelah jatuh pada dapur tahi
itu. Sebab itulah jadi hitam sebelah rupanya wandawaki itu. Ada pun wasampu itu
kemudian kembalinya kepada ke kayangannya dari atas langit, maka dijatuhkannya
lagi. Setelah [sudah] hajat, maka mengambil air. Setelah maka lalu berdiri dan
serta dapat berkat-kata dengan manusia lalu duduk di hadapan segala nene
menteri-menterinya dan nene orang besar-besarnya.
Hatta maka Sangariarana
pun bermuhunlah pada bapanya Bitaumbara dan segala orang besar-besar dan ra,yat
sekalian pun turunlah mengalungkarkan orang yang menjadi pada air sungai yaitu
pantai Bumbu namanya, sebab mendapat seorang laki-laki yang baik parasnya,
gilang-gemilang rupanya seperti bulan purnama empat belas hari. Entah jinkah
entah perikah. Sangariarana pun turunlah mengalu-ngalukan orang yang di jalan
oleh Simanguranca dan Simandalu didapatnya di dalam jalannya. Bitaumbara pun
berjalan di belakang hendaknya dihabiskannya segala orang hina dina dan
menyuruh orang berseru-seru yaitu “Talombo Sejalang” namanya dan “Sibasarapu”
namanya dan orang namanya “Situlubu”. Setelah [sudah] habis 36 sekalian orang
itu maka Bitaumbara pun turun di belakang segala orang itu. Setelah sampailah
Bitaumbara dan Sangariarana dan [segala] ra,yat sekalian pula berkeliling, duduklah
di hadapan orang yang di dapat di dalam jalan itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana
pun menyuruh orang berbuat gata. Maka segala orang pun hadirlah masing-masing
pada membuat gata itu. Setelah [sudah] berbuat maka Bitaumbara dan Sangariarana
pun diangkatnya oleh orang itu (di)atas gata. Setelah [sudah] duduk maka segala
orang pun hadirlah diangkatnya gata itu dan ditaruhnya (di)atas bahunya lalu
berjalan.
Hatta dengan takdir
Allah Taala, maka laut itu pun telah berbunyilah. Maka ombak pun tambahlah
seperti dawam di langit dan maka rupanya harus pun berdengung seperti sampai ke
darat. Maka ombak itu memecah seperti lagi kiamat rupanya. Ombak itu mengilat
segala orang banyak itu pun takutlah. Lalu diturunkan ke tanah gata itu.
Setelah demikian, bunyi pun tiadalah didengarnya dan ombak pun berhentilah
tiada dilihatnya. Hatta dengan seketika itu maka kelihatanlah seorang laki-laki
terlalu indahindah rupanya seperti cermin yang kena sebentar matahari tiada
diketahui datangnya. Orang itu dengan hebatnya lalu berdiri di tengah-tengah
segala orang banyak itu. Maka (ber)kata, “Hai kamu segala orang Butun,
janganlah kamu ambil cucuku ini.
Tiada kuberikan
jangan muda-muda hanya cucuku ini.” Sahut[nya oleh] Bitaumbara dan
Sangariarana, “Demikian katanya, “Ya Tuhanku, jangan kuhantarkan nene hamba ini
akan suami raja kami, karena raja kami perempuan belum bersuami. Inilah sebabnya
maka diceriterakan daripada pertama didapatnya Wa Kaakaa itu dating kepada
kesudahannya, [habis diceriterakan] oleh Bitaumbara dan Sangariarana. Maka
Bitaumbara pun berkata pada orang itu. Demikian katanya, “Ya Tuhanku, berkata
benar supaya takwa hati hambamu beranak nene tuan hamba ini, “Siapa nama Tuan hamba
dan asal mana tuan hamba dan dari mana datang tuan hamba maka sampai ke mari
dan mana negeri tuan hamba?” “Hai manusia Bataraguru, [dan] asalku asal peri
dan tempatku pada langit yang ke tujuh. Adapun hamba ini sampai ke mari sebab
kelakuan hal cucuku ini tiga orang kembar dua orang laki-laki dan seorang
perempuan.
