Oleh
: Nunus Supardi ( *)
Budaya Asli Benteng Liya, Wakatobi
Pengantar
Dalam
makalah seminar budaya "Evaluasi dan Strategi Kebudayaan" yang
diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1987,
Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (Dosen UI) mengulas peran tiga kalimat
penjelasan pasal 32 UUD 1945. Menurut Nazaruddin, dengan adanya ketiga kalimat
penjelasan itu bangsa Indonesia "mampu melepaskan diri dari rasa curiga
terhadap kebudayaan suku-suku. Kebudayaan suku-suku bangsa tidak perlu
dipandang sebagai ancaman terhadap kebudayaan nasional; kebudayaan daerah atau
suku bukanlah ancaman, melainkan pembentuk kebudayaan nasional. "
Dari
kutipan di atas amat jelas, betapa besar peran tiga kalimat itu dalam mencegah
ketidakjelasan dalam menata hubungan bersama dan dalam menyamakan pemahaman
tentang kebudayaan bangsa. Tetapi ketiga kalimat itu kini secara konstitusional
tidak tampil lagi sebagai penjelas makna pasal 32 tersebut. Pasal 32 yang
semula hanya satu ayat setelah diamandemen berubah menjadi 2 ayat. Tiga kalimat
itu dihilangkan, dan tidak satu pun kata atau kalimat dari tiga kalimat
penjelasan itu yang diangkat ke dalam dua ayat yang baru.
Peran
3 Kalimat Penjelasan
Dapat
dipastikan, ketika para pendiri bangsa memasukkan kebudayaan ke dalam batang
tubuh UUD 1945, pembahasan berlangsung dalam suasana seru, baik tentang
urgensinya, rumusannya maupun penempatannya dalam pasal, serta rumusan kalimat
penjelasan. Dalam hal penempatan dalam pasal saja, kebudayaan harus
pindah 3 kali. Dari semula berada pada pasal 34 bergeser ke pasal 33, dan
akhirnya bergeser lagi menjadi pasal 32 berdampingan dengan pasal 31 tentang
pendidikan.
Rumusan
kalimatnya amat singkat, yaitu: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia." Menyadari betapa singkatnya kalimat pasal 32, para pendiri
bangsa melengkapinya dengan tiga kalimat sebagai penjelasan. Dengan
adanya penjelasan itu berbagai pertanyaan mendasar dapat terjawab. Pertanyaan
mendasar itu antara lain sebagai berikut:
- Setelah lahir yang disebut kebudayaan nasional Indonesia, bagaimana posisi kebudayaan daerah atau kebudayaan suku bangsa? Hilang atau lebur ke dalam kebudayaan nasional. Pertanyaan seperti selalu dan akan muncul pada setiap pergantian generasi.
- Setelah lahir kebudayaan Indonesia baru, bagaimana posisi kebudayaan lama dan asli? Masih tetap ada sebagai dasar atau bagian kebudayaan bangsa atau dihapuskan? Seperti kita ketahui pada masa Pujangga Baru terjadi polemik kebudayaan hebat tentang hal itu.
- Ke mana arah yang akan dituju dalam memajukan kebudayaan bangsa? Sebagai bangsa yang baru lahir jawaban atas pertanyaan itu penting agar bangsa itu tidak salah langkah.
- Bagaimana bangsa ini menyikapi masuknya pengaruh kebudayaan asing, menolak atau menerima, atau menyaring? Jawaban itu penting, karena sebagai bangsa baru mustahil akan menghindarkan diri dari pertemuan antarbangsa dan antarbudaya bangsa.
- Apa kriteria atau ukuran yang dapar dipakai untuk melakukan penerimaan atau penolakan, atau penyaringan pengaruh budaya asing itu?
Jawaban
atas pertanyaan pertama terdapat pada kalimat yang berbunyi: "Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia
seluruhnya." Dari keseluruhan kalimat itu dapat ditangkap secara jelas
maknanya. Kalimat itu mengandung makna pengakuan bahwa seluruh budaya suku
bangsa (daerah) di seluruh Indonesia, pada hakikatnya adalah kebudayaan bangsa
atau kebudayaan nasional Indonesia. Dengan pengakuan ini mencerminkan arti
bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, kita tidak mengenal istilah
budaya 'mayoritas' dan 'minoritas', 'maju' atau 'terbelakang', 'tinggi' atau
'rendah.' Seluruh budaya suku bangsa dalam posisi sama, setara, dan dari
pengakuan seperti itu akan tercipta iklim kehidupan saling menghargai dan
saling menghormati.
