OLEH : ALI HABIU
Tarian tradisional Honari Mosega adalah merupakan tarian tradisional asli milik Keraton Liya yang diperkirakan sudah mulai ada sejak pertengahan Abad ke XII, yakni setelah Mahisa Cempaka menjadi Raja di Liya tahun 1252 M. Hal ini ditandai oleh adanya gerakan pencak silat balaba dalam tarian ini. Pencak silat balaba merupakan seni penjaga diri milik kerajaan Melayu-Pasai yang sudah ada bersemayam di pulau Oroho sebelum kerajaan di Liya didirikan. Dahulu kala seni tari Honari Mosega ini dalam peragaannya semua pemain tidak mengenakan baju, kecuali hanya sarung yang diikatkan melindungi alat vital pemain mengikat di pinggang. Dalam perkembangannya setelah masuknya Portugis di Indonesia kala itu Raja Liya dipegang oleh Talo-Talo, atau Lakueru atau Lakundaru banyak meyerang tentara Portugis kemudian dibunuh di perairan Wangi-wangi dan topi prajurit tersebut diambil oleh pasukan hulubalang kerajaan Liya. Dan Topi tersebut dipakai penari utamanya seni tari Honari Mosega ini. Tarian Honari Mosega ini merupakan perpaduan dari seni pencak silat Balaba dengan seni perang yang dikombinasikan gerakannya dalam satu kemasan seni tari disebut Honari Mosega. Pada zamannya mulai terbentuknya seni tari Honari mosega tersebut dipakai oleh Raja sebagai pasukan telik sandi atau saat ini dikenal sebagai pasukan intelijen/mata-mata dipersembahkan kepada para tetamu yang berkunjung ke Keraton Liya baik merupakan utusan kerajaan lain di luar wilayah Liya maupun perorangan atau para hulubalang atau saudagar pedagang rempah-rempah antar pulau. Ketika tetamu tersebut tiba di wilayah Keraton Liya maka akan disambut oleh tarian tersebut sebagai utusan rahasia Raja Liya untuk mengamati gerak-gerik atau sifat para tetamu tersebut apakah lawan ataukah musuh. Oleh karena itu dahulu kala Tarian ini merupakan tarian andalan sang Raja dalam melindungi wilayah kekuasaanya dari serang musuh-musuhnya dari kerajaan lain. Jika tetamu tersebut ternyata musuh maka pasukan pengawal Honari Mosega ini akan segera bertindak untuk menghancurkan musuh yang telah menyusup ke wilayah Kerajaan Liya. Tarian Honari Mosega dilengkapi dengan pasukan tamburu sebanyak 17 orang yang terdiri dari orang-orang sakti dan kebal dari pasukan Meantu,u Solodadu atau pasukan panglima perang Keraton Liya. Pasukan pengawal Honari Mosega ini dilengkapi dengan seperangkat Tombak tajam yang ujung-ujung tombak telah diberi racun atau "bisa" untuk kesiapan mereka menyerang musuh bila ada yang menyusup. Dahulu kala sebelum Tarian Honari Mosega ini tampil maka di peragakan lebih dahulu Tarian Tamburu yang terdiri dari 17 orang pengawal lengkap dengan tombak dan keris di pinggang. Pasukan tamburu ini juga memainkan gerakan-gerakan tradisional sambil mengibas-ngibaskan Bendera kebesaran Keraton Liya yang terdiri dari bendera warna kuning berbentuk segi empat di bagian luarnya dikelilingi oleh garis-garis hitam.
Sampai dengan masa pendudukan jepang di Indonesia, Tarian Honari Mosega ini setelah tampil maka akan dilakukan "makandara". Makandara ini berupa acara adu tanding dalam keadaan setengah sadar antara semua pasukan sejumlah 17 orang tersebut untuk saling menombak atau menikam dengan keris masing-masing, namun karena "Makandara" ini diselimuti kekuatan gaib disamping juga orang-orang penarinya semua kebal maka tak satupun dari mereka yang bisa tertembus dengan tombak atau keris dan yang ada hanya terdengar bunyi-bunyi melenting antara besi dan badan manusia. Pada saat acara "Makandara" ini semua penonton termasuk Sara atau pemangku adat sudah menyepi masing-masing mancari tempat yang aman dari gangguan serangan membabi buta dari pasukan tersebut.
Hanya saja dalam perjalannya sayang sekali bahwa "Tarian Honari Mosega" ini di klaim sebagai tarian milik Mandati padahal di Mandati dahulu kala tak terdapat tarian semacam ini. Di Mandati sejak dahulu kala hanya terdapat "Tarian Makandara" yaitu tarian 2 orang yang dilakukan setengah sadar dengan saling menyerang satu dengan lain dengan mengikuti irama gendang atau tamburu. Bunyi lantuman gendangpun sangat beda dengan bunyi gendang tarian Honari Mosega milik Keraton Liya. Proses plagiat ini terjadi semenjak terjadinya asimilasi antara orang-orang sakti asal liya bertempat tingggal di Mandati dan membentuk keturunan disana, sehingga kelompok keluarga inilah yang mengakui Tarian Honari Mosega ini sebagai miliknya atau milik Madati karena memang mereka semua adalah hasil migrasi dari Keraton Liya.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan catatan Mpuh Prapanca (1364) dalam buku Negarakartagama menyebutkan bahwa LIYA-wangi-wangi adalah bekas wilayah Kerajaan Majapahit. LIYA postulat di masa lalu dijadikan sebagai daerah keresian tempat perlindungan atau persembunyian dari para orang-orang pembesar atau para Raja berbagai kerajaan di nusantara jika terjadi kemelut di dalam kerajaannya. Adapun catatan Mpuh Prapanca sebagaimana dikutif dalam sebuah web site Kompasiana.com oleh Mahaji Noesa sebagai berikut :
“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni gra-LIYA-o wangi (ng) salaya sumba solo muar,…..... "(Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945).
Perlu diketahui bahwa berdasarkan catatan Mpuh Prapanca (1364) dalam buku Negarakartagama menyebutkan bahwa LIYA-wangi-wangi adalah bekas wilayah Kerajaan Majapahit. LIYA postulat di masa lalu dijadikan sebagai daerah keresian tempat perlindungan atau persembunyian dari para orang-orang pembesar atau para Raja berbagai kerajaan di nusantara jika terjadi kemelut di dalam kerajaannya. Adapun catatan Mpuh Prapanca sebagaimana dikutif dalam sebuah web site Kompasiana.com oleh Mahaji Noesa sebagai berikut :
“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni gra-LIYA-o wangi (ng) salaya sumba solo muar,…..... "(Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945).
Sampai saat ini "Tarian Honari Mosega" merupakan salah satu tarian sakral andalan Keraton Liya yang sering ditampilkan diberbagai acara pestival budaya nusantara dan merupakan salah satu tarian perang tertua di Indonesia. ****