Dibuangkannya bapanya
ke laut itu ketiganya. Sebab maka Bitaumbara pun bertanya pula, “Ya Tuhanku,
adapun bapa cucu tuan hamba ini, “Siapa namanya dan asal mana dan apa nama
negerinya?” Maka menyahut Bataragu itu, “Adapun namanya bapanya Raja Manyuba dan namanya negerinya Majapai
dan asalnya asal kamu juga, tiada lain baharu dan dua zaman diturunkan Allah Subhanahu
Wataala ke dalam dunia. Maka diceriterakan oleh Batara kamu dari pada permulaan
diturunnya dari atas langit datang kepada kesudahannya. Dibuangnya oleh bapanya
lalu didapatnya oleh orang Butun pada pantai Bumbu itu. Habis diceriterakannya.
Setelah [sudah] diceriterakan, maka Bataraguru pun memuhun kepada segala orang
banyak itu.
Maka Bitaumbara pun
bertanya pada Batarakala itu, “Ya Tuhanku, di mana tuan hamba pergi dan pada
pihak hamba tuju?” Maka Batarakala pun tiada menyahut, hanya menunjukkan
tangannya kepada tanah Pancana. Telah sudah, maka Batarakala pun lenyap dengan
sekejap mata, tiada kelihatan daripada mata segala orang banyak seperti kilat
pantasnya. Setelah maka Bitaumbara dan Sangariarana dan [segala] ra,yat pun
naik berjalan ke negeri Butun menuju kampung Baaluwu. Setelah sampai kepadakampung Baaluwu itu,
maka Bitaumbara dan Sangariarana pun menyuratlah yang 37demikian bunyinya
musiba wartanya, “baiklah kita perbuat lagi suatu dusu pada tempat ini, dan
sebuah rumah besar akan tempat raja lagi besarlah dahulu raja ini duduk tempat
ini supaya kita bahagi segala orang ini dengan dua bahagi. Setelah [sudah]
musyawarah itu, maka segala orang banyak masing-masing hadirlah berbuat dusun
pada tempat itu. Setelah [sudah] habis diperbuatnya dusun itu, dari rumah raja itu
dengan rumah segala orang banyak itu pun habisnya semua diperbuatnya dan [segala
orang banyak pun] seraya dibahaginya dengan dua bahagi. Sebahagi dengantiga kampung ;
pertama kampung Baaluwu, [dan] kedua kampung Barangkatopa, [dan] ketiga kampung
Wandailolo yaitu bahaginnya Sangariarana akan ra,yat raja laki-laki yaitu
Sibatara namanya. Dan lagi sebahagiannya itu dengan lima kampung, pertama
kampung Peropa, [dan] kedua kampung Gundu-Gundu, [dan] ketiga kampung Kadatua,
[dan] keempat kampung Rakia dan kelima, kampung Gama, yaitu baginya Bitaumbara,
akan raja perempuan yaitu Wa Kaakaa. Setelah [sudah] dibahagi segala orang itu
dan rumah raja itu pun dihiasi dengan perhiasan yang mahamulia. Maka raja pun
naik (ke) atas rumah duduk kepada (ke)atas hamparan yang keemasan itu di
hadapan menteri, [dan] orang besarbesarnya dan ra,yatnya sekalian penuh sesak
pada duduk itu. Dan segala perempuan itu pun masing-masing membawa
makan-makanan dan segala buah-buahan yang dimakan pun dibawanya [dan] kepada
raja perempuan itu [pun]. Demikialah tiap-tiap hari, sebab sudah terbahagi ra,yatnya.
Setelah dengan berapa
hari [dengan] Bitaumbara dan Sangariarana pun musyawarah akan telah hendak
mengawinkan rajanya memulai berjaga-jaga. Setelah [sudah] musyawarat, maka
Bitaumbara dan Sangariarana pun menyuruh orang berbuat suatu maligai besar akan
tampat beristri rajanya. Maka orang pun berbuatlah maligai besar lagi tinggi
pada telah dipilih oleh Bitaumbara dan Sangariarana (di)atas bukit Waberongalu
itu.
Setelah [sudah] habis
diperbuat maligai itu maka dihiasinya [maligai itu] dengan kain jinggai yang
keemasan, [dan] kain cilala yang keemasan, [dan] kenakan tirai kelambung yang
keemasan dan kata tirai langit-langit berambai-rambai akan mutiara maligai itu.