Jawaban
atas pertanyaan kedua, mengenai bagaimana posisi kebudayaan lama dan asli, ada
pada kalimat kedua, yang berbunyi: "Kebudayaan lama dan asli yang terdapat
sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia
terhitung sebagai kebudayaan bangsa." Kalimat ini menjadi jawaban
atas polemik hebat yang terjadi ketika memperbincangkan mengenai
bagaimana membangun kebudayaan bangsa Indonesia baru. Menurut pandangan Sutan
Takdir Alisjahbana apabila bangsa baru itu ingin menjadi bangsa yang maju dan
modern, tinggalkan kebudayaan lama dan ambil kebudayaan yang bersumber dari
kebudayaan Barat. Di lain pihak Sanoesi Pane, Armijn Pane berpendapat tidak
mungkin kita menghilangkan kebudayaan lama (Timur). Dengan adanya kalimat
penjelasan itu dapat diartikan bahwa dalam memajukan kebudayaan bangsa
tidak bisa dengan serta merta meninggalkan kebudayaan yang lama dan asli,
karena kehidupan kebudayaan suatu bangsa pada hakikatnya adalah lanjutan dari
kebudayaan sebelumnya.
Jawaban
pertanyaan ketiga, ke mana arah yang akan dituju dalam memajukan kebudayaan
terdapat pada frasa yang berbunyi: "Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan…" Amat jelas, ke mana arah yang harus
dituju dalam memajukan peradaban bangsa Indonesia di tengah-tengah peradaban
dunia, dan ke mana arah memajukan persatuan bangsa yang multietnik dan
multikultur.
Jawaban
atas pertanyaan bagaimana kita menyikapi hubungan kebudayaan bangsa
dengan kebudayaan asing ada pada potongan kalimat: "….dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing....." Frasa ini menjadi amat
penting sebagai acuan ketika bangsa Indonesia sebagai bangsa baru masuk dalam
pergaulan antarnegara dan antarbangsa. Dalam era globalisme seperti sekarang
ini, frasa ini patut menjadi acuan agar kehidupan bangsa Indonesia tidak
terjebak menjadi bangsa yang kehilangan jati diri.
Lalu,
apa kriteria atau ukuran untuk menerima atau menolak pengaruh budaya
asing itu? Jawabannya ada pada frasa "…yang dapat memperkembangkan
dan memperkaya kebudayaan sendiri…." Apabila pengaruh tidak memberi
manfaat meperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa harus ditolak
kehadirannya. Bahkan kriteria itu masih diperjelas dengan dengan
rambu-rambu: "yang dapat mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia".
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa melalui tiga kalimat itu para pendiri
bangsa telah menyiapkan konsep, kebijakan, strategi dan tujuan di bidang
kebudayaan. Dikatakan mengandung konsep karena tiga kalimat itu berisi gagasan
tentang apa itu kebudayaan Indonesia. Pengakuan bahwa kebudayaan suku bangsa di
seluruh Indonesia adalah kebudayaan bangsa merupakan konsep yang dinilai tepat
untuk sebuah bangsa baru yang multietnik dan multikultur. Konsep itu
selanjutnya dituangkan dalam semboyan yang sangat tepat, yaitu "Bhinneka
Tunggal Ika."
Tiga
kalimat itu dikatakan mengandung kebijakan karena di dalam tiga kalimat itu
terkandung garis besar haluan dalam memelihara (preservation) dan mengembangkan
(progression) kebudayaan bangsa. Dua kebijakan yang sesungguhnya arahnya
berlawanan, tetapi keduanya disatukan lagi dalam tujuan, yaitu "menuju ke
arah kemajuan adab, budaya, dan perstauan". Selanjutnya dikatakan mengandung
strategi karena di dalam tiga kalimat itu terkandung perencanaan dasar
memajukan kebudayaan bangsa. Di samping dilakukan upaya memelihara dan
mengembangkan kebudayaan, strategi yang perlu dipilih adalah "dengan
tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing." Dikatakan
mengandung tujuan karena di dalam tiga kalimat itu terkandung juga ke mana arah
pemajuan kebudayaan bangsa. Karena lengkap dan jelasnya tiga kalimat itu maka
tidak salah juga bila dikatakan merupakan garis-garis besar haluan dalam membangun
persatuan bangsa dan memajukan kebudayaan bangsa yang amat jelas dan dengan
demikian mudah untuk dioperasionalisasikan.