Setelah [sudah] perhiasan maligai itu, maka Bitaumbara dan Sangariarana itu pun
kembali dahulu mengalu-alukan Batara Wa Kaakaa. Setelah sampailah pada hima
Batara Wa Kaakaa itu, maka Wa Kaakaa pun dihiasi oleh Bitaumbara dan
Sangariarana dengan pakaian yang indah-indah. Setelah [sudah] memakai, maka Wa
Kaakaa pun duduk (di)atas gata. Maka orang pun diangkatnya gata itu lalu
ditaruhnya (di)atas bahunya lalu berjalan naik ke maligai (ke)atas bukit Waberongalu.
Diiringi dengan nene perempuan menteri dan nene orang besarbesarnya.
Tiada dapat berjalan
segala orang itu sebab kebanyakan manusia. Setelah sampailah pada maligai maka
Wa Kaakaa pun naiklah lalu masuk ke dalam peraduannya. Maka kelambu yang
keemasan itu pun dirunta oranglah. Maka segala nene perdana menteri da nene
wazir yang menghadap di hadapan putri Wa Kaakaa itu. Bitaumbara dan Sangariarana
pun, turun mengelu-elukan Sibatara. Setelah sampai pada hima, Sibatara itu lalu
mengadap. Semuanya berdatang sembah sujudnya di bawah duli Sibatara. Demikian
sembahnya, “Ya Tuhanku, baik tuan hamba berangkat, kita ke maligai tuan putri
Wa Kaakaa. Baik, “Tuan hamba mandi dahulu”. Maka orang pun hadirlah di hadapan
Bitaumbara dan Sangariarana menantikan katanya. Bitaumbara dan Sangariarana pun
dibahagi segala kampung itu masing-masing dengan baginya. 38 Adapun baginya
kampung Peropa tempat makanan raja Butun, [dan] baginya kampung Baaluwu kain
besarnya raja Butun yaitu kain permandian, [dan] baginya negeri Tobe-Tobe
adalah yang membawa air baginya, [dan] kampung Gundu-Gnndu, [dan] Kadatua,
[dan] Rakia, [dan] Gama, [dan] Wandailolo dan Barangkatopa baginya sirih
pinang, [dan] barang yang makanan dan buah-buahan [pun ialah yang membawa dia].
Setelah [sudah]
hadir, maka Sibatara pun dimandikan oleh Bitaumbara dan Sangariarana. Setelah
[sudah] mandi maka dihiasi dengan pakaian yang keemasan. Setelah [sudah]
memakai,maka Sibatara pun berjalan diiringkan Bitaumbara, [dan] Sangariarana,
[dan] segala orang besar-besar dan ra,yat sekalian. Setelah smpailah pada
maligai Tuan Puteri Wa Kaakaa itu, maka Sibatara pun naik ke maligai lalu masuk
ke peraduan Tuan Peteri. Maka kelambu yang keemasan pun dilabu orang. Setelah
[sudah] masuk, maka segala orang pun masing-masing kembali ke rumahnya.
Setelah [sudah]
beristri Sibatara dengan Wa Kaakaa itu, Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun
mendirikan perintah istiadat segala wazir ma,dun dan perdana menteri. Syahdan
bicara adat segala menteri dan hukum di dalam negeri itu pun lengkap semuanya.
Habis dibahagi barang yang segala hukum di dalam negeri itu, masing-masing
dengan pikapnya.
Hatta tersebut
perkataan Sibatara dengan tuan puteri beberapa lamanya bersuka-sukaan di dalam
peraduannya, maka dengan takdir Allah Taala Tuan puteri pun hamillah. Setelah
datang bulannya kepada hari yang baik dan saat yang baik, maka tuan puteri Wa
Kaakaa pun beranak seorang perempuan yang baik parasnyagilang-gemilang
cahayanya seperti bulan purnama empat belas hari rupanya, maka dinamai Bulawambona [anaknya itu].
Maka Bitaumbara dan
Sangariarana pun mengambil inang pengalasan di dalam kampung itu juga delapan
orang. Kemudian maka puteri Wa Kaakaa pun beberapa pula seorang perempuan yaitu
Patolambona namanya. Dan beberapa lagi bulan antaranya, Patolambona maka
beranakan pula Patolasunda namanya. Ketiganya hanya perempuan. Dan lagi
beberapa bulan lamanaya antaranya maka pun menjadi raja negei Butun Sibatara
dan Wa Kaakaa.Maka masyhurlah wartanya ada sepuhun huu menjadi pada sisi rumah
Bitaumbara.