Sebagai
bangsa yang lahir setelah adanya kesepakatan (konsensus) seluruh suku bangsa
untuk menjadi satu bangsa baru, bangsa Indonesia, garis haluan itu amat penting
untuk menata hubungan antarsuku dan antarbudaya.. Kesepakatan yang lahir di
tengah-tengah kehidupan bangsa yang multietnik dan multikultur (hampir 500 suku
bangsa), daya tahan kelangsungannya akan berbeda dengan bangsa yang hanya
terdiri atas beberapa suku bangsa. Keutuhan bangsa amat rentan, dan oleh sebab
itu solidaritas dan keharmonisan hubungan antarsuku dan antarbudaya harus
diasuh secara serius dan dengan konsep yang jelas dan diterima oleh semua
pihak. Mengenai pentingnya membangun solidaritas dan keharmonisan hubungan itu,
Bung Karno sering mengulang padangan Ernest Renan, seorang profesor sejarah dan
ilmu kebangsaan Perancis.
Menurut
Renan, yang dimaksud dengan bangsa adalah "satu solidaritas besar,
solidaritas besar tiap-tiap hari." . Tetapi oleh Bung Karno tumbuhnya
solidaritas lebih dipersingkat lagi. Menurut Bung Karno agar bangsa Indonesia
benar-benar menjadi satu, solidaritas itu tidak hanya tumbuh tiap-tiap
hari, tetapi tiap-tiap jam, dan bahkan tiap-tiap menit. Jangan sampai terjadi
rasa itu solider hanya untuk beberapa waktu saja atau hanya buat menghadapi
bahaya saja.
Berubah
Menjadi 2 Ayat
Setelah
diamandemen pasal 32 berubah menjadi 2 ayat dan tanpa ada tambahan penjelasan
lagi. Pada ayat (1) bunyi kalimatnya menjadi panjang: "Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya." Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang
terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia….". Potongan kalimat ini adalah kalimat pasal 32 lama, hanya
kata 'Pemerintah' diganti dengan 'Negara'. Potongan kalimat kedua
berbunyi:"…di tengah peradaban dunia…", mungkin yang dimaksud
adalah sebagai penegasan bahwa kebudayaan Indonesia adalah bagian dari
kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga, "….dengan menjamin
kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya" merupakan cerminan pemenuhan kehendak tentang perlunya
kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing suku bangsa. Potongan
kalimat kedua dan ketiga merupakan tambahan baru.
Untuk
ayat (2) yang berbunyi: "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional" merupakan kalimat pindahan dari
penjelasan pasal 36 (lama) tentang Bahasa. Tanpa memindahkan kalimat itu
ke pasal 32 menjadi ayat baru (ayat 2), masalah bahasa (daerah) sudah dengan
sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.
Apakah
setelah pasal 32 baru berubah menjadi 2 ayat, makna pasal itu menjadi jelas
atau sebaliknya?
Hilangnya
Garis Haluan
Hilangnya
tiga kalimat penjelasan pasal 32 berarti hilangnya konsep, kebijakan, strategi
dan tujuan yang dijadikan garis haluan dalam memajukan kebudayaan bangsa dan
menata hubungan antarsuku. Sebagai satu bangsa yang multietnik dan multikultur,
pertanyaan-pertanyaan 'nakal' seperti di atas dapat dipastikan akan
selalu muncul pada setiap saat dan setiap generasi. Dengan adanya tiga
kalimat penjelasan itu semua pertanya akan terjawab, dan itu berarti kita dapat
melepaskan diri dari rasa curiga antara suku bangsa yang satu dengan yang
lain. Keberadaan budaya suatu suku bangsa tidak lagi dipandang sebagai ancaman
bagi suku bangsa yang lain dan juga bukan ancaman terhadap kebudayaan nasional
dan sebaliknya, melainkan bersama-sama menjadi pembentuk kebudayaan
nasional.
Oleh
karena itu seharusnya tiga kalimat tetap dipertahankan keberadaannya
selama kita masih sepakat untuk tetap dalam naungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Akankah hasil amandemen itu akan diamandemen lagi dan tiga
kalimat itu dapat muncul lagi? Jika tidak, maka tiga kalaimat itu harus masuk
dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan.
(*) Penulis adalah Sekretaris Umum Badan Kerja Sama
Kesenian Indonesia (BKKI) Pusat