Dan dilihatnya segala
orang banyak menjadi sepuhun kayu huu namanya. Hampir kesisi pasar segala
Peropa yaitu tanah terkembangkan payung segala raja-raja yang Sulthan Butun
tempat puhunnya itu. Maka orang pun telah menengar warta itu, makagemparlah. Lalu
berjalan dengan Bitaumbara dan Sangariarana. Setelah sampailah pada pasar itu,
lalu duduk pada puhun huu itu dikelilingi orang dan hampir sepuhun kayu besar
lagi tingginya. Kayu itu Peropa namanya, karena itulah dinamai menteri Peropa.
Hatta maka Bitaumbara
dan Sangariarana pun musyawaratlah dengan [segala] ra,yat sekalian. Setelah
sudah musyawarat, maka Bitaumbara dan Sangariarana pun naik keduanya memberi
tahu raja Butun setelah sampailah pada kota itu. Hatta maka tersebut raja Butun
pada ketika itu sedang pangka dihadap segala dayang-dayang bata-bata periwali
sekalian ada hadir. Maka Bitaumbara pun dating dengan Sangariarana itu. Lalu
mengadap raja serta berdatang sembah.
Demikian sembahnya,
kepalanya sampai ke tanah, tiada dapat mengangkatkan kepalanya keduanya. Maka
Sibatara pun melihat hal menteri itu. Maka raja itu pun berkata 39 kepada
Bitaumbara dan Sangariarana. Demikian katanya, “Hai menteriku, apa kehendakmu
datang daripada ini?” Maka Bitaumbara dan Sangariarana demikian
sebabnya, Yaa Tuanku,
hambamu melihat sepuhun kayu huu namanya. Puhundaun
lebardi dalam kebun
hambamu Tuanku. Maka raja pun tersenyum menengar perkataan menteri keduanya itu,
serta berkata, “Hai menteriku, itulah payungka”.
Kembalilah kedua kamu
pada kebun. Bicara panggil [segala] ra,yat semuanya turun mengambil payung huu
itu serta dengan bunyinya semuhanya bawa bagaimana alatkerajaan. Demikianlah
perintah payung itu. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun musyawarat pada
sekalian orang tuatua. Setelah musyawarat, maka Bitaumbara dan Sangariarana itu
pun hadirlah berangkat dirinya masing-masing ada membawa emas dan perak dan
kain yang mulia-mulia, jingga selara yang keemasan dan suripatani yang maha
indah-indah dibawanya akan memerintahkan kayu huu itu. Gendang dan gong pun
dipalu orang.
Maka Bitaumbara dan
Sangariarana pun berjalan kepada tempat huu itu. Setelah sampailah pada huu
itu, maka hari pun malamlah, kendilah pelita pun terpasang.Maka orang pun
masing-masing duduk di hadapan mengelilingi pada puhun paying huu itu. Maka
genderang kesukaan pun berbunyilah, lalu berdiri menaruh bergantiganti kepada
seorang kepada seorang. Demikian kelakuan hal segala orang pada malam itu.
Setelah malam pun mau sianglah, maka Bitaumbara dan Sangariarana pun berangkat
naik berjalan mengelu-elukan Sibatara. Setelah sampailah Bitaumbara dan Sangariarana
dan [segala] ra,yat sekalian pun, lalu masuk di dalam kota raja Butun.
Hatta dengan takdir
Allah Taala, Sibatara dan Tuan puteri pun sedang pangka di hadapan sekalian
dayang-dayang, bata-bata pariwali sekalian di dalam maligai itu. Maka
Bitaumbara dan Sangariarana pun masuk di dalam maligai. Lalu sujud di hadapan
raja serta sembah kepalanya, lalu di bawa hamparan. Demikian sembahnya,“Yaa Tuhanku, Baik
tuan hamba berangkat karena matahari pun belum terbit. Maka raja pun hadirlah
lalu naik duduk (di)atas gata yang keemasan. Maka gata itu pun diangkat ditaruh
(di)atas bahunya lalu turun berjalan diiringkan Bitaumbara dan Sangariarana dan
ra,yat sekaliannya itu. Setelah sampailah pada rumah Bitaumbara dan
Sangariarana dan ra,yat, maka raja pun turun (dari) atas gatanya lalu duduk (di)atas
rumah Bitaumbara itu di hadapan oleh segala menteri dan segala waziytil ma,alam.
Maka datang seorang,
orangnya berlari-lari, lalu berdatang sembah di hadapan raja itu. Demikian
sembahnya, “Ya Tuhanku, ada hamba melihat air kulamu bata pada tempat baluara
kadang (di)atas bukit Lelemangura itu. Maka raja pun telah menengar seraya
menyuruh orang mengambil air itu. Setelah maka Bitaumbara dan Sangariarana pun
menyuruh orang Tobe-Tobe lima orang mengambil air (di)atas bukit itu. Maka
orang Tobe-Tobe itu pun segera berlari-lari dengan sekejap mata sampai[kan]
(lah) orang itu pada bukit Lelemangura itu. Lalu ditambunya kulam itu.
Setalah [sudah]
diisinya tempat air itu, maka orang Tobe-Tobe itu pun kembalilah kelimanya itu.
Setelah sampailah orang itu lalu di hadapan Bitaumbara dan Sangariarana. Maka
Bitaumbara pun menyuruh anaknya Sangariarana memandi rajaitu. Setelah mandi
raja itu, seraya lalu turun pada huu itu. Lalu memegang puhun huuitu, dengan kedua
tangannya dapat di bawah bahunya [huu itu]. Maka diserahakan oleh Sangariarana
puhun huu itu. Setelah menyerahkan puhun huu itu, maka raja punhendak kembali
kemaligainya. Lalu berjalan di hadapannya puhun huu itu, didahulukan berjalan
dari kanannya. Bitaumbara da Sangariarana dari kirinya dan 40 belakangnya
segala menteri iringkan ra,yat hina dina sekalian remba-remba dan jalan sekalian
pun. Setelah sampailah pada atas faa besar-besar itu serta terbit matahari maka
payung huu itu pun terdirilah atas kepala raja itu. Maka dipegangnya oleh Sangariarana,
maka tiada dikannya lagi matahari raja itu. Setelah sampailah maligainya, lalu
duduk di atas kursinya di hadap segala menteri-menterinya, [dan] orang
besar-besarnya dan hulubalang ra,yatnya, sekalian ra,yat hina dina. Setelah sudah,
maka hidangan nasi pun (di)peredarkan oranglah. Maka minium-minuman pun
terangkat orang. Maka raja pun makan minum bersuka-sukaan dengan segala menteri-menterinya
dan hulubalang ra,yat sekalian. Setelah [sudah] makan minum maka raja pun masuk
(ke) dalam maligai. Maka segala menteri, (dan) orang banyak masing-masing
kembali ke rumahnya.
Hatta dengan takdir
Allah Taala, berapa lamanya raja itu antara beranakan tiga perempuan, maka
beranakan pula empat orang perempuan juga, seorang laki pun tiada [hanya
perempuan juga]. Antaranya maka beranakkan Patolasunda namanya [dan berapa lagi
antaranya] maka beranakkan Wa Batau, [namanya]. [Dan berapa lagi lamanya
antaranya maka beranakkan] Wa Betao, [namanya]. [Dan berapa lagi lamanya
antaranya, maka beranakkan pula] Paramasunyi [namanya], yaitu anak empunya itu
kaum segala anak raja-raja. Jumlah[nya] anak Wa Kaakaa dengan Sibatara itu
menjadi tujuh orang perempuan juga.
Setelah dengan berapa
tahun antaranya menjadi raja di dalam negeri Butun Sibatara dan Wa Kaakaa itu,
maka hendaklah ia pulang ke kayangannya dari atas langit, sebab kemaluannya
[oleh Wa Kaakaa] kepada gundi[nya] Sibatara yaitu kampung Baaluwu. Hatta maka
tersebutlah cerita pulangnya Wa Kaakaa pada kayangannya dari atas.
Demikian ceriteranya.
Segala peristiwa pada hari yang lain tengah hari benar, maka Wa Kaakaa hendaklah
tidur, lalu kebantal kepalanya lalu seraya memanggil seorang hambanya menyikat
rambutnya. Maka hambanya pun datang menyikat rambutnya [Wa Kaakaa] pada bantal
itu, lalu (di)sisirnya [oleh Wa Kaakaa itu]. Setelah terlihatlah ubun-ubun Wa
Kaakaa itu, berkata hambanya itu, “Yaa Tuhaku, mengapa ubun-ubun tuan hamba ini
seperti tahi bau rupanya. Serta (men)dengar[lah] yang demikian itu katanya,
maka Wa Kaakaa itu pun terkejut lalu bangun daripada tidurnya dengan malunya
dan marahnya hatinya. Jangan terdengar pada istri Sibatara yang lain di kampung
Baaluwu, yaitulah yang dikasih oleh Sibatara pada perempuan itu. Selangselang Wa
Kaakaa pun disamakan istimewa pula pada istri yang lain, sungguh pun Wa Kaakaa
terlalu baik parasnya separti anak-anakkan kadang rupanya, tetapi diinginya penglihat(an)
segala orang banyak karena ia peri.
Setelah sudah, maka
Wa Kaakaa pun terlalu [sangat] marahnya bertambahtambah malunya sebab terlihat
ubun-ubunnya. Tiada lagi dapat berkata-kata, lalu tunduk berdiam dirinya seraya
di dalam rahasianya, “Baiklah aku kembali naik kepada kayanganku [dari]
(di)atas langit. Karena aku tiada dapat menahan hatiku sebab kemaluanku pada
perempuan itu, dan ubun-ubunku pun terlihat pada manusia. Setelah [sudah] ia
(ber)fikir, maka berkatalah Wa Kaakaa pada hambanya [yang melihat ubun-ubunnya]
itu. Demikian katanya dengan kata yang lemah lembut, “Hai sudaraku, rahasia ini
jangan kau katakan kesana kemari. Jika aku tiada pada tempat ini sekali pun
jangan mudah-mudahan. Setelah [sudah] berkata-kata, Wa Kaakaa pun menyuruh
orang memanggil Bitaumbara dan Sangariarana. Maka Bitaumbara dan Sangariarana
datanglah di hadapan Wa Kaakaa lalu sujud menyuruh 41 kepalanya kepada lantai.
Maka berkata-kata, “Hai kamu Bapaku, salamku atasmu [ke](ber)dua kamu itu,
hamba minta memuhun pada kamu (ber) [ke]dua itu dan orang di dalam negeri itu
sekalian.” Maka sembah Bitaumbara dan Sangariarana, demikian sembahnya, “Yaa
Tuhanku, raja yang kebutuhan patik di bawah duli, atas batu kepala hambamu,
sekalian”di mana Tuan hamba pergi dan negeri mana Tuan hamba main-main”. Maka
berkata Wa Kaakaa, “Hai Bapaku, sebab minta muhun pada kamu [ke] (ber)dua,
“Hamba hendak kembali ke kayanganku di atas langit,”
Maka sembah
Bitaumbara dan Sangariarana, “Yaa Tuhanku, siapa anak Tuan hambameninggalkan kamu
akan ganti tuan hamba di dalam negeri Tuanku?” Maka Wa Kaakaa bersuamikan
anaknya seorang bernama Bulawambona dan anaknya Sangariarana La Balowu namanya,
yaitu cucu Bitaumbara. Setelah bersuamikan anaknya Bulawambona dan La Balowu,
maka diangkat pula menjadi raja Butun akan ganti dirinya, tetapi tiada
terkembang payung kepada La Balowu, Bulawambona yang dikembangkannya payung
(di)atas kepalanya. Setelah [sudah,sudah] diangkat [oleh] Bulawambona dan La
Balowu itu, maka Wa Kaakaa pun berpesanlah Bitaumbara dan Sangariarana.
Demikian bunyi pesannya, “Hai bapaku, dengar(kanlah) pesanku ini, “Jangan kau
lalai [oleh] anakku ini.” Jangan kau melihat dan ikutilah salahnya dan bebalnya
atas kamu dalam tangan kamu [ke](ber)dua. Kita hubaya-hubaya, jangan ajarkan
baik karena lagi muda tiada dan jangan kau dengarkan ke sana sini.
Peliharakanlah anak kita ini seperti engkau memeliharakan daku.
Setelah [sudah]
berpesan Wa Kaakaa itu, maka diambilnya anta
kusumu anaknya Bulawambona. Lalu dilihat anta kusumu itu dengan ampat-ampat
jari lebarnya [anta kusumu] itu yaitu Sangkia namanya. Maka diberikan
Bitaumbara dan Sangariarana Sangkia itu seraya berkata “Hai menteri yang
budiman lagi bijaksana kamu, “Kedua kamu itu ambillah olehmu anta kusumu hamba
itu hubaya-hubaya jangan tiada kamu suruh orang berbuat belanja seperti belanja
negeri yang lain.Supaya selamat negeri kita ini, ‘Ambillah belanja kamu seperti
pesanku ini. Jikalau kau lalai seperti pesanku ini kamu atawa anak cucumu atawa
kaum kolawarganya atawa barang dalam negeri itu dikutuk Allah Taala dengan
beribu-ribu kutuk dating balaa. Jika kamu menanam padi menjadi padang, jika
kamu menanam barang makanmakanan menjadi batu atawa kayu. Dan lagi pesanku,
“Hukum dalam negeri jangan kau bertukar-tukarkan, seperti kampung dengan
menteri-menterinya atawa seperti anak raja-raja dengan negerinya melainkan
asalnya juga. Dan jangan kau ambilkan upeti di dalam hokum negeri ini yaitu
baku makan. Dan jangan lagi musyawarat malam atawa (mem) beri hukum. Itulah
barang sesuatu bicara jangan lagi musyawarat malam waktu asar pun, jangan
kurang katanya karena setan hampir masuk di dalam negeri, itulah sebab.
Setelah [sudah]
berpesan hadapan pun diperdengarkan oranglah. Dan pilihnya yang keemasan pun
diangkat orang. Maka bermain, makan dan minum bersuka-sukaan dengan menterinya
dan [segala] ra,yatnya sekalian. Setelah [sudah] makan, maka dianugerahinya
segala ra,yatnya hina dina dengan arta yang mulia. Setelah Wa Kaakaa pun
mencium anaknya Bulawambona dan mantunya La Balowu, maka Bulawambona dan La
Balowu pun menangis. Maka Bitaumbara dan Sangariarana pun segera menyembah
keduanya lalu mencium kaki Wa Kaakaa itu. Maka segala ra,yat pun datang
berjabat tangan dan mencium kaki Wa Kaakaa. 42 [Setelah] belum habis segala
orang memegang Wa Kaakaa maka guruh pun berbunyilah dan kilat hujan pun
turunlah, ributlah taufan halilintar petir kilat sambung-menyambung. Maka Wa
Kaakaa pun lenyap akan dirinya. Ia pulang ke kayangannya, di atas langit dengan
enam orang anaknya. Yang ada di tanah hanya seorang ditinggalnya akan
digantinya Bulawambona namanya yaitulah yang diangkat oleh ibunya menjadi raja
Butun. Setelah bunyi guruh pun tiadalah kedengaran dan ribut taufan telahlah,
matahari [telah] terbitlah. Maka raja yang kebutuhan itu pun tiada kelihatan
mata segala orang banyak itu. Maka berseru-seru segala manusia menangis, gempar
bunyi segala orang seperti lagi kiamat bunyinya. Dan ceriteralah segala manusia
tiada mengetahui akan dirinya sebab bercintakan Tuhannya itu. Maka Bitaumbara
dan Sangariarana pun bersuaralah menangis keduanya. Demikian bunyi suaranya,
“Tuhanku yang kebutuhan, “Hambamu ini pun itulah dan negerimu pun kasihanlah
ra,yat Tuhanku. Hambamu belum puas risau hati hambamu pada Tuhanku yang
kebutuhan. Betapalah hal kami sekarang.
Hatta dengan takdir
Allah Taala, maka terdengarlah seperti suara dari atas langit yaitu suara raja
yang kebutuhan. Demikian katanya, “Janganlah bercintakan diri kamu dan negerimu
adalah ketulang, karena Sibatara kasihan istrinya yang lain daripada aku,
yaitulah kampung Baaluwu memberi kemaluan,” Sebab itulah maka aku pulang ke
kayangan, kutinggalkan anakku dan kamu dan negeri itu. Setelah sudah maka
tersebutlah kemaluan kebutuhan. Demikian bunyi ceriteranya. Segala peristiwan
Sibatara lagi bertangis-tangis dengan anaknya, Bulawambona pun rebalah (di)
atas ribaan bapanya*****